Dark
Light
Today: July 27, 2024

Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang

HUKUM HAM DAN KEADILAN BAGI ORANG PAPUA

#Volume 2

Tabloid-Wani, OPINI – Analisis Peristiwa Tanggal 13-16 Juli 2016 Tindakan Kepolisian dan Ormas Bertentangan dengan Undang-Undang.
A. Secara Hukum

Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang
Otis Tabuni. Foto: Doc Pribadi

         Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai tanggungjawab untuk melindungi hak asasi manusia. Sampai dengan hari ini bangsa Papua masih berada dalam NKRI, maka negara bertanggung jawab atas perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia Papua dari sisi hukum, HAM dan demokrasi sehingga dengan jaminan tersebut mendapatkan keadilan. Secara hukum, Indonesia mengakui sebagai negara hukum dan pernyataan ini ditegaskan dalam kontitusi RI berdasarkan UUD 1945 dan perubahan-perubahannya tetap mengakui bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh sebab itu, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum. Hukum membatasi dan sekaligus memperkaya kemerdekaan warga negara untuk dapat memperoleh kedudukan yang sama dihadapan hukumtanpa diskriminasi.

         Dengan demikian, hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari jaminan atas HAM. Hukum yang ditaati akan memunculkan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi dari masyarakat sebagai negara hukum dan demokrasi terbesar ketiga. Hal diatas kemudian ditegaskan pada pasal 27 UUD 1945, berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian negara bertanggungjawab atas penegakan hukum, dan melindungi secara mutlak. Negara melalui aparat negara berhak untuk memberikan penghormatan hak harkat dan martabat bagi kemanusiaan. Bangsa Papua memiliki hak atas perlindungan hukum dan hak secara mutlak. Keadilan sebagai fungsi yang paling mutlak yang wajib dimiliki oleh setiap orang Papua secara indivindu ataupun kelompok tanpa adanya perbedaan dan pembatasan oleh siapapun dengan alasan apapun.
        

Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang
Aparat kepolisian terhadap salah satu mahasiswa Papua
         Indonesia sebagai negara perserta yang mengikutsertakan dalam deklarasi umum PBB tentang hak asasi manusia pada 10 Desember 1948 tentang hak asasi manusia dengan argumen bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun dengan alasan apapun termasuk militer dan kepolisian RI. Untuk menghormati hal tersebut, Pemerintah Indonesia sebagai negara hukum dan bagian dari anggota masyarakat internasional, memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, sehingga menerima dan meratifikasi kemudian dijadikan sebagai perundang-undangan RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Tidak hanya itu, upaya memberikan penghormatan hak asasi manusia, maka masih banyak peraturan yang dijelaskan lebih rinci lagi, misalnya UU No 26 tahun 200 tentang pengadilan HAM, UU tentang perlindungan anak dan perempuan dan lain – lain.
Selain daripada itu, undang – undang nomor 12 tahun 2012 tentang hak sosial politik yang intinya mengatur tentang hak sosial dan politik bagi warga negara.

Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang turunan daripada itu, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Undang – Undang RI nomor 40 tahun 1999 tentang kemerdekaan pers adalah turunan dari pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan didepan secara bebas tanpa adanya gaguan pihak manapun.

B. Pelanggaran Hukum, HAM dan Demokrasi Atas Peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Yogyakarta

        
Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang
Ormas saat mengepungi Asrama Papua Yogyakarta
         Pada awalnya, sesuai hasil Video yang dapat penulis saksian adalah sesaat sebelum melalukan penyerangan dan penggerebekan bersama-sama dengan ORMAS reaksioner bentukan kepolisian tersebut, telah melakukan apel pagi depan asrama Papua Kamasan I Yogyakarta pada pukul 06:00 WIB, dalam arahannya selaku Kapolda DIY, menyatakan bahwa apapun tindakannya harus bertindak secara tegas dibawah perintah komando. Saya akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dalam penggerekan ini, apa yang dilakukan dan hasilnya merupakan perintah langsung dari Titon Kaniavan selaku POLRI Republik Indonesia, menurutnya. Artinya, apa yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian DIY Yogyakarta adalah atas perintah Polri dan diteruskan oleh POLDA DIY, Brigjen Pol. Prasta Wahyu Hidayat.

Dalam hal ini pihak kepolisian melanggar perundang-undangan yang mengatur tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan adanya peristiwa yang menimpah pada mahasiswa Papua di kota keraton Yogyakarta tanggal 14-16 Juli 2016 tersebut, maka dalam tulisan ini berusaha akan mengkaji adanya unsur yang melanggar hak asasi manusia.

Sebenarnya hal ini sudah sangat melanggar fungsi kerja Polri yang mana telah diatur dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang
Salah satu mahasiswa korbam kekerasan oleh Polisi dan Ormas
Pasal 2 mengatur Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Sehingga pihak kepolisisan mempunyai tanggungj awab untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Jika dibandingkan dengan perturan kepolisian yang mengatur tugas dan tanggung jawab serta fungsi kepolisian tersebut dengan tindakan di asrama Kamasan I, lalu apa yang terjadi terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Dengan ini, sangat jelas, kepolisian Yogyakarta telah melanggaran peraturan POLRI Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara Republik Indonesia.

Dari sisi hukum, Negara Indonesia mengakui sebagai negara hukum sehingga aparat kepolisian RI bertanggung jawab atas memberikana keamanan dan kenyamanan secara mutlak terhadap mahasiswa Papua yang kelak menginginkan adanya menyampaikan pendapat di muka umum tanpa diskriminas. Untuk itu, kepolisian DIY bertanggung jawab untuk memberikan pengamanan dan perlindungi serta jaminan atas agenda mahahsiswa Papua yang berkeinginan untuk melakukan demo damai dalam rangka mendukung Konfrensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (MSG) yang membahas tentang keanggotaan penuh United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) di MSG. Justru yang terjadi adalah kepolisian RI telah mengepung asrama mahasiswa Papua pada pagi hari sebelum dilakukannya aksi damai. Melihat dari kondisi ini, maka saya menyimpulkan bahwa:

  • Pertama, tindakan kepolisisan RI adalah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum baik secara tertulis atau lisan dan sebaginya.
  • Kedua, pada saat yang sama, pihak kepolisian DIY telah melakukan kekerasan terhadap wartawan yang hendak meliput pengepungan Mahasiswa Papua tersebut, dengan kasus tersebut pihak kepolisian DIY telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang kemerdekaan pers bagi wartawan.
  • Ketiga, kepolisian RI melalui polda DIY melakukan tindakan kekerasan terhadap Mahasiswa atas nama Oby Kogoya mengakibatkan luka. Penganiyayaan dan penyiksaan yang dialami oleh Oby sebagai bentuk tindakan refresif kepolisian yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Sedangan tugas kepolisian seharusnya menjaga, melindungi, memberikan rasa aman dan kebebasan bagi setiap orang. Dengan adanya tindakan yang sangat tidak manusiawi terhadap manusia Papua, telah menunjukan kinerja buruk bagi KAPLORI dan KAPOLDA DIY. Tindakan penangkapan, penganiayaan atas nama Oby dan 6 orang Mahasiswa Papua lainnya merusak citra demokrasi Indonesia. Tindaka penindasan, penangkapan, penyiksaan, penganiayaan dan penangapan tersebut telah melakuakan pembatasan terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu pihak Komnas HAM, hukum terutama Presiden perlu mengeluarkan kepres atas reformasi dibidang penanganan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dikarenakan undang-undang yang ada tidak menjamin HAM dan Demokrasi.
  •  Keempat, jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, maka apa yang agendakan oleh Aktivis pendukung ULMWP adalah sesuai dengan perintah Kontitusi RI dan perundang-undang yang berlaku sehingga tindak aparat kepolisian RI di Yogyakarta pada 14 Juli adalah melanggar ketetuan yang mengatur didalam UUD 1945 dan UU tururnan yang disebutkan diatas.
Pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan penyampaian pendapat dimuka umum merupakan pelanggaran HAM karena hak untuk menyatakan pendapat dimuka umum dijamin oleh perundag-undangan RI.

Tindakan Pemerintah RI terhadap bangsa Papua selama ini memang tidak manusiawi, tidak ada pertimbangan kemanusiaan bagi rakyat Papua. Apapun alasannya, pemerintah RI melalui aparat negara selalu menggunakan tindakan yang mengedepankan kekuatan yang mengarah pada refresif, ancaman dengan senjata dan bentuk teror lainnya yang kemudian menimbulkan pelanggaran HAM bagi warga Papua sehingga selama sejak pencaplokan dan penganeksasian hingga kini pemerintah RI berpandang bahwa nilai manusia Papua disamakan dengan nilai se ekor hewan.

         Terlihat dengan jelas atas tindakan kekerasan yang menimpah pada rakyat Papua sejak dahulu hingga saat ini. Hal ini menimbulkan rasa kehilangan harkat dan martabat manusia Papua sebagai makluk ciptaan Tuhan yang mendiami di negeri Papua hingga saat ini. Melihat semua ini, RI perluh menyandari bahwa gerakan perlawanan rakyat Papua terhadap militerisme, securitisme, sisitem dan kebijakan yang menghancurkan peradaban hidup bangsa Papua akan terus bangkit hingga kemerdekaan itu terwujud. Tidak ada sesuatu kekuatan hukum apapun yang menghentikan gerakan kemerdekaan Papua kecuali rakyat bangsa Papua benar-benar dimusnahkan oleh RI.

Pemerintah RI sebagai negara merdeka, negara menganggap penyelenggara demokrasi terbesar ke III di dunia, negara yang mengakui adanya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan demokrasi, maka perluh adanya pendekatan HAM, demokrasi dan menghormati harkat dan martabat manusia Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan yang mulia.

C. Tindakan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Reaksioner Dan Rasis

         Yang lebih mengherankan adalah saat pengepungan mahasiswa Papua di asrama Kamasan I Jl. Kusumanegara di Yogyakarta tersebut, pihak kepolisian RI mengundag atau menghadirkan ORMAS buatan yang sangat kecam dan tidak memiliki sifat kemanusiaan yang saya bisa sebut sebagai manusia berwajah harimau hadir saat itu. ORMAS yang keras, kejam, tidak mempunya nurani kemanusiaan tersebut melakukan penggerebekan yang mengakibatkan reaski yang selayaknya ANJING JAHAT saat menggong-gnggong musuhnya.

         Penguasa militerisme Indonesia yang telah berhasil melahirkan kaum reaksior, ultra-nasionalis, yang sempit otak. Hati nurani mereka telah dipasung dengan nasionalisme buta, hingga terkurung dalam lingkaran gagal ideologi tersebut menibulkan suatu persoalan baru dengan sebutan bangsa Papua sebagai keturunan monyet, keturunan babi, anjing dan sejenisnya. Sedangkan pemerintah RI sebagai penguasa secara jelas Undang-Undang nomor 40 Tahun 2008 tentang: Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam kedudukannya sebagai salah satu dasar hukum penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia yang merupakan suatu negara hukum belum memberikan peran dan fungsi yang maksimal dimana seharusnya segala macam tindakan yang dilakukan di Indonesia harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada kenyataannya, diskriminasi ras dan etnis yang meyimpa kepada bangsa Papua melalui ORMAS di Yogyakarta sangat tidak tidak etis.

Video ucapan monyet, keturunan babi, anjing dan sejenisnya terhadap mahasiswa Papua saat dikepungi di asrama Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.
 —

Saat itu, tidak hanya pihak ORMAS yang mengeluarkan mulut bagaikan kebun binatang tersebut, namun kepolisian dan pihak intel bersama-sama ORMAS pula yang mengeluarkan omongan dengan sebutan manusia Papua sebagai keturunan monyet dan lainnya. Ketika sebuah poster keputusan hasil sepakat para mahasiswa di Yogyakarta tersebut dimuat melalui media online, seorang dengan nama akun facebook Priyo Hardsono dalam komnternya berbunyi demikian “Gak usa banyak bacot, pergi sana, pulang ke kandang monyetmu”. Pernyataan ini hanyalah sebuah contoh dari semua yang dibicarakan dengan sebutan yang melebihi dari sebelumnya.

Sebuatan manusia Papua sebagai hewan merupakan penghianatan terbesar terhadap harkat dan martabat kemanusiaan manusia Papua sebagai ciptaan Tuhan yang mulia. Merendahkan nilai kemanusiaan yang diciptakan oleh Tuhan sebagai sang pencipta adalah menyakitkan hati Tuhan itu sendiri sebagai ciptaannya sesuai dengan gambaran dan rupahnya sendiri. Tidak sekeder itu, manusia sebagai gambar Allah itu sendiri, maka masyarakat Yogyakarta teleh merendahkan, menghina, dan merusak Tuhan Allah.

Dengan sadar atau tidak sadar, dalam kondisi normal atau gila, kelompok ORMAS yang reaksioner, kepolisian dan berbagai komentar yang dituangkan oleh masyarakat melayu secara umum, sangat menyakitkan hati Tuhan sebagai sanga pencipta sesuai gambaran dan rupahnya sendiri.

Terkait dengan perundang-undangan yang mengatur tentang penghapusan segalah bentuk diskriminasi rasis, etnis dan merendahkan nillai manusia itu sendiri mengakibatkan pelanggaran perundang-undangan dan melundai nilai dan norma yang dimiliki manusia Papua.

Sedangakan Pemerintah RI telah mengundangkan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan adanya tindakan ORMAS dan kepolisian RI tersebut, telah melanggar UU No.40 tahun 2008 terutama pasal 16 yang berbunyi setiap orang yang dengan sengaja menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf b angka 1, 2, dan 3 dipidana dengan pidana penjarah paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak RP 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Dengan undangan-undangan diatas, maka kami menuntut kepada pemerintah RI bertindak dan mengadili para ORMAS dan kepolisian yang melakukan tindakan omongan yang menyebutnya manusia Papua keturuan monyet, babi anjing dan lainnya selama penggerebekan berlangsung. Kami menuntut pertanggungjawab hukum agar para aktor diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalam undang-undang ini. Agar harapan penegakan dan penghormatan terwujud secara hukum.


D. Sri Sultan Hamengkubuwono Menolak Gerakan Separatis Papua Di Yogjakrkat?
Sri Sultan Hamengkubuwono X
         Pembahasan terakhir dari tulisan ini adalah terkait dengan pernyataan raja keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono, Selasan 19 Juli 2016, yang mana dalam himbauannya bahwa bagi orang Papua yang punya aspirasi separatis jangan tinggal di Yogyakarta tetapi harus keluar dari Kota ini. Pernyataan ini sangat membahayakan bagi aktivis pro demokrasi yang secara hukum melegalkan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM bagi mahasiswa Papua yang dilakukan oleh ORMAS dan kepolisian. Sultan juga memberikan kesempatan yang luas bagi mereka. Sultan, seharusnya memberikan pandangan umum kepada ORMAS yang merusak martabat manusia, justru menyuruhnya melakukan tindakan yang sama kepada Mahasiswa Papua yang berada se Jawa dan Bali terutama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang menyuarakan aspirasi penentuan nasib sendiri bagi bangsa papua melalui jalur refreedum.

Saya anggap, pernyataan Sultan HB ke X adalah tanggapan kekanak-kanakan yang memberikan impunitas secara ilegal kepada ORMAS dan Polisi untuk menciptakan anti demokrasi, HAM, dan Keadilan bagi mahasiswa Papua. Lida Sultan juga merusak dirinya sebagai raja yang sesungguhnya benar-benar mengerti persoalan Papua.

Dari berbagai tanggapan, reaksi dan tindakan masyarakat Yogyakarta tersebut kemudian dapat melahirkan pertanyaan dibenak Saya serta masyarakat Papua secara umum adalah bukankah masyarakat Yogyakarta juga sebagai separatis? Mengapa?Setelah mendengar pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Monarkhi di Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengundang kontroversi yang cukup memanaskan suhu politik dalam negeri pada tahun 2014. Akibat pertentangan tersebut, situasai politik terutama di DIY, sangat panas. Sri Sultan Hamengkubuwono menyatakan perlu dilakuan referendum bagi rakyat Yogya bila pemerintah pusat memaksakan kehendak untuk memberlakukan sistem demokrasi untuk memilih Gubernur di DIY. Banyak reaksi dan dukungan dari warga dan para pemuka yang mendukung agenda referendum yang diusulkan Sri Sultan tersebut. Dukungan secara penuh datang dari pemda kabupaten, lurah, mahasiswa dan unsur-unsur masyarakat lainnya, termasuk dari luar Jawa.

Dengan pernyataan yang menyatakan adanya refreedum bagi DIY, maka Sri Sultan A.B. X dan Masyarakat Yogyakarta adalah kelompok separatis di Indonesia. Refreedum yang dimaksud bukan sekedar sebagai penentuan apakah tetap dibawha kerajaan Sri Sultan atau ikuti sisitem demokrasi seperti yang diinginkan SBY saat itu, tetapi benar-benar menuntut untuk diadakannya referendum agar memperoleh kemerdekaan, bahkan sudah ada unsur masyarakat Yogya yang ingin “merdeka”, seperti Timor Timur. Dengan ini, masyarakat Yogyakarta serta pemimpinnya adalah kelompok separatis didalam pemerintah NKRI itu sendiri.

Oleh karenanya, diskriminasi antar kelompok separatis ini telah memunculkan polemik adanya diskriminasi antar Rasis. Lucu bukan? Semoga Masyarakat, terutama ORMAS menyadari hal ini.

Menanggapi peristiwa tersebut, LBH Jakarta telah melakukan jumpa pers dan mengutuk keras atas tindakan refresif kepolisian dan ORMAS reaksioner terhadap orang Papu khususnya mahasiswa ras melanesia di kota Yogyakarta yang sangat tidak manusiawi dan tidak beradap tersebut. Beberapa hari kemudian, KOMNAS HAM RI terjun langsung dan melakukan investigasi di asrama Papua Kamasan I Yogyakarta. Hasil investigasi persoalan yang berujung pada pelanggaran HAM bagi mahasiswa Papua tersebut akhirnya KOMNAS HAM telah merumuskan 8 bentuk pelanggaran HAM. 8 bentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pertama, terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Kepolisian seharusnya memberikan ruang dan perlindungan atas kebebasan tersebut karena merupakan hak kodrati yang melekat pada setiap orang individu dan menyangkut kedaulatan individu. Negara tidak mempunyai kewenangan mutlak untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Adanya tindakan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum.
  • Kedua, adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat Kepolisian terhadap mahasiswa Papua di luar lingkungan Asrama Kamasan I. Tindakan penganiayaan dan penyiksaan secara sadar dan sengaja merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang melekat pada setiap orang dan tidak dapat digantikan (Non Derogable Rights) sebagaimana ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
  • Ketiga, adanya tindakan hate speech berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme dari oknum ORMAS intoleran saat pengepungan, seperti Monyet, biadab dan hitam. Tindakan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
  • Keempat, adanya fakta peristiwa dimana kelompok ORMAS intoleran yang datang ke depan asrama mahasiswa Papua lalu berorasi dan melakukan tindakan hate speech rasis. Kejadian ini disaksikan oleh aparat keamanan. Tidak adanya pencegahan atas kedatangan ORMAS yang berkumpul dan berorasi tanpa ijin di depan aparat keamanan merupakan suatu tindakan pembiaran. Komnas HAM menyatakan peristiwa ini sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia melalui tindakan pembiaran oleh aparat (by omission). Tindakan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  • Kelima, Komnas HAM RI memastikan Pemerintah Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan jaminan rasa aman bagi Mahasiswa Papua melalui langkah-langkah kongkret diantaranya Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, dan pernyataan-pernyataan untuk mencegah dan mengatasi tindakan rasisme terhadap warga Papua. Hal ini penting mengingat 5 tahun terakhir telah terjadi stigma negatif terhadap Mahasiswa Papua dan adanya Papua phobia di kalangan ORMAS dan masyarakat DIY.Keenam, adanya fakta terjadinya penangkapan dan penahanan terhadap 8 orang Mahasiswa Papua oleh Aparat Kepolisian, dan satu diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Tindakan penangkapan dan penetapan sebagai tersangka terhadap Mahasiswa Papua tersebut dilakukan tanpa menunjukkan dua alat bukti yang kuat. Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip penegakkan hukum yang berkeadilan dan non-diskriminasi sebagaimana ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
  • Ketujuh, adanya tindakan excessive use of power oleh Aparat Kepolisian, ditunjukkan dengan adanya pengerahan jumlah aparat yang berlebihan, penggunaan senjata dan tembakan gas air mata yang diarahkan ke dalam Asrama Kamasan I.
  • Kedelapan, terkait pernyataan Gubernur DIY tentang separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta. Komnas HAM menilai pernyataan tersebut sangat multi-tafsir karena tidak ditujukan kepada individu yang melakukan separatisme, namun dapat dimaknai bahwa pernyataan separatisme tersebut ditujukan kepada orang Papua (yang sedang menjalani studi di DI. Yogyakarta).
Analisis: Tindakan Kepolisian dan Ormas Sangat Bertentangan dengan Undang-Undang
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, mendatangi kediaman Sri Sultan Hamengkubuwono X. Foto: Natalius Pigai
—————————————————–
Penulis adalah Mahasiswa Strata Satu Falkultas Hukum di salah satu
Perguruan Tinggi di Salatiga, Jawa Tengah.
Catatan: Dalam artikel analisis kasus pada 14 Juli 2016 Bagian I dan II  bila ada yang perlu koreksi, dapat memberikan saran yang bersifat membangun melalui E-Mail kami dibawa ini:

Baca juga terkait dengan analisis diatas berikut ini:

  1. Kronologi Resmi PRPPB: Represi Polisi dan Kelompok Reaksioner Terhadap Mahasiswa Papua dan PRPPB
  2. LBH Jakarta: Laporkan Polisi ke Komnas HAM
  3. Tindakan Represif Berbasis Diskriminasi dan Rasis Terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta
  4. LBH Jakarta: Hentikan Kekerasan Sewenang-Wenang Terhadap Orang Papua
  5. DPR Papua akan Segera ke Yogyakarta, “Kami tidak Terima Sebutan Monyet”
  6. LBH Jakarta Mengecam Kasus Rasisme dan Sikap Kepolisian Terhadap Orang Papua
  7. Mahasiswa Papua Darurat Demokrasi, Mobil PMI Berisi Logistik ditahan Polisi

Posted by: ERIK
Copyright ©Tabloid WANI


Tanggapan anda, Silahkan beri KOMENTAR di bawa postingan ini…!!!

0 Comments

  1. kasi pulang dorang kembali ke jawa!! usir dong pulang! biar mereka tau hasil dari dong pu mulut rasis terhadap orang papua, cari makan deng hidup mati di papua saja sombong!! tanah di jawa habis kapa kong pemerintah kirim dong kemari rampas tong pu tanah…

Leave a Reply

Your email address will not be published.