Oleh: Made Supriatma
Tabloid-Wani, OPINI — Setiap kali saya membaca buku-buku tentang Papua yang ditulis oleh orang Papua asli, selalu terselip satu istilah ini, ‘memoria passionis.’ Artinya, ingatan akan penderitaan, kesengsaraan, atau situasi ketidakadilan yang tidak terperikan.
Istilah ini dilontarkan oleh teolog Jerman, Johann Baptist Metz, yang banyak menelurkan pemikiran-pemikiran teologi yang berdasarkan praksis sosial. Dari sinilah ‘ingatan akan penderitaan’ itu muncul.
Teologi, demikian Metz, didalami lewat perjumpaan dengan ingatan terhadap masa lalu yang menderita, yang sengsara, dan ketidakadilan, dan dari sana dibangun kesadaran untuk menemukan Tuhan. Ingatan akan penderitaan adalah jalan untuk menuju pembebasan. Metz mengacu pada ‘non-forgetting’ dari Walter Benjamin.
Untuk Metz, memoria passionis ini tidak hanya dijumpai dalam ingatan akan penderitaan Kristus, namun juga (dalam versi modern) ingatan tentang Auschwitz. Sebagaimana kita ketahui, Auschwitz adalah kamp konsentrasi yang dibangun Nazi Jerman untuk membantai enam juta orang Yahudi.
Dengan demikian, ingatan akan penderitaan ini tidak saja historikal namun juga kontekstual. Menurut saya, untuk kaum Kristen Indonesia, perjumpaan dengan Tuhan tidak saja dilakukan dengan mendalami kesengsaraan Kristus namun juga ingatan yang kontekstual — seperti pembantaian 1965, misalnya. Bukankah ini adalah rangkaian ‘memoria passionis’ orang Indonesia sebagai komunitas?
Tidak terlalu mengherankan pemikiran Metz ini kemudian meletakkan dasar pemikiran teologi pembebasan yang kemudian tumbuh subur di Amerika Latin dan menyebar ke berbagai belahan dunia dan bahkan sedikit mempengaruhi teologi di agama lain.
Istilah ‘memoria passionis’ menjadi sangat populer di kalangan cendekia Papua. Dengan tepat pula, istilah ini menunjuk pada konteks historis bangsa Papua, sekaligus sangat kontekstual.
Bangsa Papua selalu mengingat bagaimana mereka selalu menjadi obyek mainan berbagai macam kekuatan di dunia. Ketika merdeka, Indonesia mengklaim bahwa wilayahnya adalah seluruh wilayah administrasi kolonial Hindia Belanda.
Ketika keadaan ekonomi Indonesia semakin sulit, Soekarno mencoba mengalihkan perhatian dengan ‘merebut’ Papua. Pada bulan Desember 1961, Soekarno melancarkan Trikora di Yogyakarta. Mulailah operasi militer perebutan Papua. Nama baru Papua pun diperkenalkan yakni “Irian’ (Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands).
Operasi militer ini membuat Amerika yang kuatir bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan komunis, akhirnya menekan Belanda untuk menyetujui penyerahan Papua ke Indonesia melalu prosedur ‘penentuan pendapat rakyat.’ Semua itu ditentukan lewat New York Agreement 1962.
Peserta musyarawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua di New Guinea, pada bulan Juli sampai Agustus Tahun 1969. |
Pada tahun 1963, Belanda keluar dari Papua secara serentak. Sejak saat itu, Papua sebenarnya berada dalam penguasaan Indonesia. Mulailah peridoe penderitaan tiada tara. Bahkan Jusuf Wanandi, arsitek dari pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang penuh kecurangan itu mengatakan dalam buku memoarnya, bahwa tentara Indonesia menjarah apa saja yang bisa dijarah ketika masuk kesana. Bahkan kaleng bir kosong dan kabel juga diembat dan dikirim ke Jawa atau ke daerah-daerah lain Indonesia. Maklumlah, ekonomi Indonesia sedang hancur. “Tidak heran kalau mereka (orang Papua) demikian membenci kita. Belanda meninggalkan begitu banyak hal dan kita merampas semuanya,” demikian tulis Wanandi.
Baca ini lagi:
- Sejarah Rakyat Papua Protes Hasil Pepera dan Nama-Nama Anggota Dewan Musyawarah PEPERA
- Teks dan Audio Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat
- Negara Seolah Lupa Sejarah Perempuan Papua Diperkosa, Dibunuh, hingga Ditelantarkan Tentara
- Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay Oleh Kopassus di Papua
- Buku Laporan Kekejaman di Papua telah Diluncurkan
Dan kemudian diadakan Pepera tahun 1969. Indonesia menentukan sekitar 1,026 orang untuk ikut dalam Pepera. Mereka disiruh ‘bermusyarawarah.’ Hasilnya tentu bisa diduga: ikut Indonesia. Suara rakyat Papua tidak didengar. Kemudian mulailah periode memperlakukan bangsa Papua sebagai bangsa primitif. Ada usaha besar-besaran untuk membikin bangsa Papua ‘beradab.’ Tentu saja beradab dengan standar Indonesia.
Juga terjadi penindasan dan pembantaian besar-besaran dimana-mana. Hal itu ditutup rapat-rapat dari rakyat Indonesia maupun dari dunia internasional. Hingga sekarang, Indonesia tidak memberikan kebebasan pada jurnaslis, peneliti, atau pekerja NGOs internasional untuk bebas bekerja di Papua. Wilayah Papua diblokade.
Penderitaan itulah yang dikenang oleh bangsa Papua. Mereka mengenang penderitaan masa lalu untuk menatap masa depan. Persis seperti Benjamin yang melihat ‘non forgetting’ masa lalu untuk mengejar kebahagiaan di masa mendatang. Ingatan ini persis seperti ingatan ‘the trail of tears’ (lintasan air mata) yang dialami oleh suku Indian Cherokee yang pindah dari selatan Amerika ke daerah pegunungan tengah. Ribuan dari mereka mati dalam migrasi itu. dan terlebih lagi mereka tetap dikejar-kejar oleh kaum ‘settlers’ kulit putih.
Tiga hari yang lampau, memoria passionis bangsa Papua bertambah lagi. Perlakuan yang diterima oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta, ketika mereka diblokade dalam asrama, dan beberapa dipukuli dan ditahan, akan melengkapi kenangan ini. Foto yang beredar luas di dunia tentang anak muda yang diinjak kepalanya itu akan menjadi bagian dari ‘the trail of tears’ dan ‘memoria passionis’ untuk perjuangan bangsa Papua.
Sejarah sudah membuktikan bahwa ‘memoria passionis’ atau ‘trail of tears’ akan sangat sulit untuk dihapus. Ia malah akan mengokohkan harapan akan keadilan dan kemerdekaan. Dia akan hidup bergenerasi, sepanjang keadilan dan kemerdekaan itu belum terpenuhi.
Pihak yang paling kalah dalam hal ini adalah Indonesia, baik bangsa maupun negara. Polisi, tentara, intel, dan ormas-ormas itu sudah melakukan kesalahan yang amat fatal. Tidak saja dari segi kemanusiaan namun juga dari sisi politis. Indonesia sudah mengalami puluhan tahun dengan Timor Leste. Namun itu tidak menjadi pelajaran. Keledai tidak terperosok kedua kalinya dalam lubang yang sama. Namun aparat keamanan Indonesia bersama ormas-ormas sipil bersenjata bikinannya itu bukan keledai. Entah siapa mereka itu, jatuh berkali-kali dalam lubang yang sama.
Tetang penulis:
Made Supriatma |
Tetang penulis:
Made Supriatma adalah seorang penulis di sebuat situs media online ternama di Indonesia.
Editor by: ERIK
Tanggapan anda, Silahkan beri KOMENTAR di bawa postingan ini…!!!