Dark
Light
Today: September 13, 2024
8 years ago
52 views

Deja Vu Gelombang Eksodus Mahasiswa Papua

Deja Vu Gelombang Eksodus Mahasiswa Papua
Mahasiswa Papua di pulau Jawa EXODUS. Gambar: Ilustrasi/Dok WANI
Yogyakarta, Tabloid-WANI — Lukas Enembe pusing bukan main. Gubernur Papua itu kehabisan akal bagaimana meredam emosi Aliansi Mahasiswa Papua yang melempar ancaman eksodus. Pertemuan dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, tidak membuahkan hasil. Tak ada titik temu antara para mahasiswa dan Sultan.
“Jika tuntutan tidak dipenuhi, kami mahasiswa Papua di Yogya dan seluruh tanah Jawa, serta Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, siap eksodus,” kata pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Roy Karoba, begitu keras hati.
Dari Yogyakarta, Lukas terbang ke Jakarta. Di sela Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah, ia bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Tak membuang waktu, Lukas langsung menyampaikan kegelisahannya.
“Tujuh ribu orang bagaimana mau dipulangkan sekaligus ke Papua? Itu jumlah yang besar, dan akan menimbulkan persoalan baru yang kompleks,” ujarnya, Kamis (4/8).
Sejak insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, bola bergulir liar. Isu rasialisme bercampur dengan dugaan represivitas aparat dan sikap politik “separatis,” berujung pada rencana eksodus Aliansi Mahasiswa Papua.
Déjà vu. Ini bukan kali pertama Aliansi Mahasiswa Papua berniat melakukan migrasi massal dari Yogya –kota yang menjadi favorit para pelajar setanah air.
Eksodus pernah terjadi dua kali sebelum ini. “Tahun 2009 dan 2011,” kata Roy kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/8).
Tujuh tahun lalu, pada satu Jumat siang di bulan Februari 2009, Kapal Pelni Labobar bersandar di dermaga Jayapura, membawa 30 orang mahasiswa Papua dari Pulau Jawa. Salah satunya Victor Yeimo yang di kemudian hari menjadi Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) –organisasi politik yang mengkampanyekan Papua merdeka.
Tiga puluh orang yang tiba hari itu merupakan gelombang pertama dari sekitar 500 mahasiswa Papua di Jawa, Bali, Makassar, dan Manado yang berniat pulang kampung.
Alasan mereka pulang saat itu karena prihatin dengan situasi di Papua yang menurut mereka berada dalam ancaman militerisme. Rombongan mahasiswa tersebut menjejak tanah kelahiran mereka dengan satu tekad: memperjuangkan hak-hak orang Papua.
Dua tahun kemudian, 30 November 2011, sehari sebelum ulang tahun Organisasi Papua Merdeka yang diperingati tiap tanggal 1 Desember, sejumlah media nasional mengabarkan mayoritas mahasiswa Papua di Yogya serentak pulang kampung.
Menurut Martinus yang kala itu menjabat pengurus Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), 70 persen dari 7.000 mahasiswa Papua di Yogya eksodus. Asrama Kamasan lengang. Para mahasiswa pergi sebab merasa diteror, diintimidasi, dan dibuntuti orang tak dikenal.
Meski demikian, informasi simpang siur. Sejumlah mahasiswa Papua yang tak ikut pulang kampung berkata, kawan-kawannya hanya berlibur usai ujian.
Dari rasialisme ke radikalisme
Migrasi massal mahasiswa Papua, ujar peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono, bukan tanpa konsekuensi. Mereka yang kini menjadi pentolan-pentolan perjuangan kemerdekaan Papua, dulu merupakan mahasiswa yang eksodus dari Jawa.
Eksodus tidak berlangsung dalam satu gelombang, namun bertahap selama setahun penuh. Sebab para mahasiswa itu butuh waktu untuk mengurusi transfer kuliah dan tempat tinggal baru.
“Eksodus terdahulu melibatkan anak-anak AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) generasi pertama. Mereka kembali ke Papua karena menerima rasialisme di Jawa. Mereka lantas ikut KNPB, meningkatkan radikalisasi di Papua,” ujar Andreas.
“KNPB didirikan oleh anak-anak Papua dari Yogya. Para pemikirnya kuliah di Yogya. Mereka orang-orang terdidik yang kecewa dengan rasialisme di Yogya. Kuliah belum tamat, eksodus ke Jayapura.”
Rasialisme pula yang kini disoal Aliansi Mahasiswa Papua. Sebab dalam insiden 15 Juli, para anggota organisasi kemasyarakatan yang mengepung Asrama Kamasan melontarkan nama-nama binatang hingga kata-kata rasis.
“Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga, kepada kami –mahasiswa Papua, masyarakat Papua,” kata salah satu mahasiswa yang berada dalam asrama ketika insiden terjadi.
Rasialisme orang Indonesia terhadap rakyat Papua, menurut Andreas, adalah alasan paling dasar kenapa orang Papua ingin merdeka.
“Orang Indonesia, termasuk Jawa, memandang rendah orang kulit hitam, dianggap primitif dan terbelakang,” ujar Andreas.
Kebencian orang Papua terhadap rasialisme, misalnya, dirasakan pejuang Papua, Filep Karma. Pria yang berasal dari keluarga terpandang di Papua itu tak pernah lupa perilaku yang dia terima semasa berkuliah di Solo, Jawa Tengah.
“Salah seorang anak dari trah Raja Solo pernah omong ke saya di depan teman-teman lain, ‘Wah, kamu kok hitam sekali sih. Hitam, keriting.’ Saya jadi bahan tertawaan. Dua kali diperlakukan begitu, saya akhirnya memutuskan untuk melawan,” kata Filep di Jayapura beberapa waktu lalu.
“Saya hitam dan keriting sudah dari sananya. Sudah ciptaan Tuhan,” ujar Filep yang mendekam di bui 11 tahun sebagai tahanan politik karena memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Nontong videonya:

KLIK DISINI [Gambas:Video CNN]

Sakit hati Filep yang membekas, tercermin dalam buku tentang dia yang berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang.
“Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan evolusi teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Seringkali orang Papua dikata-katai ‘Monyet! Ketek!’” tutur Filep dalam bukunya.
Perilaku hangat justru diterima Filep ketika melanjutkan studi di Manila, Filipina. “Saya dianggap bagian dari mereka, atau dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan, tidak seperti yang saya alami di Jawa.”
Maka, ujar Andreas, eksodus mahasiswa Papua yang menjadi benih radikalisme, merupakan konsekuensi dari pemikiran dan sikap rasialis suatu bangsa.

Copyright ©CNN Indonesia


Tanggapan anda, Silahkan beri KOMENTAR di bawa postingan ini…!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.