Basilius Triharyanto. |
Jakarta — Lembaga Kemanusiaan Papua, Honai Center, menyatakan Kejaksaan Agung harus memproses kasus Wasior, Wamena, dan Paniai Papua dengan UU HAM bukan KUHAP. Hal ini dinyatakan usai 3 kasus itu akan dilakukan gelar perkara ulang karena perbedaan padangan antara Kejakgung dan Komnas HAM.
Menurut penanggungjawab Honai Center, Basilius Triharyanto mengatakan, kasus-kasus itu memiliki indikasi pelanggaran HAM. Hal itu terlihat dari temuan awal penyelidikan Komnas HAM.
“Nah ini justru membuat kita belajar,” terangnya kepada KBR, Senin (21/11/2016) siang.
“Kalau ini dibawa ke UU HAM, ini menunjukkan hal yang positif. Bahwa pemerintah merespon baik perkembangannya, kemudian membuka mata bahwa pemerintah juga menindaklanjuti beberapa kasus,” jelasnya lagi.
Sementara itu, menurut Basilius, jika Kejaksaan Agung tetap menggunakan KUHAP hal ini merupakan kemunduran dalam upaya penegakkan HAM di Indonesia. Sebab, KUHAP hanya akan menjerat pelaku kriminal. Sehingga negara menjadi lepas tanggung jawab.
“Ini preseden yang tidak baik bagi penegakkan HAM di Papua,” katanya lagi.
Sebelumnya, Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Papua merekomendasikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM untuk segera disidangkan.
Delapan kasus dinyatakan lanjut adalah penyanderaan di Mpunduma oleh Kelly Kwalik tahun 1997, Biak 1998, Penyerangan Polsek Abepura tahun 2000, hilangnya Aristoteles Masoka, sopir almarhum Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay tahun 2001, Penembakan Opinus Tabuni di Wamena, Penyiksaan Yawan Wayeni di Serui, Penembakan Mako Tabuni, dan Kongres Rakyat Papua III.
Namun tiga kasus yakni Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014, akan diulang gelar perkaranya.
Baca berikut ini:
Copyright ©KBR