Ilustrasi aparat gabungan yang memasuki kawasan Rusunawa Universitas Cenderawasih saat melakukan penyisiran aksi 19 Desember 2016 – Foto: Zely Ariane. |
Jayapura — Civil Liberty Defenders (CLD), gabungan pengacara HAM Indonesia berbasis di Jakarta, akan melaporkan Kapolda Papua ke Ombudsman RI karena dituding melakukan praktek maladministrasi atas terbitnya Maklumat Kapolda Papua 1 Juli 2016.
Maklumat tersebut dinilai bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan dan kebebasan berekspresi masyarakat Papua, serta diskriminatif dan memperdalam stigma.
Uchok Shigit Prayogy salah seorang pengacara muda CLD yang menjadi salah satu pelapor saat dihubungi Jubi melalui telepon, Kamis (15/6) mengatakan laporan itu terutama dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban hukum dan administrasi terkait keluarnya Maklumat Kapolda Papua 1 Juli 2016 tersebut.
“Kita minta pertanggunjawaban karena maklumat itu jelas melanggar kebebasan masyarakat Papua menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Uchok.
Secara administrasi, CLD menyatakan Maklumat Kapolda Papua yang ditujukan kepada pihak non internal kepolisian itu telah bertentangan dengan prinsip Maklumat yang bersifat pemberitahuan dan hanya ditujukan kepada internal kepolisian.
“Secara prinsip jika merujuk kepada Peraturan Kapolri nomor 15 tahun 2007 sah-sah saja, tapi perlu diingat itu hanya bersifat pemberitahuan dan (seharusnya) hanya berlaku untuk wilayah (internal) kepolisian yang mengeluarkannya,” kata Uchok Sigit.
Oleh karena itulah, lanjut dia, Maklumat tersebut telah melanggar di dua ketentuan itu, yaitu dikeluarkan untuk membuat stigma terhadap 7 organisasi dan juga ditujukan kepada masyarakat dan seluruh aparatur pemerintah, “ini jelas melanggar dasar Maklumat tersebut,” tegas dia.
Walaupun dibeberapa kantor kepolisian di Papua terdapat spanduk-spanduk pengumuman yang mengklaim Maklumat Kapolda Papua ditujukan bukan untuk membungkam ruang demokrasi, pengacara CLD menuding sebaliknya. “Itu hanyalah upaya pembungkaman suara masyarakat Papua karena Maklumat ini lahir justru ditengah aksi-aksi damai yang masif dilakukan masyarakat Papua dalam menyikapi pelanggaran HAM,” kata Uchok.
Melalui pelaporan ke Ombudsman RI ini CLD hendak mendorong Ombudsman agar memroses laporan tersebut dan meminta klarifikasi dari Kapolda Papua sehingga diketahui secara legal apa yang melatarbelakangi keluarnya Maklumat yang dianggap diskriminatif tersebut.
“Dari pelaporan ini nanti akan dikeluarkan rekomendasi yang nantinya akan dijadikan acuan perbaikan Kepolisian sebagai pelayan publik yang tidak diskriminatif terhadap masyarakat Papua, maupun organisasi di Papua, terutama dalam menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Uchok.
Sejak awal dikeluarkan, Maklumat Kapolda Papua 1 Juli 2016 sudah memanen penolakan berbasis argumentasi hukum oleh beberapa pengacara HAM di Papua, seperti Gustaf Kawer, Anum Siregar dan Simon Pattiradjawane. Senada dengan CLD, pada intinya mereka beranggapan Maklumat tersebut hanya bagian dari upaya membungkam kebebasan berekspresi.
“Sebagai pengacara publik kami menilai Kapolda sudah melampuai kewenangannya ketika mengeluarkan Maklumat. Sehingga kami minta ini dicabut dan tidak boleh berlaku,” tegas Simon Pattiradjawane saat itu.
Kapolda Papua yang baru, Boy Rafli Amar saat dihubungi redaksi untuk dimintai tanggapan terkait rencana pengaduan CLD ke Ombudsman RI tampaknya enggan memberikan respon, baik melalui pesan singkat maupun sambungan telpon.
Sementara Ombudsman RI baru bisa memroses laporan pihak CLD setelah 14 hari kerja sejak surat somasi dan klarifikasi CLD kepada Kapolda Papua dikirimkan tanggal 5 Juni 2017 lalu.
Seperti diketahui, pada tanggal 1 Juli 2016, Kapolda Papua saat itu, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengeluarkan Maklumat bernomor 245/VII/2016 ditengah masifnya aksi-aksi yang dimediasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dalam mendukung United Liberation for West Papua (ULMWP) untuk masuk ke Forum MSG.(*)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com