Ilustrasi spanduk. |
Paniai — Peristiwa Biak berdarah, yang ketika itu dipimpin Filep Karma melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora. Saat pembubaran dan penurunan bendera BK di menara air Puskesmas Biak Kota diduga telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di lokasi tersebut, Kelurahan Burokub, Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua pada 6 Juli 1998.
Laporan pelanggaran HAM itu telah dilakukan berdasarkan investigasi dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Papua yang berjudul: Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama.
Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy menegaskan, KOMNAS HAM sudah menerima laporan tersebut dan terdapat korban-korban, di antaranya meninggal dunia delapan orang, hilang tiga orang, luka berat empat orang yang sempat dievakuasi ke Makassar, Sulawesi Selatan, luka-luka 33 orang, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan 50 orang serta mayat misterius 32 mayat.
“Sayang sekali, karena hingga 19 tahun berlalu, Komnas HAM sebagai lembaga yang diberi kewenangan mengambil langkah hukum menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM sama sekali belum melakukan tindakan apa pun dalam menyikapi atau berupaya mengungkapkan kasus Biak Berdarah 6 Juli 1998 tersebut,” tegas Yan Christian Warinussy kepada Jubi melalui keterangannya, Rabu, (5/7/2017).
Menurut dia kasus Biak berdarah memiliki indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud dalam amanat Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 dari Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
“Sehingga sekarang ini diperlukan peran semua elemen masyarakat sipil seperti gereja dan adat untuk bersama-sama dengan para korban dan atau keluarganya untuk mendesak Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM, guna membuka dan menyelidiki serta mengungkap tabir gelap dari kasus Biak berdarah yang menelan banyak korban tersebut secara hukum,” ungkapnya.
Desakan tersebut kata dia dapat dilakukan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai amanat Pasal 43 dan Pasal 44 dari Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM melalui keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Jika semua mekanisme tersebut senantiasa sulit untuk memberi jawaban terhadap upaya pencarian dan pencapaian rasa keadilan bagi para korban, maka LP3BH bersama seluruh elemen masyarakat sipil mendesak kasus Biak berdarah tersebut dapat dipertimbangkan untuk didorong diselesaikan dengan menggunakan mekanisme internasional berdasarkan Statuta Roma,” paparnya.
Sementara itu Kordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua, Penehas Lokbere mengatakan, negara juga telah meratifikasi beberapa instrumen internasional seperti Konvensi Internasional Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, dibentuknya Komnas HAM RI, Pengadilan HAM dan lain lain.
“Ini bukti ketidakpedulian negara Indonesia pada tragedi Biak berdarah tampak dari tidak adanya pengakuan negara terhadap korban-korban yang berjatuhan,” katanya. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com