Dark
Light
Today: December 11, 2024
7 years ago
120 views

50 Tahun Pengungsi West Papua Tanpa Kewarganegaraan di Pulau Manus

50 Tahun Pengungsi West Papua Tanpa Kewarganegaraan di Pulau Manus
Pengungsi West Papua di Pulau Manus walau tidak memiliki kewarganegaraan namun merasa lebih bahagia. Photos: sbs.com.au.
Jayapura — ‘Salasia Camp’, sebuah lokasi pengungsian pertama milik Australia di Pulau Manus, Papua Nugini (PNG). Diantara para pengungsi di tempat itu berasal dari West Papua yang telah ada di sana selama lima puluh tahun dan baru saja ditawarkan kewarganegaraan PNG.
Seperti dilaporkan oleh situs SBS Australia 14 Juli 2017 lalu, camp pengungsi itu dibangun oleh Australia dan digunakan untuk menghindari konfrontasi diplomatik dengan Indonesia dengan cara mengisolasi sejumlah orang-orang West Papua yang cukup berpengaruh di Pulau itu.
Pengungsi West Papua di Pulau Manus. Photos: sbs.com.au.
Di era 1960-an itu, Indonesia sedang mempersiapkan pengambilalihan West New Guinea (sebutan West Papua saat itu) secara militer dari koloni Belanda, yang kemudian memicu krisis pengungsi pertama kalinya. Ribuan “para penembus perbatasan” lari ke wilayah PNG yang saat itu masih berada di bawah koloni Australia.
“Kami datang sebagai pengungsi ke Pulau Manus. Pemerintah Australia memindahkan kami,” kata Manfred Meho, yang tiba di Pulau Manus semasa masih berusia 3 bulan dengan pesawat Caribou Australia dari camp pengungsi lainnya dekat perbatasan Indonesia.
“(Waktu itu) ada krisis politik, perlawanan di West Papua antara OPM dengan tentara Indonesia. Orang tua kami, melarikan diri karena mereka pendukung West Papua. Papua Merdeka,” kata Meho.
Banyak diantara mereka yang dikembalikan oleh petugas patroli Australia di perbatasan, namun beberapa puluh orang mendapatkan visa “ijin tinggal”.
Pengungsi pertama dikirim ke Manus pada tahun 1968.
Sebagian kecil penduduk asli West Papua dan keturunannya masih hidup di camp Salasia itu. Mereka menikah dengan masyarakat setempat, memiliki anak-anak dan bahkan ikut memilih untuk pemilihan umum PNG baru-baru ini.
Pengungsi West Papua di Pulau Manus. Photos: sbs.com.au.
Seperti ribuan rakyat West Papua yang berdatangan ke PNG sejak saat itu, mereka sudah hidup tanpa kewarganegaraan hingga saat ini.
“Kami memiliki cukup banyak pengungsi West Irian Indonesia di Papua Nugini,” Perdana Menteri petahana Peter O’Neill mengatakan kepada SBS World News.
“Kenyataannya banyak diantara mereka, di bawah pemerintahan ini, sekitar 10,000 orang telah diklasifikasikan layak mendapatkan kewarganegaraan PNG dan beberapa minggu lalu 300 orang bahkan berpartisipasi dalam upacara penetapan kewarganegaraan mereka di negeri ini.”
Manfred Meho sepanjang hidupnya ada di camp Salasia. “Hidup disini enak. Orang-orang Manus baik hati. Semua rumah di sini dibangun pemerintah, dari pertama kali kaki kami menapak di sini,” kata dia.
Australia mengeluarkan $15,000 untuk pembangunan 12 rumah di atas beton lebar dengan balai komunitas menjadi ujungnya.
Manfred Meho ingat saat pertama kali kehidupan di camp itu berubah. “Pasokan makanan sempat berhenti dari pemerintah Australia di tahun 1975 atau 1976,” katanya.
Sejak PNG memiliki pemerintahan sendiri di tahun 1973, sebelum kemerdekaan dua tahun kemudian, tanggung jawab terhadap penduduk yang mendapat izin tinggal jatuh ke tangan PNG.
Sebagian besar pengungsi asli di Manus kini telah meninggal atau pindah ke tempat lain di PNG, dan beberapa ada yang kembali ke Papua.
Pada pertemuan tahunan Indonesia-PNG terkait kesepakatan perbatasan yang diselenggarakan di Manus tahun 2005, duta besar Indonesia saat itu memperbarui tawaran untuk para pengungsi West Papua mendapat repatriasi.
Amos Kimbri lahir dari orang tua West Papua di camp Manus pertengahan 1970-an. Ayahnya tinggal di PNG sementara ibunya kembali ke perbatasan.
Di tahun 2010 dia coba kembali ke tanah air yang tak pernah dia lihat.
“Kami direpatriasi, saya pergi ke West Papua, saya kembali. Tapi saya rasa hidup lebih baik disini. Saya ke West Papua dan saya pikir hidup terlalu keras,” ujarnya.
“Di sini kami hidup bebas, tapi di West Papua kami hadapi banyak masalah,” kata Kimbri menjelaskan sulitnya mengakses lahan dan berkebun serta akses sekolah bagi anak-anaknya di Papua.
“Saya ada di West Papua saat mereka menembak orang-orang. Katanya tidak boleh mengibarkan bendera West Papua di sana. Kalau dilakukan kami bisa terbunuh, jadi saya, istri dan anak memilih kembali ke PNG,” kata dia.(*)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.