Orang asli Papua (OAP). Foto: (ist). |
Oleh Soleman Itlay
Negara? Iya negara Indonesia. Tidak. Lalu siapa lagi? Bukannya negara sudah memberikan Otsus, Inpres dan UU sebagai solusi? Katakan gagal! Jika demikian, mencari keselamatan di mana? Tidak ada tempat lain. Hanya ada di dalam Dia dan ada pada satu kata (silakan merenungkan). Katakan saya ingin bebas. Dari kematian!
Lihat saja, satu peristiwa belum selesai muncul lagi peristiwa yang baru. Namanya kesakitan dan kematian dengan kehidupan orang pribumi sulit dipisahkan. Beragam penyakit sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Penyakit yang dahulu kalah dihitung dengan jari, kini bisa dihitung bahkan sulit dihitung dengan bekal ilmu matematika dasar sekalipun.
Munculnya macam-macam penyakit baru di bumi cenderawasih, sulit membedakan satu dengan yang lain. Satu gejala dialami oleh seorang misalkan, perlahan dengan berjalannya waktu akan tersangkut dengan penyakit lain. Kondisi ini diperparah lagi dengan lingkungan sekitar. Lambat laun keluarga terdekat tanpa memandang status akan rentan terkena atau bahasa medis sering disebut mudah terinfeksi.
Satu tambah dua tambah tiga, tambah, tambah, tambah orang sampai satu lingkungan bertambah banyak. Bukan lagi bertambah-tambah indahnya seperti lagu rohani. Tetapi bertambah-tambah buruk penyakit yang tidak ada solusinya. Ujung-ujung tidak ke tempat lain. Kematian adalah kemungkinan yang tidak dimiliki bagi orang Papua. Setelah sakit dan menderita, kematian menjadi sesuatu hal yang biasa bagi orang berkulit hitam dan berambut keriting.
Bukan Tuhan yang memberikan kutukan, tetapi ini sesuatu realitas yang sulit dibuktikan dengan apa pun. Selama bertahun-tahun lamanya orang Papua hidup dalam air mata dan kesedihan. Semenjak Indonesia membawa orang Papua ke pangkuan ibu pertiwa secara paksa; sampai detik ini orang Papua tidak pernah beristirahat dari duka cita hidup.
Tidak bisa absen dalam seminggu, sebulan dan setahun bahkan setiap saat. Belah kayu kering dan menggali tanah leluhur menjadi pekerjaan berkala. Kayu kering dan tanah menjadi sasaran mayat. Tidak ada kuasa bagi orang Papua untuk bernegosiasi dengan penyakit yang selalu berujung pada kematian. Apa yang disebut kematian tidak ada setetes hormat pun dapat menghargai orang yang melarat di atas tanah kandungnya sendiri.
Dari semua rentetan kematian, yang paling bertanggungjawab adalah negara. Negara melalui pemerintahan yang dibentuknya telah cukup mengorbankan pikiran, dan kebijakannya. Usaha mati-matian tidak semata-mata untuk mematikan penyakit yang menjadi segala sumber kematian bagi orang Papua.
Namun cukup mematikan segala satwa yang hidup. Pemerintah Indonesia dengan semangat cinta alam sering “mempinangkan” penanganannya melalui cara-cara yang cukup baik dan paling sistematis. Pemerintah tidak pernah membiarkan apalagi melupakan orang Papua yang paling dicintainya. Cinta negera atas nafas yang sangat luar biasa.
Upaya pemerintah tidak hanya untuk merayu penyakit keluar dari alam Papua tetapi lebih dari itu untuk menghilangkan penyakitnya (nafas manusianya). Penanggulangan nafas melalui penyakit senantiasa bekerja keras di bawah matahari dan gelap gulita. Perhatian pemerintah di sektor ini patut diapresiasi. Karena berhasil melumpuhkan ancaman hidup orang asli Papua.
Salah satu bukti untuk mencintai nafas orang Papua, ada banyak kebijakan sebagai pendekatan yang paling ampuh. Kebijakan yang luar biasa itu, UU Otsus 21 Tahun 2001, Inpres nomor 5 tahun 2007 tentang UP4B. Selain itu ada juga penanggulangan hidup orang Papua yang sangat istimewa dengan singkatan DOB melalui UU pembentukan pemerintahan baru.
Sementara di sektor kesehatan sendiri punya UU nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, UU nomor 35 tahun 2008, Kemenkes RI nomor 39 Tahun 2016; Kemenkes RI nomor 329/MENKES/PER/2010 dan masih banyak lagi semenjak Republik ini berdiri di atas bangsa yang telah merdeka tetapi masih dijajah olehnya. Ada juga peran di sektor lain yang tidak kalahnya dengan kebijakan seperti ini.
Banyak sekali rakyat kecil yang menjadi sasaran kebijakan kesehatan belum tersentuh baik. Segala macam sakit yang menjadi selimut hidup tidak dilihat dan ditanggulangi secara utuh. Banyak daerah yang sulit dipantau atau dikontrol dari pihak terkait. Ada daerah tertentu seperti wilayah Korowai sama sekali belum merasakan kebijakan pemerintah dalam hal ini pelayanan kesehatan dasar dan mutlak diperhatikan sekalipun.
Selama 37 tahun (1978-sekarang), sejak Johanes Veldhuize masuk di daerah Korowai-Kombai, tempatnya di Yaniruma, kebijakan pemerintah di atas tidak pernah menguburkan penderitaan yang dialami selama bertahun-tahun. Sungguh ini realitas yang sangat memprihatinkan sejak republik ini dibentuk, dipaksakan, dikuasai, dikeruk, dan mencintai nafas untuk isi perut mama tercinta ini.
Kematian orang Papua di mana-mana bukan kutukan Tuhan. Tetapi ini semua karena oleh niat yang baik (dalam perspektif pemerintah). Mencintai nafas (menghilangkan nafas manusia) karena cinta kepada tanah adalah sebuah keutamaan sistematis. Bagian ini sekali lagi perlu mengapresiasi pemerintah Indonesia. Omong kosong! (*)
————————-
Penulis adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com