Aksi AMP dan FRI West Papua di Yogyakarta (2/8/2017). |
Jayapura — Pelaksaan hak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West New Guinea (Irian Barat) pada 14 Juli – 2 Agustus tahun 1969 lalu diprotes mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan kelompok solidaritas Front Rakyat Indonesia (FRI) untuk West Papua.
Protes tersebut diwujudkan dalam bentuk pemutaran film untuk publik serta demonstrasi damai yang dilangsungkan di beberapa kota di Pulau Jawa dan Ternate, Maluku Utara.
Di Surabaya, AMP Komite Kota Surabaya yang hendak menggelar aksi dari Monumen Kapal Selam ke depan Gedung Grahadi dipaksa membatalkan rencananya karena dihentikan paksa oleh aparat Kepolisian Resort Kota Surabaya.
Hal itu disampaikan Nies Tabuni, Koordinator Lapangan aksi AMP, kepada Jubi, Rabu (3/8/2017).
“Aparat menghentikan paksa aksi damai kami yang dimulai pukul 9 pagi. Sempat kami berupaya berdialog namun polisi, intel, dan diduga juga ormas-ormas tidak jelas tetap memaksa membubarkan massa,” kata Nies.
Sempat terjadi aksi saling dorong aparat dan ormas dengan para mahasiswa yang berjumlah sekitar 20 orang itu. Para mahasiswa lalu memutuskan kembali ke titik kumpul dan pulang ke Asrama mahasiswa Papua Kamasan III.
“Kembali terjadi tindakan represif, ini bentuk pembungkaman ruang berekspresi dan demokrasi bagi orang Papua” ujarnya.
Pepera tidak demokratis
Menurut pernyataan FRI West Papua dan AMP yang diterima redaksi Jubi, Kamis (3/8/2017), protes damai yang mereka lakukan di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Ternate itu untuk menuntut agar PBB bertanggun- jawab meluruskan sejarah Pepera dan proses aneksasi West Papua ke Indonesia.
Mereka juga minta PBB membuat resolusi pelaksanaan referendum kemerdekaan kembali bagi bangsa West Papua yang sesuai dengan hukum internasional, sebagai solusi demokratis bagi bangsa rakyat Papua.
Menurut catatan mereka, pada 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina, dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat.
“Artinya PEPERA dilaksanakan dengan cara yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi, dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat secara sistematis,” tulisnya.
Masih menurut FRI West Papua dan AMP, pelaksaan Pepera tersebut juga melanggar mandat Perjanjian New York 1962 agar Indonesia melaksanakan Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu ‘satu orang satu suara’ (One Man One Vote).
Persoalan sejarah Pepera yang terus digugat sebagian masyarakat Papua selalu menjadi batu sandungan pengintegrasian Papua ke Indonesia. Sementara pemerintah Indonesia selama ini dengan tegas menekankan bahwa integrasi Papua sudah final.
Menurut catatan Jennifer Robinson, seorang pengacara internasional yang gencar membela West Papua, di Al Jazeera 21 Maret 2012, selama di bawah pengawasan PBB menjelang Pepera 1969, militer Indonesia dituding bertanggung-jawab atas kematian 30.000 jiwa orang Papua.
“Frank Galbraith, Duta Besar AS untuk Indonesia di masa itu sudah memperingatkan bahwa operasi militer Indonesia ‘sudah memicu ketakutan … dan genosida yang disengaja’. Jurnalis Australia dan saksi mata Pepera Hugh Lund juga melaporkan bahwa rakyat Papua yang membawa plakat bertuliskan ‘one man one vote’ memrotes prosedur Pepera ditahan dan dipenjara, beberapa yang lainnya dibunuh,” tulisnya.(*)
Posted by: Zely Ariane
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com