Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarskjöld, tewas bersama 15 penumpang lain yang bersamanya pada tahun 1961 dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang di Ndola, Zambia (Foto: PBB). |
New York — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi telah menerima sebuah laporan ahli yang merangkum informasi baru yang dibuat oleh negara-negara anggota dan sumber-sumber lain tentang kondisi dan keadaan yang menyebabkan kematian tragis mantan Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarskjöld dan 15 penumpang lain yang bepergian bersamanya 51 tahun lalu.
PBB akan menilai apakah dan sejauh mana informasi tersebut membantu menetapkan kondisi yang mengakibatkan kematian pejabat PBB itu.
Hammarskjöld menjabat Sekjen PBB dari bulan April 1953 sampai kematiannya pada usia 56 tahun dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang di Rhodesia Utara, sekarang Zambia, bersama 15 lainnya pada bulan September 1961.
Menurut sebuah catatan informasi yang dikeluarkan oleh Kantor Juru Bicara PBB, dikutip dari pusat informasi resmi PBB, laporan tersebut disampaikan oleh Mohamed Chande Othman, mantan Ketua Mahkamah Agung Tanzania pada 9 Agustus lalu kepada Sekretaris Jenderal António Guterres.
Laporan itu berisi temuan, kesimpulan dan rekomendasi.
Othman diangkat oleh Guterres pada bulan Februari 2017 dan akrab dengan masalah ini berkat perannya sebagai Ketua Panel Pakar Independen 2015, yang menyimpulkan, antara lain, bahwa ada informasi baru yang signifikan dengan nilai probabilitas yang cukup untuk mengetahui kemungkinan serangan udara atau gangguan lainnya sebagai hipotesis kemungkinan penyebab kecelakaan itu.
Sejak penunjukan Othman, Sekjen PBB telah mendesak negara-negara anggota PBB untuk mengungkapkan, mendeklasifikasi atau mengizinkan akses terhadap informasi yang mereka dapat mengenai kecelakaan pesawat pada tragedi tahun 1961 tersebut.
Mandat baru Othman adalah untuk meninjau informasi baru yang potensial, menilai probabilitasnya dan menentukan cakupan yang harus dilakukan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Mandat tersebut juga memungkinkan dia untuk menarik kesimpulan dari investigasi yang telah dilakukan, termasuk oleh Panel Ahli Independen tahun 2015 dan Komisi Hammarskjöld tahun 2013.
Sekjen PBB kemudian akan mengirimkan laporan Othman kepada Majelis Umum sebelum akhir sesi ke-71 dan melaporkan kemajuan yang telah dicapai.
Mendukung Penentuan Nasib Sendiri Papua
Kematian Dag Hammarskjöld sangat menarik perhatian mereka yang meminati sejarah Papua.
Banyak yang berspekulasi, jika ia masih hidup, nasib Papua akan berbeda dari apa yang terjadi saat ini.
Greg Poulgrain, dalam bukunya yang berjudul The Incubus of intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles, menyebut Hammarskjöld tidak menginginkan Papua dikuasai oleh Indonesia maupun Belanda.
Ia lebih memilih Papua menentukan nasib sendiri.
Hammarskjöld, yang oleh Presiden AS, John F. Kennedy, disebut sebagai negarawan paling hebat di dunia, kemudian mempersiapkan sebuah proposal penyelesaian Papua berjudul Papua for Papuans, yang menyebabkan Papua pernah tercatat dalam agenda PBB, sebagai wilayah sengketa antara Belanda dan Indonesia (1949-1962).
Menurut pendeta GKI di Tanah Papua, Pdt Phil Karel Erari, mengutip studi Poulgrain, dalam proposal itu disebutkan bahwa status Papua akan ditarik menjadi wilayah protektorat PBB untuk kemudian dipersiapkan bagi sebuah proses demokratis yakni Hak Menentukan Nasib Sendiri seperti yang sudah berlangsung sebelumnya dengan Kamerun, Afrika.
Proposal tersebut sedianya akan disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada Oktober 1961, namun, sebulan menjelang, terjadilah peristiwa naas yang menewaskan Sekjen PBB dan rombongan.
Dibunuh oleh CIA?
Berbagai investigasi menyebutkan kematian Dag Hammarskjold, seorang ekonom dan tokoh paling muda yang pernah menjadi Sekjen PBB, bukan karena kecelakaan biasa melainkan rekayasa dan dikaitkan dengan tokoh yang kemudian menjadi pimpinan CIA kala itu, Allen Dulles.
Allen Dulles, yang disebut agen CIA paling kuat yang pernah ada dan dikenal sebagai seorang ahli pergantian rezim, berkepentingan agar Papua menjadi bagian Indonesia terkait dengan rencana untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di Papua.
Presiden AS kala itu, John F. Kennedy, tidak mengetahui rencana tersebut dan tidak ingin memilih antara Indonesia maupun Belanda, karena keduanya dianggap sebagai sahabat AS.
Dalam pada itu, menurut Greg Poulgrain dalam bukunya, diperlukan upaya untuk menghentikan proposal Dag Hammarskjöld yang bakal diajukan dalam SU PBB Oktober 1962.
Dalam wawancara dengan Global Research, Poulgrain meyakini motif utama untuk membunuh Hammarskjöld berkaitan dengan masalah Indonesia, bukan masalah konflik yang ada di Kongo kala itu, yang juga terkait dengan penguasaan sumber daya alam.
“Untuk mengendalikan sumber daya alam (di Papua), pertama, pemerintah kolonial Belanda harus digeser (dari Papua). Ketika pemerintah Belanda berakhir pada 1949, Belanda mempertahankan Papua dan berada di sana 12 tahun lagi. Pada 1962, Dulles membantu Kennedy untuk memilih antara Belanda atau Indonesia untuk menguasai Papua – Kennedy memilih Indonesia — dengan memastikan bahwa opsi PBB tidak muncul,” kata Poulgrain.
Yang dimaksud dengan opsi PBB adalah opsi yang dibuat dalam sebuah diskusi rahasia pada 1961 antara Kennedy dan Sekjen PBB Dag Hammarskjold. Ketika itu Knnedy lebih menginginkan intervensi PBB daripada Papua diserahkan kepada Indonesia atau tetap dalam penguasaan Belanda. Sebab dengan begitu, Kennedy tidak perlu memilih antara Indonesia (yang ia perlukan sebagai sekutu di Asia Tenggara dalam perang dingin) atau Belanda (yang merupakan sekutu di NATO).
Di lain pihak, “Hammarskjöld tidak menginginkan baik Belanda maupun Indonesia menguasai Papua dan lebih memilih memberikan kemerdekaan pada rakyat Papua,” kata Poulgrain, seorang sejarawan berkebangsaan Australia.
Menurut Poulgrain, tahun 2015, sebuah penyelidikan PBB memutuskan bahwa kematian eks Sekjen PBB itu adalah pembunuhan politik.
Salah satu yang memainkan peran penting dalam penyelidikan ini, kata dia, adalah dokumen (sepuluh surat dari badan intelijen Afrika Selatan) yang diperoleh oleh Uskup Agung Desmond Tutu di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada akhir tahun 1990an.
“Nama Allen Dulles terkait langsung dengan kecelakaan pesawat,” kata Poulgrain, yang saat ini mengajar mata kuliah Sejarah Indonesia di University of the Sunshine Coast, Australia.
Poulgrain juga melakukan wawancara dengan tangan kanan Hammarskjold, George Ivan Smith, yang menjadi bagian dari isi bukunya The Incubus of Intervention.
Menurut Poulgrain, Smith memberikan penekanan bahwa motif pembunuhan Hammarskjöld adalah terkait dengan isu Indonesia.
“George Ivan Smith menjelaskan bahwa Hammarskjöld berencana membuat pengumuman bersejarah di Majelis Umum PBB saat dia kembali dari Kongo – yang tidak pernah dia lakukan. Pengumuman yang dia maksudkan adalah agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat campur tangan dalam perselisihan yang telah berlangsung lama antara Indonesia dan Belanda mengenai kedaulatan Papua,” kata Poulgrain dalam wawancara.
“Seandainya Hammarskjöld melakukan ini, dia benar-benar akan mengganggu ‘strategi Indonesia-nya’ Allen Dulles. CIA telah membunuh presiden pertama Kongo setelah diberi kemerdekaan: inilah yang diselidiki oleh Senat AS pada tahun 1975 dan menemukan bahwa Allen Dulles terlibat langsung dalam menghasut pembunuhan ini,” lanjut Poulgrain.
“Apa yang George Ivan Smith katakan kepada saya – dikombinasikan dengan bukti dari Uskup Tutu – memberikan motif keterlibatan Allen Dulles dalam kematian Hammarskjöld yang lebih berkaitan dengan Indonesia daripada di Kongo,” kata Poulgrain.
Motif Lainnya
Tidak semua orang melihat ‘motif Papua’ sebagai satu-satunya alasan kematian Dag Hammarskjöld. Penyelidikan PBB yang dipimpin oleh Swedia setahun setelah peristiwa itu menyimpulkan bahwa pesawat yang ditumpanginya, yang diberi nama Albertina, jatuh di Zambia karena faktor kesalahan pilot.
Namun penyelidikan itu tidak memuaskan banyak pihak. Berbagai klaim mengatakan Albertina yang sedang mengangkut Hammarskjöld dan tim dalam upaya merundingkan gencatan senjata di Republik Katanga, ditembak dengan peluru. Sejumlah saksi mengatakan mereka melihat delapan orang kulit putih, bersenjata dengan pakaian perang, berada di tempat jatuhnya pesawat.
Seorang pengusaha mengatakan melihat konvoi Land Rovers menuju lokasi setelah jatuhnya pesawat.
Bahkan mantan presiden AS, Harry Truman, sangat curiga. Sehari setelah kecelakaan ia mengatakan kepada para wartawan bahwa Hammarskjöld sedang berada ‘pada keadaan untuk menyelesaikan sesuatu ketika ia dibunuh. Harry Truman menekankan kata dibunuh.
Tahun 2015, laporan dari panel yang diprakarsai oleh Hammarskjöld Inquiry Trust dan dipimpin oleh Lord Lea of Crondall, diserahkan kepada PBB. Laporan itu mencatat “bahwa sebuah kelompok yang mewakili sejumlah kepentingan politik dan bisnis Eropa pesawat Sekjen PBB dialihkan dari Ndola (kota di Zambia) … dalam rangka membujuk Sekjen PBB agar mempertahankan kemerdekaan Katanga”.
Menurut catatan itu, kelompok tersebut takut akan apa yang akan terjadi pada konsesi pertambangan mereka jika Katanga bergabung kembali ke Kongo yang didukung Soviet.
Ada spekulasi bahwa dalam usaha untuk memaksa pesawat mendarat, kemungkinan Albertina secara keliru diberondong dengan peluru. Kemungkinan lain, pesawat mengalami disorientasi oleh lampu dari pesawat lain, yang menyebabkannya jatuh.
Lea mengatakan: “Dengan kemungkinan mengadopsi resolusi Swedia yang baru ini, yang disponsori oleh 56 negara, posisi PBB dengan hati-hati beralih dari apa yang ada dalam bahasa penyelidikan Swedia pada tahun 1962 secara pasti menyebut ‘kesalahan pilot’ menjadi apa yang oleh pengadilan di Inggris akan disebut sebagai ‘vonis terbuka’. Hal ini akan dilanjutkan dengan pengiriman bukti baru yang lebih terfokus kepada penyidik ââPBB yang baru untuk menyoroti lebih lanjut bidang-bidang utama dari bukti baru yang muncul,” kata Lea.
Sekarang, dunia menunggu kesimpulan PBB atas laporan Othman yang sudah diserahkan.
Copyright ©Satu Harapan “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com