Salah satu korban penembakan di Deiyai, Papua – Foto: Dok. Jubi |
Oleh Theo van den Broek
Namun penyelesaian “kejadian Deiyai” belum rampung kalau hanya diperhatikan dari segi hukum seperti disebutkan diatas. Dalam sejumlah tanggapan atas “kejadian Deiyai” perhatian kita semua ditarik pada sejumlah unsur lain yang sangat penting dan yang akhirnya memungkinkan terjadinya penembakan seperti di Deiyai.
- Pertama-tama: dalam tanggapan Fr. Neles Tebay maupun dalam tanggapan Gereja Katolik melalui Bp Uskup Keuskupan Timika dan dalam tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi kejadian di Deiyai dikaitkan dengan kejadian-kejadian sejenis di wilayah ini selama tahun-tahun terakhir ini. Jumlah ‘kejadian sejenis’ sangat banyak. Dengan kata lain ‘kejadian Deiyai’ ini bukan suatu ‘kasus terisolir’, suatu kejadian tersendiri. Ada banyak kejadian yang sifatnya sama, dan ternyata terulang kali menjadi pengalaman pahit masyarakat Papua dan bukan di wilayah Deiyai saja. Maka, ada sesuatu yang lebih struktural yang perlu diperbaiki kalau mau mengatasi pola kekerasan yang menjadi kenyataan sampai saat ini.
- Kedua: dalam segala pelaporan serta tanggapan diangkat suatu kaitan antara kehadiran perusahaan dan praktiknya mengandalkan aparat keamanan demi kepentingannya. Kaitan antara investor/perusahaan dan ‘aparat keamanan’ sudah cukup lama diangkat sebagai suatu persoalan yang sangat serius dan yang menghasilkan suatu peningkatan pelanggaran HAM di Papua secara nyata. Bukan saja di Paniai, namun sama persoalannya di Merauke, di Nabire dan pelbagai wilayah lain dimana investor cenderung bersandar pada pihak keamanan dan sebaliknya.
- Ketiga: suatu unsur yang tidak kalah pentingnya adalah penilaian terhadap pimpinan pemerintah sipil yang ternyata kurang berfungsi di sejumlah wilayah di Papua karena tidak hadir di tempat, karena kurang mampu dan/atau sudah terikat kepentingan pihak lain, dan dinilai lebih sibuk memperjuangkan ‘kursinya’ pada pemilihan berikut daripada melayani masyarakatnya. Terutama dalam tanggapan pimpinan Gereja Kingmi yang sangat mengetahui keadaan masyarakat di wilayahnya unsur ini sangat ditonjolkan. Kelesuan dan kelumpuhan di tingkat pemerintah sipil menyediakan ruangan seluas-luasnya bagi aparat keamanan untuk bertindak tanpa diawasi dan diarahkan.
- Keempat: dalam setiap demo/aksi damai berkaitan dengan kejadian di Deiyai, ungkapan utama berbunyi seperti ‘kami ditembak saja seakan tidak ada harga’,’kami diam ditembak mati, kami bicara ditembak mati’, ‘kami orang Papua dilahirkan untuk ditembak mati?’. Sudah tentu masyarakat orang Papua asli merasa – dengan alasan yang kuat – bahwa mereka tidak dihargai, tidak diakui, apalagi tidak diterima sebagai orang semartabat dengan warga manapun di Indonesia, dan tidak diakui sebagai ‘tuan rumah’ di Papua.
Perlu diakui bahwa tidak ada resep yang mudah diidentfikasi untuk mengobati keadaan ini. Yang sangat dibutuhkan adalah kesiapan serta kemauan sejati (political will) segala pihak untuk mencari suatu jalan keluar bersama. Maka, perlu keterbukaan, kesediaan untuk mengakui bahwa memang ada suatu masalah struktural, untuk duduk setara dan membuka suatu dialog yang betul. Suatu dialog yang tidak dihalangi oleh suatu ‘mentalitas harga mati’ pihak manapun.
Intinya: persoalan di Papua tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan menenggalamkan ‘bangsa Papua’ kedalam lautan migran dan tidak dapat diselesaikan dengan menambah investor atau peningkatan infrastruktur. Suatu penyelesaian persoalan di Papua hanya dapat diharapkan berdasarkan suatu pengakuan atas hak eksistensi kita masing-masing, penghargaan atas martabat setiap orang, atas hak kebebasan mengungkapkan pendapat, dan atas kemauan bersama yang ihklas untuk mencari kebenaran dan suatu solusi yang adil. (*)
Penulis adalah pemerhati Hak Asasi Manusia, tinggal di Kota Jayapura
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com