Massa demo di depan patung Diponegoro Semarang – Foto: Dok. Jubi. |
Jayapura — Sedikitnya 100 orang dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) ditangkap di Yogyakarta, Semarang dan Jakarta saat peringatan Peristiwa New York Agreement 55 tahun lalu.
Aksi serentak yang dilakukan AMP dan FRI West Papua itu dilakukan di beberapa kota di Pulau Jawa seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Semarang, Bandung, dan juga Kota Ternate, Maluku Utara.
Semua aksi di kota-kota Pulau Jawa digagalkan dan dibubarkan bermacam ormas pro NKRI serta aparat kepolisian setempat. Menurut pantauan Jubi dari akun facebook resmi AMP, terdapat korban luka dari orang-orang yang ditahan tersebut. Termasuk beberapa pengacara yang mendampingi.
Di Semarang dilaporkan, 47 orang digelandang ke Polresta Semarang, bahkan termasuk dua orang pengacara yang dari Lembaga Bantuan Hukum (PBH) Semarang yang saat itu ikut mendampingi aksi.
Menurut Hupla Sobolim yang memantau aksi di Semarang, kepada Jubi melalu selular Selasa (15/8/2017), menjelaskan bahwa polisi telah menghadang aksi mereka bahkan sebelum tiba di Patung Diponegoro.
“Massa aksi dihadang oleh pihak kepolisian dan aparat meminta untuk bubar karena alasan tidak ada izin. Padahal, faktanya kami sudah melayangkan surat pemberitahuan aksi, namun ditolak oleh kepolisian,” kata dia.
Hal serupa dialami oleh puluhan peserta aksi di lima kota di Jawa. Polisi membubarkan dengan alas an tidak ada izin turun ke jalan, sementara pihak penyelenggara sudah melayangkan surat pemberitahuan.
Polisi juga mengancam aksi tidak boleh dilangsungkan karena ada ormas tandingan yang kontra terhadap tuntutan aksi.
Hupla melanjutkan dirinya melihat saat koordinator lapangan, Januarius Adii yang sedang berorasi tiba-tiba diseret pihak kepolisian dan memaksanya naik ke mobil polisi. “Rambutnya yang memang gimbal ditarik-tarik oleh pihak kepolisian,” ujarnya.
“Selain itu, pihak Polisi juga menarik salah satu pengacara dari LBH Semarang, Rizky Putra Edry. Keduanya (Januarius dan Rizky) diangkut ke dalam truk dalmas polisi. Setelah itu massa aksi pun dipukul mundur,” kata Hupla.
Massa aksi menuntut keduanya dilepaskan dan mengancam akan tetap berada di jalan. “Akhirnya semua massa ikut diangkut ke dalam truk dalmas dengan cara didorong-dorong,” kata Hupla sambil menjelaskan bahwa saat itu polisi juga mengangkut Nico Andi Wauran, pengacara LBH Semarang lainnya, dan dipaksa jongkok sambil badannya ditahan polisi.
Hingga saat ini, menurut Hupla massa aksi masih di Polresta Semarang menjalani pemeriksaan. Sebanyak 17 poster dan 1 spanduk diamankan oleh kepolisian.
Sementara di Yogyakarta, 29 orang juga ditahan tanpa sempat menggelar aksinya. Sejak pagi, aparat kepolisian beserta kelompok ormas Jogja Rembug (Paksi Katon) sudah berjaga di titik kumpul aksi di Parkiran ABA – Titik Nol Kilometer.
“Pukul 10 pagi 2 mobil polisi, 3 truk polisi, 10 motor trail, 1 water canon, beserta lebih dari 100 polisi dan 30 ormas Jogja Rembug (Paksi Katon) sudah berjaga,” demikian keterangan berdasarkan kronologi yang diterima Jubi dari Emanuel Gobay, pengacara LBH Yogyakarta, Selasa (15/8).
Ormas Paksi Kator turut berbaris di depan massa aksi AMP dan FRI West Papua sambil mengeluarkan kata-kata, “Separatis, gebuk, gebuk, gebuk, komunis, gebuk, gebuk, gebuk. NKRI harga mati,” tulis keterangan tersebut.
Namun hal itu tidak menghentikan aksi puluhan orang dari AMP dan FRI West Papua, walaupun perlengkapan aksi mereka seperti symbol keranda dihancurkan oleh ormas tersebut. Sempat terjadi dorong mendorong, lalu massa digiring ke mobil polisi.
Hingga pukul 20.00 Waktu Papua atau 18.00 WIB, massa aksi akhirnya dibebaskan. “Massa aksi FRI West Papua dan AMP Kota Yogyakarta, berjumlah 29 orang, semuanya sudah dibebaskan,” ujar Emanuel kepada Jubi.
Hingga berita dituliskan, 24 orang masih ditahan di Polda Metro Jaya, Jakarta. Terdapat korban luka-luka yang masih dalam pendataan.
Sementara di Malang, aksi yang dibubarkan dilaporkan memakan korban luka. Sekitar 30 massa aksi yang berkumpul di Stadion Gajayana sejak pagi dihadang oleh ormas-ormas seperti Pemuda Pancasila,GM FKPPI serta beberapa ormas keagamaan legkap dengan atribut sorban, peci putih dan pakaian gamis sambil memegang bendera merah putih. Mereka meneriakkan slogan NKRI harga mati.
Sekadar diketahui, New York Aggreement adalah penandatanganan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 antara Belanda dan Indonesia terkait nasib West New Guinea. Perjanjian itu dianggap tidak mewakili masyarakat asli Papua karena tidak melibatkan wakil dari West New Guinea. (*)
Posted by: David Sobolim
Editro by: Zelya Ariane
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com