Sekretaris Parlemen Vanuatu untuk Kantor Perdana Menteri, Johny Koanapo (kiri) bersama wartawan Jubi, Victor Mambor usai wawancara di UNHRC, Jenewa pada bulan Februari 2017 – Foto: Dok. Jubi. |
Jayapura — Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai mengakui meskipun Forum Pemimpin Pasifik (PIF) di Samoa minggu lalu membahas West Papua sebagai item agenda, beberapa anggota PIF menganggap West Papua sebagai isu sensitif dan tidak ingin forum membuat keputusan.
Walau demikian, Salwai yang memimpin lobi West Papua selama PIF berlangsung juga mengakui dukungan terhadap isu West Papua terus berkembang.
“Jika tahun lalu ada tujuh negara, termasuk Vanuatu dan Solomon Islands, saat ini menjadi delapan negara yang bergabung dalam Paciifc Islands Coalition for West Papua (PICWP),” ungkap Salwai kepada Daily Post, pekan lalu.
Delapan negara ini akan membawa isu West Papua kehadapan sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) yang akan dimulai pekan depan di New York, Amerika Serikat.
“Sejauh ini, Vanuatu terus berkomitmen untuk mempelopori masalah West Papua, melalui pemerintah, masyarakat sipil, dan gereja-gereja dan tahun ini kami membawa masalah ini ke forum Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP),” lanjut Salwai.
Sekretaris Parlemen Vanuatu untuk Kantor Perdana Menteri, Johny Koanapo kepada Jubi melalui surat elektronik, Minggu (17/9/2017) menyebutkan upaya Vanuatu dan Solomon Islands di Pasifik telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Jika sebelumnya, isu West Papua hanyalah isu bilateral dan isu regional di Melanesia, kini advokasi West Papua telah jauh menyebar di Pasifik.
“Isu West Papua telah melampaui Melanesia Spearhead Groups dimana kita memiliki perbedaan pendapat mengenai bagaimana menghadapi masalah West Papua. Tapi masalah ini telah bergerak melampaui yurisdiksi MSG, “katanya.
Bukan hanya pemerintah Vanuatu dan pemerintah Solomon Islands, lanjut Koanapo, saat ini negara-negara lain di Mikronesia dan Polinesia telah bergabung dengan PICWP yang didirikan sejak setahun yang lalu.
“Kiribati adalah negara yang bergabung pada tahun 2017 ini setelah tujuh negara lainnya, yakkni Vanuatu, Kepulauan Solomon, Nauru, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu dan Tonga mendirikan PICWP,” ungkap Koanapo.
Meluasnya isu West Papua di Pasifik ini tentu menuntut pekerjaan lebih bagi Vanuatu yang selama ini menjadi negara yang terus menerus mensuarakan kepentingan bangsa dan rakyat West Papua. Salah satunya, kata Koanapo adalah membawa West Papua sebagai salah satu agenda di forum tingkat menteri Uni Eropa melalui forum ACP.
“Ini pertama kali dalam sejarah, isu West Papua menjadi agenda dalam ACP yang melibatkan juga negara-negara Uni Eropa,” jelas Koanapo.
Koanapo mencatat hal menarik dalam upaya lobi Vanuatu di Uni Eropa. Saat ia melakukan lobi bilateral atas nama Pemerintah Vanuatu dengan Pemerintah Belgia Juni lalu, Belgia mengatakan bahwa mereka tidak pernah menyadari ada persoalan di West Papua. Sebab West Papua adalah sebuah isu yang tersembunyi di “balik karpet” karena pers tidak pernah diizinkan untuk pergi dengan leluasa untuk melihat orang-orang West Papua dan mendengar dari mereka apa yang terjadi dan pandangan mereka mengenai nasib mereka.
“Ini adalah kenyataan menyedihkan yang ada di sana (West Papua),” ujar Koanapo.
Lanjutnya, beberapa pemerintah negara Pasifik telah sepakat mengambil peran advokasi West Papua diberbagai level karena setiap negara dan warganya memiliki kewajiban untuk membela hak asasi manusia.
“Perdana Menteri Vanuatu dan Solomon Islands sedang mengorganisir sebuah side event di Majelis Umum PBB di New York minggu depan untuk terus melobi isu West Papua, selain pernyataan politik pemimpin delapan negara di Majelis Umum PBB,” tutup Koanapo.
Pada bulan Juni lalu, Dewan Menteri ACP di Brussel mengaku telah mendengar sebuah pernyataan sikap bersama dari pemerintah Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau dan Marshall Island. Tujuh negara Pasifik itu mengecam pelanggaran hak asasi manusia Indonesia di West Papua. Selain itu, mereka menyerukan sebuah resolusi yang mendukung hak politik bagi Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri.
Namun, Kedutaan Besar Indonesia di Selandia Baru mengatakan bahwa pertemuan ACP terseebut tanpa membahas masalah Papua Barat.
”Seruan untuk re-draw perbatasan Indonesia oleh beberapa politisi di Vanuatu, Solomon Island dan lainnya, hanya omong kosong dan irasional. Keanehan ini adalah pembicaraan para pemimpin politik yang putus asa dan rentan yang terus berkuasa,” tulis Kedutaan Besar Indonesia di Selandia Baru dalam rilis yang dikutip berbagai media di Indonesia saat itu. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com