Sekelompok perempuan Papua Barat bersantai di pinggiran Danau Sentani, 2004. |
Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk segera menghentikan kekerasan terhadap perempuan di Papua.
Jakarta — Enam puluh empat dari 170 perempuan asli Papua pernah mengalami kekerasan akibat kebijakan negara atau kekerasan yang dilakukan aparat negara, menurut hasil penelitian Asia Justice Rights (AJAR) dan Papuan Women’s Working Group.
Sebanyak 170 perempuan asli Papua itu terlibat dalam penelitian partisipatif yang diadakan oleh AJAR dan Papuan Women’s Working Group pada 2013-2017. Penelitian dilakukan di Sorong, Biak, Jayapura, Keetom, Merauke dan Jayawijaya. Ada tiga periode kekerasan yang dialami oleh mereka, yaitu masa operasi militer pada 1977-1978, operasi militer pada 2005 dan pengejaran Oganisasi Papua Merdeka (OPM) pada 2007.
Para perempuan Papua itu mengungkapkan bentuk kekerasan yang dialami, antara lain penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, upaya penembakan, kekerasan seksual, suami/keluarga hilang atau dibunuh, suami atau anggota keluarga ditahan dan kehilangan atau perusakan harta benda, kata Selviana Yolanda, salah seorang peneliti dari AJAR, saat merilis hasil penelitian tentang kekerasan yang terjadi terhadap perempuan Papua, Rabu (18/10) di Jakarta.
Hingga saat ini, Selviana menambahkan, belum ada upaya konsisten dari negara dan masyarakat sipil untuk memulihkan dan memberdayakan korban akibat kekerasan negara dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Bahkan, kata Selviana, mereka sekarang tidak mendapatkan akses kesehatan dan akses publik lainnya karena telah dicap sebagai bagian dari OPM.
Di salah satu desa di Wamena, sekelompok janda yang suaminya tewas dibunuh pada masa konflik 1977-1978 terpaksa hidup bersama dalam kondisi yang sangat terisolir, kata Selviana menambahkan. Ada pula kasus perempuan yang akhirnya ditinggal suaminya karena telah menjadi korban kekerasan seksual aparat.
Menurut Selviana, dampak berkelanjutan yang tidak tertangani selama bertahun-tahun itu membuat para perempuan asli Papua yang menjadi korban kekerasan, terpinggirkan dari segala aspek kehidupan, menderita sakit dan hidup dalam kondisi miskin. Mereka kehilangan harta benda dan sumber penghidupan akibat konflik.
“Perempuan-perempuan yang mengalami penyiksaan, kekerasan seksual yang kita temukan dari tahun 70-80 an atau yang anaknya ditembak, disiksa dan sebagainya sampai sekarang masih hidup. Tetapi hidup dalam diskriminasi karena ada stigma yang melekat pada mereka. Ada pandangan-pandangan sosial bahwa mereka bukan bagian dari negara, pihak yang berseberangan,” kata Selviana. “Jadi buat kita kekerasan tidak usai. Kita juga menemukan beberapa perempuan yang mengalami eksploitasi dari aparat misalnya hamil ditinggalkan. Itu terjadi di tahun-tahun sekarang.”
Kekerasan Rumah Tangga
Lebih lanjut Selviana menyatakan kekerasan lain yang dialami sebagian perempuan Papua adalah kekerasan rumah tangga yang justru jauh lebih sulit untuk mendapat perlindungan hukum dan pelayanan.
Minimnya peran perempua serta ketidakpastian kepemilikan sumber daya alam dan tanah ulayat juga menghambat penguatan perempuan Papua dan mendorong terulangnya aksi kekerasan.
Menurut Selviana, meskipun telah ada skema kesehatan nasional dan lokal lewat berbagai program seperti Kartu Indonesia Sehat, Papua Sehat dan BPJS, perempuan tetap mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan khususnya untuk kesehatan seksual dan reproduktif. Di sebagian tempat, perempuan tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki KTP atau tidak bisa membayar biaya transport. Dalam kasus lain, petugas kesehatan tidak ada di tempat saat mereka mendatangi fasilitas kesehatan.
Wilayah Bebas Kekerasan
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menyatakan perlu adanya pengembangan wilayah bebas kekerasan terhadap perempuan di Papua. Hal ini, kata Azriana, penting di antaranya untuk memulihkan kembali perempuan Papua korban kekerasan atau keluarganya dari penderitaan dan kerugian yang dialami akibat kekerasan, dan mendorong kembali partisipasi perempuan Papua.
Lembaga adat, Azriana menambahkan, harus lebih berperan melindungi hak-hak perempuan.
Azriana juga mengingatkan pemerintah Papua untuk segera melaksanakan Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang pemulihan hak perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM yang telah disahkan sejak lama.
“Adat membuat perempuan Papua tidak mempunyai ruang yang cukup setara dengan laki-laki di sana. Ini sebenarnya potret sebagian besar perempuan Indonesia, tetapi perempuan Papua akan semakin kompleks karena adat di Papua punya kekuatan sendiri,” kata Azriana. “Dan yang lain adalah kekerasan berlapis, di mana korban kekerasan seksual oleh aparat keamanan itu diceraikan oleh suaminya yang tidak bisa menerima kekerasan seksual yang dialami. Jadi bagaimana perempuan Papua hidup dalam situasi seperti ini.”
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, menyatakan Presiden Joko Widodo sangat berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Papua. Jaleswari mengatakan hasil penelitian AJAR menjadi masukan pemerintah dan akan ditindaklanjuti.
“Kita menafikan HAM, itu sama sekali tidak betul. Bahwa kemudian kita mau mencari yang paling mudah, iya. Tetapi HAM itu masuk dalam agenda itu dan bahkan secara parallel membuka ruang, dialog sektoral soal kesehatan, pendidikan, infrastruktur dll itu dibicarakan secara parelel dengan HAM itu bisa,” kata Jaleswari.
Anggota DPR Papua Barat,Frida Kelasin, mendesak pemerintah untuk segera menghentikan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi terhadap perempuan Papua dalam bentuk apapun.
Copyright ©VOA Indonesia “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com