Barnabas Suebu, S.H. adalah Gubernur Irian Jaya periode 1988-1993 dan Gubernur Papua periode 2006-2011. |
Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian materi Pasal 14 ayat 1 huruf i UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan terkait aturan pemberian remisi yang diajukan oleh mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, terpidana kasus korupsi.
Selaku pemohon, Barnabas Suebu mengaku kecewa terhadap putusan MK tersebut.
Menurutnya, keputusan MK tersebut justru bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Sebab, putusan itu bermakna memperkuat kelakukan yang diskriminatif terhadap Warga Negara Indonesia (WNI).
“Saya sebagai orang Papua menyesal bergabung ke Republik Indonesia ini karena pemerintah bersikap diskriminatif terhadap warganya. Saya tidak terbukti satu sen pun melakukan korupsi, tidak terbukti di pengadilan. Saya di zolimi. Jadi saya menyesal dengan putusan ini,” kata Barnabas Suebu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
Dia mengatakan, pengujian UU tersebut merupakan hal yang sederhana yaitu agar para terpidana kasus korupsi diperlakukan sama dengan terpidana lain yang sama-sama mendapatkan hak remisi.
“Yang mana dalam aturan-aturan pelaksanaannya perlakuannya sangat diskriminatif dan itu sebabnya kami ingin agar MK menilai permohonan kami bahwa UU 12/1995 tidak boleh mempunyai perlakuan yang diskriminatif terhadap narapidana,” ujarnya.
Sementara itu, Otto Cornelis Kaligis mengatakan, putusan MK tersebut sangat aneh karena Mahkamah memutus permohonan tanpa memeriksa atau mendengar keterangan dari pihak pemerintah maupun ahli-ahli terkait pengujian tersebut.
Apalagi, lanjutnya, putusan MK yang menolak uji materi itu sudah bocor terlebih dahulu kepada publik.
“Atas kejadian ini kami sudah kirim surat ke Ketua MK kenapa putusan bocor terlebih dahulu,” ujarnya.
Indikasi bocornya putusan, tegas Kaligis, merujuk pada pernyataan ICW yang menyatakan bahwa terpidana korupsi tidak boleh mendapatkan remisi terkecuali justice collabocator.
“Begitu besarnya pihak lain terhadap MK sehingga mempengaruhi putusan tanpa terlebih dahulu memeriksa materi permohonan,” katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian materi Pasal 14 ayat 1 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait aturan pemberian remisi.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh lima terpidana kasus korupsi, yakni Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu dan Waryana Karno.
“Menurut Mahkamah dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian Mahkamah menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (07/11/2017).
Menurut Majelis Hakim, hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas berdasarkan pasal 14 ayat 2 UU Pemasyarakatan.
Dalam UU itu juga menjelaskan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur pemberian remisi.
Sementara, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan merupakan upaya pemerintah untuk memperketat pemberian remisi.
Maka dari itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak ada unsur diskriminasi dalam 14 ayat 1 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
“Hak-hak narapidana termasuk hak remisi adalah hak hukum yang diberi pemerintah sepanjang memenuhi syarat. Maka remisi bukan tergolong pada HAM dan hak konstitusional dan hal demikian tidak diskriminatif sama sekali,” ujar Arief.
Copyright ©Fajar “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
kekecewaan yang terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, Bas telah mengabdi kepada NKRI seumur hidupnya, sekarang bicara hanya supaya dibebaskan dari jerat hukum. Tuhan itu adil! Siapa yang salah harus dihukum! Ini hukuman dari penderitaan rakyat Papua!
Bahasa kasarnya, type pemimpin seperti ini layak diberi label(Abunawas). Terima kasih #SPMNews atas komentarnya, Tuhan memberkati.