Foto: Ilustrasi OAP yang menjadi korban penembakan aparat. |
Oleh: Anton Gobay
Hukum Indonesia murah harganya. Di Tanah Papua banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sampai sekarang pelanggaran itu dibiarkan saja tanpa proses hukum, sesuai mekanisme negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1945 waktu baru pertama Indonesia menerima kemerdekaan, demi nama baik negara Indonesia, pemerintah dan militer setia mengikuti nilai pancasila, dan kemudian mereka menganggap hukum Indonesia sebagai panglima tertinggi. Tetapi setelah Indonesia membangun hubungan bilateral dengan negara-negara asing di belahan dunia, di antaranya Amerika Serikat, yang sekarang pemilik saham PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, hukum itu seharga rupiah. Amerika sudah beli aturan dasar negara Republik Indonesia.
Pemodal asing sudah mempengaruhi gaya hidup bisnis global terhadap pertahanan negara. Akhirnya kelompok bersenjata, TNI-Polri, menjadi antek kapitalis, sekalian menjadi “anjing pelacak” untuk mengamankan kepentingan kapitalis daripada menjaga reputasi hukum negara Indonesia itu sendiri.
Kemudian Pemerintah Indonesia dan Amerika menganggap perjuangan Papua Merdeka dan tuntutan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM sering disebut “gerakan pengacau saham Amerika Serikat” sehingga pihak perusahaan menggunakan militer dan alat negara untuk menembak rakyat Papua saat ada isu perjuangan Papua merdeka. Militer menembak warga sipil yang tak bersalah demi kepentingan perut suapan Amerika.
Sebenarnya penembak ini belum sadar bahwa Amerika datang menguras kekayaan milik NKRI, dan belum menyadari bahwa suapan dollar ini akan membawa krisis ekonomi dari kekayaan sendiri.
Karena hukum Indonesia itu bisa dibeli pengusaha-pengusaha asal Indonesia dipandang sama dengan pengusaha asing. Seharusnya perusahaan asing mengurus izin usaha standar internasional yang rumit. Dan banyak syarat yang harus dilengkapi. Namun penegakan hukum yang lemah dapat memberi peluang untuk pengusaha asing berjaya di negara ini.
Dalam persaingan perusahan global ini berdampak kena radiasi pada rakyat lokal yang tak bersalah. Mereka selalu menjadi korban atas kepemilikan tanah. Seperti di Papua, tanah adat diambil ahli pemerintah kemudian tanah tersebut dilepaskan kepada para inverstor tanpa persetujuan dan pembayaran hak ulayat tanah, padahal seluruh tanah Papua disebut tanah adat yang sudah dilindungi dengan hukum adat.
Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa, yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Momentum ini menjadikan pemerintah Indonesia telah melanggar hukum agraria dan hukum adat Papua.
Bila negara ini menghargai hukum sebagai panglima tertinggi, maka pemerintah negara Republik Indonesia (kabupaten/kota dan provinsi) mengikat kasus pencurian diatur dalam 4 pasal KUHP 363 tentang pencurian dengan kekerasan. Bahwa Pemerintah Indonesia memperalatkan militer demi merebut tanah adat milik masyarakat adat Papua.
Di Timika pada tanggal 1 April 2018 sekelompok masyarakat sekitar Kampung Waa ditahan dengan alasan gerakan separatis. Padahal mereka tak ada kaitannya dengan gerakan separatis. Mereka benar-benar masyarakat biasa. Inilah cara militer Indonesia mengelabui fakta pembunuhan terhadap alm. Timotius Omabak, seorang PNS berusia 45 tahun, Heri Beanal, anak berusia 10 tahun dan Iron Omabak, 9 tahun adalah masyarakat biasa yang jadi korban operasi militer Indonesia. Bila Indonesia adalah negara hukum, dan hukum sebagai panglima tertinggi, maka pelaku penembakan itu harus diadili.
Dari fakta-fakta kejahatan terhadap kemanusian di tanah Papua ini menunjukkan wibawa hukum negara Indonesia sudah direbut oleh negara asing–Amerika Serikat dan beberapa negara asing yang aktif berpartispasi menjalankan usaha legal maupun ilegal di atas tanah Papua.
Kejantanan negara Indonesia sekarang ditutupi nilai rupiah dan dolar. Indonesia telah menjadi wanita suruhan investor asing. Hukum Indonesia tidak lagi sebut panglima tertinggi, tetapi panglima “ratusan perak”.
Sungguh! Korporasi Amerika dan Indonesia memuat rakyat dalam kapal negara dan berlayar dalam badai bergelora. Tidak jelas kapal ini kemana. Muatan sebagai bangsa sedang panik. Kapal sedang tenggelam. Sekoci siap berlayar ke tujuan masing-masing.
Negara Indonesia mempunyai 34 provinsi dari aturan dan pengemudi kapal bangsa bahwa rakyat tidak sesuai dengan hukun Indonesia yang ada. Tidak seorang pun yang bisa tegakkan hukum. Polisi sudah dimanjakan dengan dolar. Polisi aktor pelanggaran HAM yang semakin meningkat. Sedikit lagi Indonesia akan terbagi menjadi 34 negara di kawasan ini. (*)
Penulis adalah mahasiswa STIH Umel Mandiri, alumnus Sekolah Penerbangan di Filipina
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com