Foto: Masjid Raya Baithurahim di pusat kota Jayapura. |
Jayapura — Beberapa laporan mengatakan Islamisasi di Papua mulai mengkhawatirkan umat Kristen. Laporan The Union of Catholic Asian News (UCAnews) yang dilansir pada 26 April 2018 dan laporan tokoh perempuan dan tokoh LSM Papua, Mama Yosepa Alomang, yang ditujukan kepada para uskup Katolik di Pasifik, secara terpisah mengungkapkan kekhawatiran yang sama, dan menyerukan adanya tindakan segera sebelum terlambat.
UCAnews, sebuah situs berita Katolik independen terkemuka di Asia, dalam laporannya yang berjudul Christian in Papua Fear Growing Islamization, antara lain mengutip pendapat sejumlah warga dan tokoh masyarakat di Papua. Yan Kossy yang telah tinggal di Jayapura selama bertahun-tahun, mengatakan sebelum ini tidak terganggu oleh pengaruh orang luar. Namun akhir-akhir ini dia menemukan akumulasi masjid di daerah sekitarnya yang tidak mengenakkan.
Misalnya, umat Islam baru-baru ini membangun pusat kegiatan Muslim dan pemakaman Muslim yang terletak di tanah yang lebih tinggi daripada pemukiman dan sumber air selama ribuan tahun.
UCAnews melaporkan beberapa orang menganggapnya sebagai tanda tidak hormat dan upaya untuk menunjukkan superioritas agama mereka sementara yang lain khawatir tentang dampak lingkungan yang bisa ditimbulkannya.
“Pemakaman itu bisa mencemari air minum kami,” kata Kossy.
Orang-orang Kristen semakin merasa tidak senang ketika jalan menuju tempat suci Kristen yang populer rusak selama pembangunan gedung-gedung Islam di daerah itu. Selanjutnya, saat pusat Islam tersebut dibangun, muncul masalah lain: suara keras dari masjid-masjid terdekat ketika panggilan untuk salat dikumandangkan.
Marianus Yaung, seorang warga Kabupaten Jayapura, mengatakan bahwa umat Muslim yang datang ke wilayah itu sering gagal menghormati ritual atau cara-cara masyarakat setempat.
“Mereka datang dan membangun apa pun yang mereka inginkan,” kata Yaung kepada UCAnews, mengutip konstruksi masjid Al Agshan yang kontroversial di Sentani.
Masjid yang dibangun lebih tinggi dari bangunan gereja di daerah sekitarnya, menyebabkan orang Kristen memprotes.
“Mereka seharusnya mendiskusikan rencana mereka terlebih dahulu dengan warga setempat, tetapi mereka tidak, yang telah ditafsirkan sebagai tanda tidak hormat,” kata Yaung dalam laporan UCAnews.
Dominikus Surabut, seorang pemimpin suku di Papua, mengatakan setiap orang memiliki hak untuk mempraktikkan iman mereka dan mengembangkan agama mereka.
Namun, kehadiran Muslim yang tumbuh di daerah itu, ditambah dengan perilaku mereka belakangan ini, menjadi problematis karena juga menyediakan ruang bagi penyebaran radikalisme, ia menambahkan.
Sejumlah kelompok Muslim radikal telah memperoleh tempat di Papua, kata dia, seperti dikutip UCAnews, seraya menyebut keberadaan dan pengaruh Hizbut Tahrir, yang berbasis di Kabupaten Keerom di Papua bagian utara. Mereka mengendalikan 500 hektar lahan dan memusatkan semua kegiatannya di sana.
Surabut mengatakan dia juga telah mendengar desas-desus tentang kehadiran Jamaah Islamiah di Merauke, Papua selatan, yang telah memicu lebih banyak tanda bahaya di kalangan masyarakat setempat.
“Kami lebih prihatin dengan kehadiran Hizbut Tahrir di Keerom karena kami tahu beberapa anggota mereka telah menerima pelatihan militer,” tambahnya, dikutip dari UCAnews.
Misionaris Terhina
Ancaman terhadap orang Kristen dan pendeta semakin kentara setelah ulama Muslim Fadzlan Garamatan menuduh misionaris menyesatkan publik.
Dalam sebuah video yang diedarkan pada bulan Maret, Garamatan menyalahkan para misionaris Eropa karena banyaknya alkohol yang diserap oleh orang Papua.
Dia juga menuduh mereka memandikan anggota masyarakat dengan lemak babi dalam ketaatan pada tradisi budaya yang aneh.
Menurut ajaran Islam daging babi dilarang karena Muslim percaya bahwa daging dan lemak babi menyerap racun dan bisa 30 kali lebih beracun daripada daging sapi.
Orang Kristen Papua mengecam tuduhan tersebut dan melaporkan ulama itu ke polisi pada 26 Maret.
Pdt. John Bangsano, yang mengkoordinasikan Gerakan Oikumene Gereja-Gereja di Papua, mengatakan bahwa Garamatan menghina para misionaris Eropa dan menghina negara secara keseluruhan dengan ucapan yang tidak berdasar, yang tampaknya ditujukan untuk mengobarkan kerusuhan.
“Dia telah menghina orang Papua secara keseluruhan,” katanya, sambil menambahkan Garamatan telah membuat banyak akun media sosial dalam upaya untuk mendiskreditkan dan mempermalukan misionaris dan orang Papua.
“Kami menentang pidato kebencian seperti itu. Ini menghancurkan rasa harmoni sosial yang telah mapan di Papua antara Kristen dan Muslim jauh sebelum dia datang,” katanya.
Pastor John Djonga menentang ulama itu dan mengatakan bahwa tuduhannya tidak berdasar.
“Jika dia punya bukti untuk mendukungnya, dia harus bisa menunjukkan siapa para misionaris dan mengidentifikasi di mana mereka berada,” kata imam Katolik itu.
Hingga akhir April, kasus ini masih dalam penyelidikan polisi.
Boy Rafli Amar, Kapolda Papua, mengatakan polisi menangani kasus tersebut dengan serius.
“Kami sedang berkoordinasi dengan direktorat cybercrime di Jakarta karena mungkin ulama itu tidak di Papua,” katanya.
Dominan di Semua Bidang Kehidupan
Pastor Fransiskan Konstantinus Bahang mengatakan reaksi orang Kristen terhadap Islam telah dipicu oleh rasa takut dan kebencian.
Ketakutan mereka bermula dari semakin dominannya Islam di semua bidang kehidupan, khususnya ekonomi ketika kaum Muslim membuka lebih banyak bisnis yang semakin meningkatkan persaingan.
“Sebagian besar orang-orang yang memiliki koneksi yang baik dan yang makmur adalah Muslim, sementara orang Papua semakin tersisih,” kata Pastor Bahang, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur di Jayapura.
Simbol Islam menjadi lebih umum di ruang publik, katanya.
“Ini adalah ruang pelayanan publik untuk orang Kristen dan Muslim, tetapi sekarang umat Islam mengendalikannya,” tambahnya.
Kota Jayapura sekarang memiliki lebih dari 80 masjid dan musala, yang dibangun di dalam atau di dekat pasar lokal, daerah pemukiman dan kantor pemerintah.
Distrik Sentani memiliki 24 masjid sementara Kabupaten Jayapura memiliki 52 masjid.
Dari perspektif psikologi agama, kehadiran yang menjamur ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mencoba dan meminggirkan keyakinan agama orang lain, kata Pastor Bahang.
Papua memiliki populasi sekitar 3,6 juta orang, dimana 61,3 persen beragama Protestan, 21 persen beragama Katolik dan 17,4 persen beragama Islam.
Pastor Bahang mengatakan banyak anak-anak pribumi sudah dididik atau dipersiapkan untuk melayani sebagai pemimpin Islam berikutnya di wilayah tersebut.
“Anak-anak ini suatu saat akan berhadapan dengan suku mereka sendiri,” katanya.
Dia melihat ini sebagai usaha yang disengaja untuk melemahkan pengaruh gereja.
“Hal yang baik adalah bahwa, meskipun ada perbedaan, rasa solidaritas di antara orang Kristen tetap kuat,” katanya.
Banyak orang di Papua belum memperhatikan bahwa pertumbuhan kehadiran Islam merupakan potensi ancaman politik.
Dia mengatakan jika ketegangan mendidih hasilnya bisa menjadi bencana dan konflik bisa meningkat dengan cepat.
“Semua pihak harus bekerja sama untuk mencari solusi sebelum itu terjadi,” kata Pastor Bahang.
Dia telah menyarankan pihak berwenang untuk menyiapkan peraturan khusus bagi kawasan untuk mengendalikan toleransi antaragama di Papua, sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus.
Para pemimpin agama juga perlu bekerja untuk membangun dialog untuk mencegah masalah lebih lanjut dan melibatkan orang di tingkat akar rumput, ia menambahkan.
Ketika diminta untuk berkomentar mengenai masalah ini, Saiful Islami Al Payage, ketua Majelis Ulama Indonesia di Papua, mengatakan bahwa “semua hal ini perlu dibicarakan secara internal.”
Laporan Mama Yosepa Alomang
Sementara itu, tokoh perempuan Papua, penerima penghargaan Yap Thiam Hien 1999 dan penerima Anugerah Goldman (Goldman Environmental Prize) 2001, Mama Yosepa Alomang, dalam laporan yang diserahkan kepada Kardinal Papua Nugini, John Ribat MSC dan Kardinal Tonga, Saone Patita Paini Mafi, pada 17 April lalu di Port Moresby, mengungkapkan kekhawatiran yang sama.
Dalam laporan yang diberikan sehari setelah pertemuan Federasi Konferensi Waligereja Pasifik atau The Federation of Catholic Bishop Conference of Oceania (FCBCO) dikatakan bahwa disamping pelanggaran HAM, diskriminasi dan peminggirian Orang Asli Papua (OAP), Islamisasi di Papua dipandang semakin mencemaskan dan dapat memperparah eksistensi rumpun Melanesia di Papua.
Foto: Mama Yosepa bersama Kardinal Keuskupan Agung Papua Nugini, Kardinal John Ribat, didampingi oleh intelektual muda Papua, Markus Haluk (paling kanan). |
“Dalam 17 Tahun (2001-2018) terakhir ini terjadi marjinalisasi dan diskriminasi yang sistematis, masif dan terstruktur pada penduduk asli Papua (mayoritas Kristen). Migrasi setiap saat terus membanjiri Papua,” demikian surat Mama Yosepa Alomang sebagai pengantar bagi laporan yang diberi judul Humanity Disaster on Melanesia in West Papua, Between Reality and Hope, (Overview of Melanesian Catholic Life In West Papua). Laporan ini disusun bersama intelektual muda Papua, Markus Haluk.
Mengutip data Kementerian Agama, dikatakan penduduk di Papua hingga 2016, berjumlah 5.524.033 jiwa. Dilihat dari persentase penduduk migran Indonesia di Papua saat ini mencapai 55% dan orang Papua 45%. Fakta ini, menurut Mama Yosepa, merupakan lonceng kematian bagi orang Melanesia di Papua.
“Dilihat dari penyebaran orang Kristen, dari waktu ke waktu kualitas layanan pengembangan iman terus menurun. Sebaliknya, penyebaran umat Islam terus meningkat secara signifikan. Saat ini jumlah Muslim di Papua Barat adalah 1.029.785 sementara Kristen (Kristen Protestan dan Katolik) 4.476.266 jiwa sementara agama Hindu, Budha dan Konghucu lainnya adalah 17.962 jiwa,” demikian isi surat Mama Yosepa Alomang.
Dikatakan, orang Papua melihat program transmigrasi di masa lalu, yang mengalirkan migrasi ke Papua, sebagai proyek Islamisasi Papua.
Di bagian lain di Indonesia, demikian laporan itu, orang Kristen (Katolik) yang ingin membangun gereja mengalami berbagai tantangan, penolakan tetapi fakta-fakta hari ini di Papua berbeda. Meskipun 90% orang Papua adalah Kristen dan Katolik, pembangunan masjid di kota-kota hingga pinggiran, terutama daerah transmigrasi dibangun bebas tanpa hambatan dan protes oleh warga termasuk pemerintah setempat.
Dikatakan pula bahwa peserta migrasi spontan saat ini di Papua dapat dipastikan hampir semua merupakan Muslim. Dari kenyataan itu, demikian Mama Yosepa dalam laporannya, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2050 penduduk asli Papua yang beragama Kristen dan Katolik akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.
Atas kenyataan mengkhawatirkan ini, Mama Yosepa Alomang meminta para uskup di Tanah Papua untuk mengambil langkah konkret untuk mencegah laju peningkatan populasi imigran non-Katolik dan upaya Islamisasi yang akan berlanjut,seperti yang terjadi di Distrik Keerom, Wamena, Asmat dan sekitar wilayah Kamoro.
Mama Yosepa Alomang meminta agar para uskup di Papua serius untuk membahas masalah ini dengan pemerintah daerah di provinsi Papua dan bupati / kota demi penyelesaian permanen.
Mama Yosepa juga meminta agar situasi yang mengancam jiwa yang dialami oleh orang Kristen di Papua saat ini, disampaikan kepada Bapa Suci, Paus Fransiskus di Vatikan, Roma.
Sebelumnya, kekhawatiran semacam ini sudah terungkap dua tahun lalu dalam laporan yang dibuat oleh misi pencari fakta Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane, Australia, yang dimotori oleh Peter Arndt dan Suster Susan Connelly.
Laporan tersebut menemukan bahwa orang Papua terpinggirkan secara ekonomi dengan mengorbankan imigran, yang mayoritas adalah Muslim.
Sebagaimana dikutip oleh situs berita Katolik, CatholicLeader, laporan itu mengatakan orang Papua dipinggirkan secara ekonomi demi para imigran, yang mayoritasnya adalah Muslim. Laporan itu juga mengungkapkan adanya sinyalemen bahwa masjid dibangun dimana-mana.
Copyright ©Satu Harapan “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com