Penobatan “Mama Papua” kepada ibu Risma (Youtube) |
Surabaya – Wali kota dengan julukan “Mama Papua” di Surabaya. Catatan ini tidak untuk merendahkan kebaikan sosok wali kota terhadap Orang Papua di Surabaya namun perlu diketahui dari pandangan yang lain “lihatlah dari akar persoalan”.
Mengawali dengan faham fenomena. Fenomena seorang Ibu wali kota Surabaya Dr. Ir. Tri Rismaharini, M.T yang menjuluki dirinya sebagai “Mama Papua” saat ini terhadap orang Papua di kota metropolitan Surabaya.
Ada hal ganjil yang patut dipertanyakan dengan sebutan julukan “Mama Papua” ini.
Dalam hal ini orang Papua binggung dengan adanya sebutan “Mama Papua” ini, persoalanya secara fakta memilih bebas atau secara profesional sebagai seorang wali kota tidak pernah melibatkan dirinya dalam forum tertinggi Ikatan Keluarga Besar Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Surabaya yang terdiri dari 27 kabupaten dari Papua ini untuk mengklaim sebagai “Mama Papua”. Yang patut saat ini orang Papua sedang mempertanyakan karena yang memberi hak julukan kepada Ibu Risma sebagai julukan “Mama Papua” dari siapa dan organ orang Papua mana?
Ibu Risma ingin dijuluki “Mama Papua” namun kebijakan dan hati nurani tidak seperti sebutan “Mama Papua”, ini jadi persolan lainnya selain nama “Mama Papua”, ibu Risma tidak bisa mengambil hati orang Papua hanya dengan julukan “Mama Papua”, memberi pelatihan, memberi pembuatan SIM gratis, memberi bantuan lainnya terhadap mahasiswa Papua dan orang Papua di Surabaya namun karena persoalan di Papua itu bukan soal makan minum dan soal kesejahteraan atau pembangunan, saya tidak menyatakan ini sebagai anak mudah yang anti pembangunan namun ini soal bagaimana orang Papua tidak merasa bahagia bahwa Papua bagian dari Indonesia (Dua nasionalisme bagi orang Papua antara West Papua dan NKRI, jadi lihatlah kami dari akar persoalan kami. Bagaimana kami mau bahagia sedangkan hati kami sedang berduka?
Saya mengkoreksi dari beberapa persoalan, Belakangan ini IPMAPA sangat dibinggungkan dengan kebijakan Ibu Risma terhadap orang Papua saat turun aksi Damai Pelanggaran HAM 14 April dan Aksi Buru 1 Mei (mayday) yang secara terang-terangan Ibu Risa melarang orang Papua aksi di kota Surabaya.
Yang pertama disini soal aksi pelanggaran HAM pada 14 April lalu, mahasiswa turun aksi damai menuntut pelanggaran HAM terhadap dua pemuda di Dogiay Papua yang ditembak oleh pihak kepolisian. Namun aksi damai ini dibubarkan secara paksa oleh aparatur negara, padahal masa aksi meminta penegakan HAM di Papua, lalu sebagai “Mama Papua” kenapa membubarkan aksi tersebut melalui aparat negara, tidakah sebagai “Mama Papua” membiarkan aksi damai HAM tersebut dilakukan?
Yang kedua “Satu Mei tak kenal batas negri. Satu Mei tidak terpetjah belah oleh Tembok Besar Tiongkok atau oleh Samodera Atlantik. Ia satu! Satu, sebagai pernjataan Rakjat pekerdja sedunia jang memenuhi seruan Marx: Proletar sedunia, bersatulah!” –Njoto, “Renungan Satu Mei” (Harian Rakjat, 1952)
“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa.” –Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa
Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) dan juga Hari Pendidikan Nasional, maka saya coba menulis bagaimana posisi mahasiswa dalam perjuangan kaum buruh. Karena kenyataannya, dalam keseharian, mahasiswa memiliki banyak waktu untuk belajar dan melihat secara langsung situasi perkembangan masyarakat. Lain halnya dengan kelas buruh atau rakyat tertindas lainnya (seperti petani, nelayan, dll), yang tidak memiliki banyak waktu untuk belajar, sebab sehari-hari disibukkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh Ajun Thanjer
Soal aksi Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2018, May Day itu tidak memandang hari ini berlangsung di seberang Gedung Grahadi Surabaya, Selasa (1/5/2018). Pada Hari Buruh kali ini yang dirayakan oleh rakyat di seluruh dunia kembali dicederai oleh rezim melalui walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menyuruh Aliansi Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Melawan untuk meninggalkan barisan.
Selain itu salah seorang anggota Satpol PP mendatangi korlap dan memberikan HT yang dihubungkan langsung dengan Bu Risma. Beliau berkata pada korlap bahwa mahasiswa Papua harus segera meninggalkan barisan karena jika masyarakat Surabaya melihat ada mahasiswa Papua turun ke jalan dianggap akan memicu kericuhan. Bu Risma berkata jika mahasiswa Papua tidak mau meninggalkan barisan maka beliau tidak mau mengurusi mahasiswa Papua lagi dan tidak mau dipanggil sebagai “Mama Papua”.
Padahal aksi kami adalah aksi kampanye luas, aksi damai ini bertujuan mempersatukan gerakan rakyat di Surabaya dan mengkampanyekan permasalahanan rakyat di Surabaya termasuk soal penggusuran dan pendidikan yang semakin mahal.
Lagipula, ini jelas-jelas sentimen rasial yang diarahkan ke mahasiswa Papua. Hari ini kita bisa demonstrasi karena perjuangan kelas buruh yang panjang, mayday adalah hak seluruh rakyat, mengapa mahasiswa Papua tidak boleh bersolidaritas? Walaupun sampai detik terakhir kami tidak dibubarkan tetapi pernyataan walikota Surabaya ini perlu kita soroti.
Selain menggusur rakyat miskin kota, rupanya beliau juga rasis. Ini sekaligus memberi kita pelajaran bahwa pemangku jabatan di kota Surabaya ini sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Jika memang beliau mendaku diri sebagai “Mama Papua” seharusnya beliau tidak melarang mahasiswa Papua untuk menyuarakan aspirasinya.
FYI aja sih bu, teman-teman juga tidak sudi memanggil tukang gusur yang cuma peduli estetika dan taman kota sebagai “Mama” mereka. 2018 kok masih rasis aja. Dasar mental kolonialis. Apa gunanya merdeka selama 73 tahun kalau mental sama saja dengan mental penjajah. Catatan Anindya Joediono aktivis mahasiswa nasioanal.
Hal-hal seperti ini sebenarnya semakin membuat rakyat Papua semakin tidak bersahabat, semakin liar terhadap Indonesia. Ingin melihat Papua itu bukan dari segi persoalan makan dan minum atau pembangunan karena hal ini tidak akan pernah merubah orang Papua atas tuntutan yang sedang gembar dimana-mana. Jadi Ibu Dr. Ir. Tri Rismaharini, M.T yang terhormat jangan hanya ingin di panggil seenaknya “Mama Papua” tapi coba lihat dari sisi orang Papua yang sesungguhnya, mohon jangan pura-pura bodoh persoalan Papua.
Penobatan “Mama Papua” kepada ibu Risma (Youtube) |
Pemberian nama “Mama Papua” itu tidak melibatkan seluruh orang Papua dan IPMAPA Surabaya sebagai organ mahasiswa yang sah dari 27 Kabupaten di Papua jadi secara kenyataan bahwa pemberian nama “Mama Papua” itu hanya dari segilintir orang Papua yang mencari makan gratis kepada pemerintah di Surabaya. Sebabnya, sebagian besar orang Papua Surabaya tidak sudi adanya nama panggilan “Mama Papua”.
Copyright ©Wandikbo Bael “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Lihat perjalanan kaki telanjang bagi orang papua.
Walikota surabaya bukan mama papua.
Mama PApua adalah yg bisa baca perlawanan kaki telanjang.