Foto: Bazoka Logo saat lakukan jumpa pers usai Kegiatan Pengucapan syukur atas tibanya aspirasi rakyat West Papua (Petisi West Papua) di PBB pada tahun 2017, (29/09/2017). |
Hal itu dituliskannya melaui sembuah postingan yang dimuat melalui akun halaman Facebok resminya @BAZOKA LOGO belum lama ini (9/08/2018).
Bazoka mengatakan, langkah pejuang Papua Merdeka akan menentukan kemana pergi perjuangannya.
“Siapa yang akan menjadi orang Papua dan Siapa yang menjadi orang Indonesia-NKRI. Siapa yang menolak indonesia dari West Papua, dan siapa yang dukung Indonesia tetap ada di West Papua. Warna perjuangan ada pada, ke mana para pejuang West Papua pergi untuk berjuang Papua Merdeka” tulis Bazoka.
Bazoka mengilusikan status dua (2) provinsi yang terjadi di Indonesia setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945, yaitu Provinsi Timor-timur dan Aceh.
Pertama, Timor-timur telah berjuang untuk Merdeka dari Indonesia pada tahun 1975 setelah sebelumnya dijajah oleh Portugal dan akhirnya Timor Leste telah Merdeka melalui proses Referendum pada 30 Agustus 1999. Kini Timor Leste telah Merdeka menjadi sebuah negara yang berdiri secara terpisah dari Indonesia.
Kedua, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah diperjuangkan sejak 1976 telah berujung pada “Aceh tetap dalam NKRI” setelah Indonesia dengan GAM lakukan perjanjian (MoU) Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005, dan akhirnya perjuangan Kemerdekaan Aceh tersebut berujung menjadi Daerah Provinsi Istimewa, melalui MoU telah disepakati bersama untuk “tak boleh lagi bicara Merdeka atau referendum”.
(Simak juga: Jejak Mako Tabuni: Lahir Besar Bersama Rakyat di Jalanan, Matipun Bersama Rakyat di Jalanan)
Dengan mengambil contoh itu, Bazoka mempertanyakan sikap para pejuangan Papua Merdeka tentang perjuangan status politik West Papua.
“Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dua peristiwa telah terjadi untuk menantang kedaulatan hukum dan politik milik Indonesia, yaitu (1) Timor Leste telah Merdeka , (2) Aceh telah menjadi Daerah Istimewa didalam Indonesia-NKRI”
“Pertanyaanya, sekarang pejuang Papua Merdeka mau bawah status politik West Papua sedang diperjuangkan ini kemana ?? –– Apakah ikut jejak Aceh atau Timor Leste?” tegas Ketua Panitia Kemerdekaan West Papua, Bazoka Logo melalui postingannya.
Menurut Logo, para pejuang Papua Merdeka secara kelompok maupun individu, hal ini harus memperjelas.
“Hal ini harus diperjelas melalui aktivitas pekerjaan perjuangan kita, yang mana melibatkan orang lain maupun secara individu” tulisnya.
Aceh telah gagal untuk Merdeka menjadi sebuah negara yang berdaulat penuh, yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia mengatakan, hal-hal yang bersifat persoalan sektoral seperti: tuntutan penyelesaian HAM, kasus PT. Freeport-Indonesia, Mife, Miras, tuntutan tutup pejualan Miras, tutup Lokalisasi dan hal-hal sektoral lainnya tidak akan menyentu akar persoalan tuntutan Papua Merdeka di West Papua ini.
Tuntutan hal-hal sektoral itu hanya akan membuahi “masalah”, yang artinya, sikap itu secara langsung maupun secara tidak langsung sedang dan hanya akan menjadi alat ukur untuk mengikuti jejak nasib gagalnya “Gerakan Aceh Merdeka” melalui proses dialog untuk MoU seperti Aceh.
“Alat tawar untuk mengikuti jejak Aceh, yang pastinya orang Papua akan bicara untuk Tutup PT. Freeport Indonesia, Tutup Mife, Tutup Gilang Minyak, Tutup Miras, Tutup Lokalisasi, Pelanggaran HAM dst” paparnya di dinding halamannya.
Menurut Bazoka, jika tidak ingin seperti Aceh, maka sikap dan langkah pejuang dalam perjuangan Papua Merdeka harus diperjelas, dengan tuntutan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Referendum) bagi West Papua.
Sejak tahun 1960’an Presiden pertama Indonesia Soekarno telah mengagalkan pendirian Negara West Papua dan manipulasi referendum West Papua melalui Pepera pada 1969, lahirlah gerakan perjuangan Papua Merdeka dan terus aktif hingga kini, dan sedang dimotori oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
(Baca ini: Sejarah Perjuangan Bangsa Papua, ULMWP Jawaban Penderitaan Papua)
Ketua Panitia itu menegaskan, jika kita berjuang Papua Merdeka, maka akar persoalan “Mengapa kita bicara Papua Merdeka” itu sudah jelas, yaitu tentang sejarah pelanggaran hak Politik yang fundamental dilakukan oleh kolonial Indonesia selaku penjajah terhadap West Papua. Hal-hal sektoral mengenai pelanggaran HAM, kasus Freeport dan lain-lain itu hanya menutupi akar sejarah Papua Merdeka, karena hal-hal sektoral itu bukan akar masalahnya, itu hanya dampak atau akibat yang terjadi setelah adanya pelanggaran hak fundamentalnya bangsa Papua pada sejarah masa lalu (1960,an) itu.
“Kita bicara Papua Merdeka seolah-olah dan seakan-akan karena hal-hal yang disebutkan diatas, maka disisi lain kita tidak mempunyai hak Politik yang sangat Fundamental. Kenapa demikian? Karena yang terlihat diatas, hanya bicara seputar apa yang tersebut di atas, padahal hal-hal diatas adalah anak dari pelanggaran Hak Politik Masyarakat pribumi di West Papua”
“Perlu dipahami bahwa, kita bicara Papua Merdeka karena (Hak Politik kami sebagai Masyarakat Pribumi yang sama pula dengan Masyarakat Internasional lainnya), karena kami mempunyai hak politik untuk Merdeka [Dirikan Negara] sama dengan Masyarakat Internasional lainnya”, tegas Bazoka.
Simak berikut ini:
- Penjelasan Bazoka Logo tentang Petisi Rakyat West Papua
- Bazoka Logo: Saat ini Perjuangan Papua Merdeka “telah Jelas”, Kecuali Indonesia
Ia mempertanyakan sikap para pejuang Papua Merdeka yang berjuang dan bicara Papua Merdeka hanya berdasar pada hal-hal sektoral seperti yang disebutkan diatas.
Berikut pertanyaan logis yang dipostingnya: (1). Jika tidak ada orang lain di West Papua, Apakah orang Papua akan bisa bicara Merdeka, atau tidak ?, (2). Jika tidak ada Pelanggaran HAM di West Papua, Apakah orang Papua akan bisa bicara untuk Papua merdeka, atau tidak ?, (3). Jika tidak ada PT. Freeport Indonesia di West Papua, Apakah orang Papua akan bicara Papua Merdeka, atau tidak ? …dan sejenisnya –– Hal-hal sektoral.
(Lihat ini: Data Fakta Sejarah Papua Barat)
Bazoka menegaskan, mereka pejuang Papua Merdeka yang berjuang atas dasar hal-hal sektoral itu, perlu bertobat, karena dasar perjuangan Papua Merdeka adalah soal sejarah, bukan soal HAM, Freeport dan lain-lain.
“Bertobatlah kalian yang bicara Papua Merdeka karena hanya (berlandas) pada : Pelanggaran HAM, PT. Freeport Indonesia dan sejenis lainnya”, tulis Logo.
Ketua Panitia itu menggaris bawahi bahwa, bangsa Papua berjuang Papua Merdeka karena Hak Fundamental, Hak Tunggal atas warisan oleh pencipta Khalik melalui leluhur bangsa Papua.
(Baca ini: Kronologi Papua 1960 -1969: Ketika Hak-hak Politik Bangsa Papua Diberangus)
Posted by: Admin
Copyright ©FB: BAZOKA LOGO “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Menurut saya, arah perjuangan bangsa Papua tidak bisa mengikuti jejak perjuangan bangsa Aceh di Aceh atau Timtim yang kini menjadi Republik Timor Leste. Hal ini karena sejarah yang berbeda. Perbedaan dasar sejarah yang menjadi acuan dalam menentukan arah kedepan. Mungkin saja mekanisme internasional alias referendum bisa sebagai solusi yang didorong tetapi siapkah indo? Bersediakah Indonesia untuk memberikan kesempatan pada rakyat Papua untuk menentukan masa depannya untuk kedua kali setelah 1969?
Yang penting untuk didorong bersama adalah persatuan nasional yang telah ada, mengisi berbagai bidang yang dibutuhkan dalam membangun Negara yang sedang diperjuangkan segenap bangsa Papua. Koordinasi antar internal bangsa Papua dan para diplomat untuk terus berdiplomasi hingga mendapatkan dukungan luas.
Salam Juang
Hormat
Indonesia dan pihak-pihak yang pernah terlibat dalam pelanggaran hak Politik bangsa Papua, baik itu 61 maupun 69, ketika dibenahi untuk diluruskan melalui badan Internasional, maka semua akan terbongkar dan Indonesia tidak bisa apa-apa lagi, karena mereka telah bersalah.
Kemudian untuk perjuangan bangsa Papua ini, persatuan Nasional telah terjadi dan kini Pejuang PM maupun pemimpin Papua Merdeka tinggal berpikir untuk bagaimana solidkan dan maksimalkan apa yang sudah kami capai ini untuk mengatur langkah ke depan, agar perjuangan ini segerah berhasil capai pada "Kemerdekaan" negara West Papua.
Terima kasih.