Oleh : John NR Gobai
Anggota DPR Papua
PAPUA – Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Menurut UU no 21 Tahun 2001, Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
Menurut Permendagri No 52 Tahun 2014, wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
(Lihat ini: Koteka Menentang Budaya Asing)
Dengan uraian tersebut diatas,terkait dengan nelayan di Papua, jika pengertian masyarakat adat papua dan nelayan tradisional disandingkan, maka dapatlah ditarik benang merah kesamaannya, antara Nelayan Tradisonal dan Masyarakat Adat, dalam konteks ini adalah Nelayan Masyarakat Adat Papua, mempunyai kesamaan makna, sehingga dalam regulasi ini digunakan istilah Nelayan Masyarakat Adat Papua.
Masalah dan Solusi
Dalam eksplorasi diwilayah kelautan di Papua terdapat cara penangkapan ikan, yang dalam istilah local di Papua, disebut dengan nama Bagan/Rompong yang dilakukan oleh nelayan non papua, kadang juga mengambil ikan dalam jumlah banyak yang kemudian dapat juga mengganggu pencarian nelayan masyarakat adat papua, ketika tangkapan pemilik bagan banyak sementara nelayan masyarakat adat papua, kurang hal ini menimbulkan kecemburuan. Ketika hasil tangkapan nelayan yang menggunakan bagan tersedia sementara nelayan masyarakat adat papua tidak tersedia ini jelas merugikan nelayan masyarakat adat papua, sementara nelayan mayarakat adat papua belum terbiasa mencari ikan dengan menggunakan bagan/rompong. Dengan system pencarian ikan menggunakan bagan/rompong ini juga patut diduga dapat mengurangi jumlah ikan karena system pencarian yang tidak memperhatikan kearifan local masyarakat adat papua. Hal ini adalah satu kondisi yang juga memerlukan sebuah pengaturan dan kesepakatan tentang masih perlukah bagan/rompong di wilayah pesisir laut Papua terkait dengan ketersediaan ikan di Papua.
(Baca ini: Ketua MRPB Bersama Masyarakat Adat Palang PT. BAPP di Tambrauw)
Terkait dengan zona mencari ikan juga menyimpan satu masalah tesendiri, hal itu terjadi karena daerah pencarian ikan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat adat papua, kini pencarian juga dilakukan oleh masyarakat lain, dengan membayar kepada perorangan dalam bentuk uang bulanan bukan berupa iuran kepada Suku pemilik wilayah adat dan juga tanpa membayar kepada pemilik wilayah adat. Kondisi ini juga sering menciptakan konflik antar nelayan papua dengan nelayan non papua, seperti yang terjadi di Pomako, Mimika Pada tanggal 1 Agustus 2017.
Dalam Adat Papua, sejak turun temurun telah dikenal adanya ruang laut, tempat mencari ikan masyarakat adat dalam wilayahnya masing masing, antara satu suku dengan suku lainnya, hal itu diakui secara turun temurun oleh sesama suku, jika saling dimasuki oleh masyarakat adat dari wilayah adat lain, maka akan terjadi konflik, namun dalam kenyataan saat ini pengelolaan laut di Papua, milik Masyarakat adat Papua belum diatur dalam regulasi oleh karena itu masyarakat adat yang bekerja sebagai nelayan terkadang tersingkir karena ruang mereka mencari ikan dikuasai oleh nelayan non papua, seperti yang terjadi di Jayapura, Mimika, Merauke, Sarmi dan Nabire, maka perlu diatur sebuah regulasi daerah berupa Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Masyarakat Adat Papua di Propinsi Papua.
Copyright ©Kabar Daerah “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com