Dark
Light
Today: November 8, 2024
6 years ago
76 views

Babi Dipanah Pemuda Perjaka, Seluruh Doa Digantung Diujung Rumah

Babi Dipanah Pemuda Perjaka, Seluruh Doa Digantung Diujung Rumah
AIR NAIK – Air yang menggenangi hutan saat para pengunjung dan tamu pesta ulat sagu tiba di Kampung Uni Distrik Bomakia, Kabupaten Bovendigul, Rabu (26/9) pekan kemarin. Inilah kondisi awal dalam perjalanan untuk mengikuti pesta ulat sagu ini.

Menyambangi Lokasi Pesta Ulat Sagu Suku Kombay di Kampung Uni, Kabupaten Bovendigul (Bagian 1)

Sebuah mimpi yang terwujud bisa menyambangi langsung lokasi rumah pohon dan menyaksikan langsung pesta ulat sagu. Meski bukan Korowai namun Kombai juga sangat menarik. Posisinya berdekatan dengan Korowai. Cenderawasih Pos mencatat ‘kekayaan’ tersebut yang dibalut dalam pesta semalam suntuk ini.

Laporan : Abdel Gamel Naser – Kombay

Setiap daerah pasti memiliki kekayaan budaya masing-masing. Budaya yang menjadi jati diri dan kebanggan bagi masyarakatnya. Budaya yang tak boleh dilupakan jika tak ingin kehilangan jati diri. Jika di Jayawijaya ada Festival Lembah Baliem, di Biak ada Wampasi maka di Bovendigul ada pesta ulat sagu. Sebuah acara budaya yang syarat makna dan menyatu dengan alam. Berbeda dengan pesta budaya lainnya, pesta ulat sagu semuanya menggunakan apa yang disajikan di hutan. Tak ada yang namanya speaker atau pengeras suara, tembok berbahan material semen, paku, seng, genset, lampu dan tanki air.

Yang tersaji adalah ranting dan batang pohon yang dijadikan tiang, daun sagu yang dipakai sebagai atap, tali bunga mangkok sebagai pengikat dan kulit pohon dipan atau alas tidur serta ilalang dan dedaunan untuk tempat beristirahat. Dengan kemampuan beradaptasi dan memaksimalkan apa yang sudah hutan berikan, masyarakat suku Kombay mampu mendirikan rumah tanpa paku. Semua menggunakan tali mangkok sebagai pengikat. Dahan kayu dikaitkan dengan batang pohon yang lebih besar akhirnya menjadi atap, menjadi dinding dan menjadi tangga dan sekali lagi tak ada listrik. Semua 100 persen berbahan alam. Ini Nampak jelas yang ditampilkan di Dusun Weyunggeo Kampung Uni Distrik Bomakia pada Rabu (26/9) pekan kemarin.

Untuk sampai di Kampung Uni ini aksesnya tidak terlalu sulit. Penerbangan bis adimulai dari Bandara Sentani Kabupaten Jayapura menuju Bandara Mopah, Kabupaten Merauke menggunakan pesawat berbagai jenis termasuk type boeing. Membutuhkan waktu 1 jam 10 menit waktu tempuh dari Sentani ke Merauke dengan biaya tiket pesawat sekitar Rp 450.000. Setelah tiba di Bandara Mopah, jika penerbangan lancar maka bisa langsung menuju Distrik Bomakia Kabupaten Bovendigul. Lagi-lagi waktu tempuhnya tak terlalu berbeda, sekitar 1 jam menggunakan pesawat berukuran kecil seperti Cesna maupun Caravan. Biayanya sekitar Rp 300.000 untuk sekali penerbangan.

Nah di Bomakia inilah yang mulai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama di distrik ini taka da jaringan telepon apalagi internet. Kedua, alira listrik dibatasi dari jam 6 sore hingga 12 malam. Terkecuali ada pejabat daerah biasanya genset dihidupkan hingga pagi. Lainnya adalah tak ada penginapan resmi. Tapi pengunjung bisa berkoordinasi dengan pihak distrik untuk meminta beberapa pondok yang bisa digunakan untuk nginap. Atau bisa juga menghubungi warga setempat yang memang biasa menerima tamu dari luar untuk nginap. Selain itu di Bomakia juga tak ada ojek sehingga kemana-mana harus berjalan kaki.

Dari Bomakia menuju Kampung Uni bisa dilalui menggunakan jalur darat dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam, bisa juga menggunakan jalur sungai dengan waktu tempuh 1 jam 20 menit menggunakan speedboat. Untuk biaya speedboat harus membayar sekitar Rp 300 ribu. Jika jalur yang ditempuh lurus dipastikan waktu tempuh sangat cepat, hanya saja karena sungai yang dilewati berkelok-kelok dengan lebar sungai 10-20 meter membuat waktu tempuh bertambah. Air sungai sendiri berwarna cokelat teh akibat endapan dedaunan yang cukup lama. Selama dalam perjalanan motoris akan ditemani navigator yang berdiri paling depan untuk memberi aba-aba jalur yang harus dipilih. Navigator juga akan sering mengangkat tangan dan menunjuk kiri atau kanan jika speedboat sudah mendekati tikungan. Disini motoris harus benar-benar mengurangi kecepatan agar tak bablas dan justru menimbulkan kecelakaan. Itulah mengapa antara speedboad satu dengan yang lainnya harus diberi space yang cukup jauh agar tak saling bertabrakan.

“Harus seperti itu, ada waktu 10 menit dari perahu pertama agar ada jarak. Jika tidak bisa berbahaya,” kata Amando Yabuo memberi penjelasan. Dikatakan jika air naik dan hujan maka perahu tak bisa lewat lantaran ombak terlalu tinggi dan bisa menghantam pinggiran sungai yang dipenuhi pohoh-pohon besar. Saat melewati jalur sungai ini terlihat jelas suasana hutan hujan dimana pohon-pohon tinggi berjejer rapat dan dibagian bawahnya digenangi air. Tak heran jika ada pohon di pinggiran sungai yang tumbang karena akarnya terkikir aliran air. Selain itu akan tersaji beberapa rumah masyarakat Suku Kombay yang berada di pinggiran sungai.

Hanya pondok berbentuk panggung ini tak berpenghuni. Biasanya pondok yang disebut bevak ini digunakan oleh pemburu untuk istirahat. Jika hujan atau kondisi sungai tak memungkinkan dilewati maka bevak inilah yang dipakai untuk nginap. Pengunjung juga jangan berharap bisa menemukan tambatan perahu atau dermaga yang representative dalam perjalan ini. Semua ujung perahu langsung bersentuhan dengan tanah. Lalu untuk turun dari perahu menuju daratan juga tak nyaman. Jika air sedang naik maka dipastikan kaki harus tergenang sambal menenteng barang bawaan. Ketua Papua Silva Lestari, Kristian Ari sampai menyebut bahwa air bisa sampai sepinggang orang dewasa jika menggunakan jalur darat dengan tetap membopong barang bawaan.

Setelah tiba, seluruh pengunjung atau tamu undangan biasanya diminta untuk menunggu. Menunggu tim tari dari suku Wangge Malo menyatakan siap untuk masuk. Ini bagian dalam proses adat dan ritual dimana tak boleh melewati batas yang ditentukan sebelum diijinkan. “Sebaiknya kita menunggu disini saja, ini aturan soalnya, jangan masuk lebih dulu,” kata Kristian saat mendampingi tamu rombongan yang terdiri dari rombongan Rainforest Foundation Norway yang dipimpin oleh Oyvind Eggen dan Asisten II Setda Provinsi Papua, Ir Noack Kapisa pekan kemarin.

Setelah diberi kode untuk bisa masuk, satu persatu tamu undangan diberi kalung dan melewati pembatas berbentuk gapura kecil yang terbuat dari daun sagu. Setelah itu rombongan diarak menuju lokasi pesta dan memasuki rumah panjang. Rumah ini memiliki Panjang sekitar 40 meter dengan lebar 10 meter yang dibuat sangat rendah. Atap ujung rumah hanya setengah meter dari tanah. Suasana gelap nampak jelas saat melewati rumah panjang ini dan diujung rumah tim tari yang berisi kaum laki-laki dan perempuan termasuk anak-anak langsung berhamburan berkeliling area pesta. Disini terlihat jelas kebahagiaan masyarakat Kombay dalam memberikan yang terbaik untuk tamu yang datang di kampungnya.

Tak hanya orang tua yang memimpin rombongan menari tetapi kaum perempuan bahkan banyak bayi ikut digendong berkeliling. Pesta ulat sagu memiliki pesan sebagai bentuk ucap syukur, ucapan terimakasih terhadap apa yang sudah Tuhan beri terhadap dusun yang memberi kehidupan dan kesehatan bagi keluarga mereka. Bisa juga diartikan sebagai ucapan terimakasih kepada seseorang yang dianggap sudah berjasa. “Ini pesta adat, missal kakak saya menolong saya dan saya ingin ucapkan terimakasih maka saya buatkan pesta. Dari pesta itu saya akan mengundang kerabat dan handai taulan yang lain,” kata Kristian.

Secara gamblang Kristian menyampaikan bahwa pemerintah harus memperhatikan masyarakat Kombay dan Korowai jika mengaitkan soal proteksi sagu. Pasalnya berbicara soal pangan lokal banyak orang di Papua bicara proteksi sagu namun faktanya hingga kini sagu mulai ditinggalkan oleh beras. “Sementara di pesta ulat sagu semua memakan sagu.

Ketika pesta ini dilakukan, mereka membutuhkan sagu yang banyak sehingga secara otomatis harus dijaga. Satu cara mempertahankan pangan local mereka adalah pesta ulat sagu ini sebab beli beras tentu butuh uang,” bebernya. Pesta ulat sagu dalam bahasa Kombai disebut sebagai Yame. Yame adalah sebuah pesta besar karena melibat banyak orang, baik dari dalam komunitas masyarakat adat Kombai maupun dari luar komunitas.

Dalam pelaksanaannya, diperlukan kerja sama dan solidaritas persaudaraan yang tinggi dalam komunitas maupun di luar komunitas. Pesta ini dimulai dengan ritual memanah babi yang dikorbankan untuk leluhur. Babi ini dikurung dalam sebuah potongan-potongan kayu yang memiliki celah dan orang yang memanah babi ini haruslah seorang perjaka.

Yang menyediakan babi adalah tuan pesta dimana pada acara kemarin tuan pestanya adalah Yambumo Wanimba. Babi ini awalnya dikurung di tempat yang akan diadakannya pesta dan ketika darahnya sudah mengalir di tempat tersebut, tempat tersebut sudah bisa dipakai untuk pesta. (bersambung)

Copyright ©Cepos “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.