Suasana sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika. |
Jayapura — Legislator Papua, Laurenzus Kadepa mengatakan, jika memang tak ada masalah di Papua, Pemerintah Indonesia harus membuka akses pihak asing, masuk ke provinsi paling timur Indonesia itu.
Hal itu dikatakan anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, HAM dan hubungan luar negerir DPR Papua tersebut, menanggapi pernyataan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) usai berpidato pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Markas PBB, New York, Amerika, Kamis (27/9/2018), dengan menyebut ada negara Pasifik yang selalu memunculkan isu-isu tidak benar tentang pelanggaran HAM di Papua.
“Kalau Papua baik-baik saja, tak ada pelanggaran HAM, coba Pemerintah Indonesia membuka akses untuk media asing, pekerja kemanusiaan, diplomat asing bahkan utusan PBB untuk melihat langsung kondisi Papua dan melakukan penyelidikan,” kata Kadepa kepada Jubi, Senin (1/10/2018).
Menurutnya, Presiden Jokowi memang telah menyatakan jika jurnalis asing bebas masuk ke Papua. Namun hingga kini hal itu belum terbukti. Saat akan ke Papua jurnalis asing dan pekerja kemanusiaan dari negara lain dibatasi. Kalaupun dizinkan, mereka tidak dapat bergerak bebas, karena selalu dalam pengawasan.
Isu HAM Papua yang selalu diangkat dalam sidang PBB kata Kadepa, mestinya menjadi pembelajar bagi Indonesia agar tidak selalu memandangan Papua dari sisi negatif dan menggunakan pola pendekatan keamanan.
“Kalau mempertahankan NKRI dengan cara selalu terjadi kekerasan, penangkapan dan lainnya, itu sama saja menjual NKRI. Justru membuat orang asli Papua makin tak percaya pada negara dan Indonesia akan tetap selalu menjadi sorotan dunia internasional,” ujarnya.
Usai bicara di sidang umum PBB, Jusuf Kalla mengatakan, ada negara Pasifik yang selalu memunculkan isu tidak benar tentang pelanggaran HAM dan tidak sahnya Papua bergabung ke Indonesia. Negara yang dimaksud yakni Vanuatu.
Kata JK, masuknya Papua ke Indonesia merupakan bagian dari resolusi PBB dan Vanuatu sebagai anggota PBB harus mengakui resolusi itu.
“Sekali lagi berbuat itu tentu kita akan juga mempunyai satu cara untuk melawan itu,” kata JK.
Isu penentuan nasib sendiri dan Hak Asasi Manusia (HAM) West Papua terus disuarakan negara-negara Pasifik dalam sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung di New York Amerika Serikat selama September ini.
Kepulauan Marshall menjadi negara pertama yang mengangkat isu West Papua dalam sidang tersebut. Hilda Heine, Presiden Kepulauan Marshall menegaskan posisi Forum Kepulauan Pasifik (PIF) tentang West Papua.
(Lihat ini: Marshall Islands: Dekolonisasi dan HAM Merupakan isu Penting di Wilayah Pasifik)
Sementara Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga meminta PBB melibatkan rakyat West Papua untuk mencari solusi terakhir dari perjuangan bangsa dan rakyat West Papua.
Vanuatu adalah negara ketiga yang menyinggung persoalan HAM dan penentuan nasib sendiri bagi West Papua. Negara yang konsisten mendukung perjuangan bangsa West Papua untuk berdaulat secara penuh ini meminta Dewan HAM PBB menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di West Papua.
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai di hadapan peserta sidang Majelis Umum PBB mengatakan, komunitas internasional adalah saksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang diderita rakyat West Papua.
(Lihat ini: Tuvalu: PBB Harus Terlibat dengan Rakyat West Papua)
Pihaknya mendesak Dewan Hak Asasi Manusia menyelidiki pelanggaran itu, dan menyerukan kepada negara lain untuk lebih memperhatikan tindakan tidak manusiawi ini dan bersama-sama dengan Indonesia mengakhiri semua bentuk kekerasan.
“Menemukan kesepahaman dengan warga negara untuk memfasilitasi pembentukan sebuah proses yang akan memungkinkan mereka (West Papua) bebas mengekspresikan pilihan mereka,” kata Charlot Salwai (*)
(Baca ini: Langkah Vanuatu dan ULMWP di sidang Majelis Umum PBB)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com