Jayapura — Personel gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke Sekretariat Pusat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Kampung Vietnam, Waena, Papua, Senin (19/11/2018), sekitar pukul 10.16.
Aparat gabungan yang berjumlah 150 orang itu diduga merusak dan melakukan kekerasan di sekretariat itu.
“Polisi mendatangi sekretariat, melakukan perusakan semua fasilitas kantor, pintu dibongkar, lemari dan alat-alat yang ada di sekretariat dirusak,” kata Juru Bicara KNPB Ones Suhuniap saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin (19/11/2018).
Ones menjelaskan, saat itu KNPB tengah memperingati hari kelahiran organisasi yang ke-10. Salah satu rangkaian kegiatannya ialah diskusi publik di Asrama Mahasiswa, Pegunungan Bintang, Jayapura. Beberapa pemateri yang diundang dari akademisi, peneliti, dan pemerhati HAM.
(Simak juga: Vanuatu Persiapkan Utusan Khusus untuk West Papua, KNPB: Terima Kasih Kepada Vanuatu)
Sedangkan sekretariat KNPB dijadikan tempat menyimpan dan mengolah makanan untuk agenda diskusi. Saat aparat gabungan bersenjata laras panjang datang, dua anggota KNPB yang sedang memasak menjadi korban tindak kekerasan.
“Ada yang diinjak [aparat gabungan], ada yang dipukul di punggung belakang. Yang diinjak itu dipaksa mengakui untuk kegiatan apa masak,” tuturnya.
Papan tulis berisi catatan kegiatan diskusi dicoret dengan cat biru. Bagian pintu dicoret dengan cat biru bertuliskan “NKRI”. Pisang, makanan, dan rice cooker dibuang berserakan.
“Semua dikasih rusak, uang panitia juga diambil. Alat masak dikasih bocor dengan sangkur, kemudian yang dimasak dikasih tumpah dan diinjak-injak semua makanan yang sudah dimasak,” ujarnya.
“Makanan itu kan harus dihormati,” lanjut Ones. “Memang polisinya itu makan batu baru hidup? Itu kutukan akan kena di polisi.”
Setelah itu pasukan gabungan berarak ke Asrama Mahasiswa. Mereka meblokade jalur masuk dan membubarkan cara diskusi. Pimpinan mereka ialah Kapolres Jayapura Kota AKBP Gustav R. Urbinas dan Dandim 1701/Jayapura Letkol Inf. Yohanis Parinussa.
Sebanyak 126 (versi polisi: 107) peserta beserta pemateri diskusi dibawa ke Polres Jayapura Kota. Mereka diinterogasi.
(Baca juga: Pesan: Ketua ULMWP Menyampaikan Selamat atas Kongres II KNPB)
Beberapa dari mereka yang ditangkap: Ketua Umum KNPB Agus Kosay, Ketua Panitia HUT KNPB ke-10 Ogram Kobabe Wanimbo, dan Kepala Sekretariat Kantor Koordinasi di Papua dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk yang menjadi pemateri diskusi.
“Tindakan kepolisian itu sangat brutal, mereka melakukannya seperti preman,” tegasnya.
Ones menjelaskan, diskusi yang mereka gelar dilindungi Undang-undang. Menurutnya negara wajib menjamin hak bersekirat, berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi. Apalagi jika negara Indonesia mematuhi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
“KNPB sebenarnya hanya menyampaikan solusi untuk mengakhiri segala konflik di Papua,” lanjut Ones. “Rakyat yang menentukan apakah Papua mau tetap dengan Indonesia atau mau merdeka.”
Namun sayang sekali, kata Ones, pemerintahan Jokowi mengabaikan solusi KNPB yang demokratis dan tanpa kekerasan itu. Indonesia justru alergi dengan kata “referendum”.
KNPB sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara. Menurutnya selama ini negara justru selalu mempertajam dan memperuncing semangat perlawanan di Papua.
“Pemerintah tidak melindungi rakyat. Apa yang ditunjukkan kepolisian itu watak kolonial di Papua,” tegasnya.
KNPB merupakan organisasi politik rakyat Papua yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua. Mako Tabuni, mantan ketua I KNPB ditembak mati oleh polisi pada, Kamis (14/6/2012).
(Baca ini: ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua)
Sedangkan ULMWP ialah aliansi politik yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan Papua. Ketuanya ialah Benny Wenda, orang asli Papua Barat yang mendapat suaka dari Kerajaan Inggris. Dia memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui PBB.
(Lihat ini: Pemimpin Kemerdekaan West Papua, Benny Wenda Dapat Diberikan Penghargaan “Freedom of Oxford”)
Gerak Orang Asli Papua Dipersempit
Markus Haluk menuturkan, saat ia menyampaikan penjelasan dalam diskusi, personel polisi masuk ke ruangan. Polisi langsung menghentikan dan membubarkan diskusi. Kemudian dia digelandang ke Polres Jayapura Kota untuk diinterogasi.
Markus menegaskan jika aparat gabungan menganggap pemikirannya berbahaya bagi keamanan negara, seharusnya disampaikan dalam diskusi.
“Sampaikan dalam diskusi, dari pandangan polisi. Kami juga sampaikan. Jadi jangan sepihak ditangkap lalu dinterogasi kami, itu tidak adil,” ujar Markus saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon.
Cara untuk memanusiakan orang asli Papua, menurut Markus ialah dengan penegakan hukum yang adil. “Ruang dialog harus dibuka. Selama ini selalu sepihak, bubarkan, tangkap,” tuturnya.
Menurut mantan anggota penasehat Dewan Adat Papua itu, ruang gerak orang asli Papua selalu dipersempit negara. Di era Jokowi, kata Markus, pelanggaran HAM di Papua justru meningkat.
“Kalau orang Papua kumpul saja itu kapan saja bisa dibubarkan, kapan saja bisa ditembak, kapan saja bisa ditangkap. Itu yang terjadi. Ini yang masif justru di masa Jokowi. Ini lebih bahaya,” kata penulis buku Mati Atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua itu.
Perlakuan diskriminatif pemerintah Indonesia pada orang asli Papua, kata Markus, berakar dari rasisme yang terus ditumbuhkan. Hasilnya tak akan ada kebijakan hukum yang memihak orang asli Papua.
“Ini bentuk pembungkaman yang sangat sistematis. Mau demo dibungkam. Mau duduk diskusi juga dibubarkan. Jadi orang Papua terhempas di atas tanah mereka sendiri,” tegas Markus yang juga menulis buku bertajuk Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesain Konflik tersebut.
Pelarangan Organisasi Papua Merdeka dan KNPB, bagi Markus, tak pernah menyelesaikan masalah. Sebab sudah 55 tahun berlalu, perjuangan untuk kemerdekaan Papua dari Indonesia masih terus terawat.
“Mereka [pemerintah Indonesia] mesti belajar, setiap kali mereka lakukan pembungkaman, penangkapan itu tidak menyurutkan semangat api perlawanan. Api perjuangan terus menggelora,” terangnya.
Gustaf Kawer, pengacara para aktivis yang ditangkap menegaskan, aparat gabungan melakukan penangkapan tanpa disertai surat tugas dan surat perintah. Menurutnya hal itu pelanggaran serius terhadap KUHP.
“Perilaku ini menunjukan aparat kepolisian masih represif dan terkesan menggunakan cara-cara lama untuk membungkam kebebasan berekpresi di tanah Papua,” kata direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua itu kepada reporter Tirto.
Barang Bukti tak Mengancam Keamanan Negara
Polres Jayapura Kota menyita berbagai barang bukti yang tak berpotensi adanya tindak kekerasan dari panitia diskusi KNPB. Seluruh barang bukti itu diangkut menggunakan dua truk.
Beberapa di antara barang yang disita berupa, dua spanduk bertuliskan “Kongres Ke-II KNPB, Sadar dan Lawan: Membangun Kesadaran dan Kekuatan Perlawanan Dalam Negeri untuk Mengusir Praktek Militerisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imprealisme”.
Kemudian satu unit printer, satu baju bermotif bintang kejora, dua noken bercorak bintang kejora, dan 17 unit sepeda motor tanpa surat resmi.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal menjelaskan kegiatan KNPB dibubarkan karena dianggap sebagai organisasi terlarang.
“[KNPB] menyuarakan Aspirasi Papua Merdeka dan bertentangan dengan NKRI,” kata Kamal melalui keterangan tertulisnya.
Penangkapan 107 peserta, pemateri, serta panitia diskusi itu untuk klarifikasi dan penanggungjawaban kegiatan. Usai diperiksa, menurut Kamal, mereka akan dipulangkan.
Rasisme yang Tak Kunjung Usai di Papua
Terkait pembubaran diskusi KNPB dan penangkapan tersebut, Peneliti Indonesia di Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono menegaskan, Polda Jayapura harus bertanggung jawab memberikan penjelasan.
Sebab ada dugaan, terjadinya pencabutan hak kebebasan berkumpul, berpendapat, serta rasisme terhadap orang Papua.
“Saya kadang heran apa polisi-polisi rambut lurus, polisi Indonesia, tak capek melanggengkan rasialisme terhadap orang kulit hitam, rambut keriting di Tanah Papua? Mengapa tak mencoba jadi polisi yang lebih ramah terhadap orang Papua?” ujar Andreas kepada reporter Tirto.
Kepala perwakilan Komnas HAM di Papua Frits Ramandey, sibuk memastikan agar mereka yang ditangkap tak diperiksa dengan disertai kekerasan. Dia menganggap pembubaran dan penangkapan itu sebagai bentuk pembungkaman.
“Ini semacam ada pembungkaman terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di ruang-ruang ilmiah,” kata Ramandey saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon.
Ramandey juga sempat memberi penjelasan pada orang-orang yang ditahan Polres Jayapura Kota. Dia meminta para aktivis KNPB berjuang di jalur damai dengan prinsip demokratis, HAM, dan hukum yang berlaku.
“Kalau kekerasan direspon dengan kekerasan maka akan melahirkan kekerasan baru.”
Anggapan serupa juga disampaikan Manager kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri. Menurutnya pembubaran diskusi KNPB itu punya indikasi pemberangusan hak berkumpul secara damai.
(Baca ini: KNPB Bersama Rakyat Papua Merayakan Kemenangannya atas Petisi West Papua Tiba di C24 PBB)
Puri menyoroti barang bukti yang disita Polres Jayapura Kota. Menurutnya tak ada barang sitaan yang mengancam keamanan nasional.
“Ini jelas ada penggunaan unsur kekuatan berlebihan dari aparat gabungan TNI Polri. Dalil hukumnya tidak jelas,” kata Puri kepada reporter Tirto.
Maka dari itu, Puri mendesak Polda Papua meminta maaf atas pembubaran dan penangkapan yang dilakukan bawahannya itu.
“Polda mengeluarkan rilis itu untuk membela aparat, enggak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap pembatasan hak warga berkumpul dengan damai tanpa ukuran ancaman yang jelas,” pungkasnya.
Copyright ©Tirto “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com