Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Papua, Lukas Enembe saat peresmian bandara Dekai, Yahukimo – Foto: Yuliana Lantipo. |
Jayapura, — Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Surabut mengatakan kebijakan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo terkait kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua membuat rakyat Papua makin tidak percaya kepada dirinya.
“Menambah ketidakpercayaan, terlebih keluarga korban kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia,”ungkap Surabut kepada Jubi di Kantor Dewan Adat Papua, pada Selasa (27/11/2018) di Waena, Kota Jayapura, Papua.
Kata dia, selama Jokowi menjadi presiden, tercatat 7.000 orang Papua ditahan polisi dalam demontrasi damai. Jumlah yang sangat besar dalam satu decade terakhir. Dan ketidakpercayaan itu semakin bertambah setelah pengangkatan Jenderal Andika Perkasa sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Andika disebutkan pernah bertugas di Papua dalam operasi khusus namun dalam operasi khusus itu tidak disebutkan apa tugas khusus Andika.
Namun, lanjutnya, sejumlah media telah merilis Andika diduga terlibat dalam satu pelanggaran Hak Asasi Manusia, pembunuhan pemimpin kharismatik Papua, Theys Hiyo Eluai pada 10 November 2001 di Jayapura, Papua.
Theys adalah ketua Presidum Dewan Papua (PDP), sebuah lembaga politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua yang dibentuk masa Presiden Abdurrahman Wahid. Lembaga ini tidak disenangi oleh militer, terutama karena langkah-langkah Theys untuk memperjuangkan Kemerdekaan Papua.
Media Indoprogress.com merilis keterlibatan Andika Perkasa dalam pembunuhan Theys tidak pernah diselidiki tuntas. Dia diduga terlibat dari sebuah surat yang dikirim oleh ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo. Agus Zihof, sang ayah yang juga seorang purnawirawan itu, pernah mengirim surat kepada Kasad Jendral Ryamizard Ryacudu. Dia mengeluhkan bahwa anaknya dipaksa mengaku membunuh Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika Perkasa. Dalam suratnya itu, Agus Zihof mengungkapkan bahwa Andika berjanji akan memberikan kedudukan yang baik di BIN karena mertuanya adalah orang yang berpengaruh di sana. Tim penyelidik khusus yang dibentuk untuk menginivestigasi kasus Theys menolak untuk memeriksa Andika.
Kata Surabut, dengan berkelilingnya militer, perilaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu, di sekitar Jokowi, presiden Republik Indonesia ke 7 ini tidak akan pernah menyentuh masalah kemanusiaan di Indonesia.
Terpisah, Presiden Sinode Gereja-gereja Babtis Papua, Dr Sokratez Sofyan Yoman mengatakan presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengutamakan seremonial daripada pembangunan substansial di Papua.
“Belum ada perubahan substantial. Dia (Jokowi) bersandiwara,” ungkap Yoman.
Kata dia, orang Papua tidak butuh dengan kunjungan-kujungan dan aksi-aksi spontan, gendong anak dalam kujungan dan melambaikan tangan dan senyum.
Dengan aksi itu, Jokowi memang membuat banyak orang kagum. Orang kagum juga Jokowi telah melakukan 10 kali kujungan kenegaraan ke Papua. Namun dibalik itu, Jokowi tidak sadar, belum menyentuh masalah utama di Papua. Masalah utama di Papua itu bukan pembangunan infrastruktur melainkan penghargaan martabat manusia.
“Kami tidak butuh uang. Martabat kami tidak bisa diukur dengan uang,” katanya.
Jauh lebih penting, Jokowi menghargai martabat orang Papua dengan menghentikan semua kekerasan yang terjadi dan mengusut siapa dibalik semua kekerasan di Papua.
Selama masa pemerintahan Jokowi tercatat 7.000 orang Papua ditahan polisi dalam demontrasi damai. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail 📧: tabloid.wani@gmail.com