Marinus Yaung, Foto: pribadi. |
Oleh: John M. K*
Kami ingin tanggapi tulisan Marinus Yaung di dinding facebooknya dengan judul: (Referendum, bahasa “Politik Muka Dua“ Muzakir Manaf dan Benny Wenda).
Marinus Yaung tercatat sebagai dosen Hubungan Internasional Fisip-Uncen yang kini kuliah di Bandung. Beberapa mahasiswa mengatakan, tahun-tahun terakhir ini tidak lagi aktif mengajar di kampus karena didiskualifikasi. Katanya, menurut aturan baru seorang dosen minimun harus lulusan sarjana strata dua (S2).
Teman lain berkata, Marinus Yaung sering terlibat dalam diskusi-diskusi Jaringan Damai Papua (JDP) yang mendorong dialog Jakarta-Papua. Dia juga punya hubungan baik dengan Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Di media seperti Cepos, Tabloid Jubi dan Bintang Papua, ia hadir dengan warna merah putih dikemas dalam bendera akademik, itu dilihat dari narasinya.
Posisinya sebagai pengamat politik tidak jelas, apakah pengamat hukum internasional atau pengamat politik hubungan internasional. Karena dia selalu memposisikan dirinya dari dua bidang itu. Di koran-koran selalu tertulis sebagai pengamat hukum internasional dan sekaligus pengamat politik hubungan internasional. Seorang teman berkata, ia lulusan dari hubungan internasional dengan status masih strata satu (S1) dan strata satu secara akademik masih bersifat umum, tidak ada spesifikasi khusus. Dia juga bukan ahli hukum internasional karena itu bukan jurusannya, tetapi dia punya hobi klaim diri sebagai ahli hukum internasional dan selain ahli hubungan internasional. Klaim macam ini tidak berdasar karena bukan basis keahlian. Tetapi, itu hak dia sebagai manusia.
Beberapa tahun lalu, dia juga bangun narasi tentang KNPB sebagai organisasi orang pegunungan dan di-stigma organisasinya itu korban operasi militer 1977. Dia selalu klasifikasi KNPB dan generasi muda pegunungan sebagai organisasi militan yang emosional, karena balas dendam. Narasi ini bermaksud kriminalisasi organ-organ perjuangan. Tidak terbantahkan, pernyataan-pernyataan ini cerminan barisan merah putih dalam bentuk lain.
Narasi-narasi itu memiliki peran signifikan merusak organ-organ pergerakan. Di beberapa koran, ia mengusulkan cara merangkul aktivis dan organisasi-organisasi masa seperti KNPB, AMP dan GempaR. Salah satu bentuk dari pandangan itu diwujudkan dalam buku Road Map Jilid Dua yang ditulis LIPI, merawat generasi muda Papua. Dalam misi itu, ia berusaha bertemu dengan pengurus KNPB pusat, dan pasti KNPB sudah tahu motif ini. Karena pola-pola digunakan masih sama, maka sulit terbantah jika itu bukan cara-cara operasi intelejen.
Marinus memiliki hubungan sangat dekat dengan Tito Kanvaian dan Paulus Waterpauw, waktu mereka menjabat sebagai Kapolda Papua. Lewat hubungan itu, Marinus bertemu dengan Luhut Binsar Panjaitan. Paulus Waterpauw rekrut Marinus, Matius, Lien Maolali dan beberapa lain. Mereka jalankan komisi pemberantasan HAM di Papua bentukan Luhut Binsar Panjaitan. Mereka berjanji semua pelanggaran HAM di Papua akan diselesaikan tahun 2016. Tetapi, janji itu tidak direalisasikan. Ini suatu narasi pembohongan publik dilakukan pemerintah Indonesia dan kelompok ini.
Propagandanya tidak berhenti sampai di situ. Kelompok itu kemudian ke Australia, di sana mereka bangun propaganda politik bahwa masalah HAM Papua diselesaikan sendiri, tanpa campur tangan pihak lain. Narasi ini dibantuk untuk hambat ULMWP menjadi anggota MSG dan hambat delegasi misi pencari fakta negara-negara Pasifik ke Papua. Di Australia, Marinus menyatakan pemerintah Indonesia segera mengirim 100 mahasiswa Papua S2 dan S3 di berbagai Universitas terbaik di Eropa dan Amerika. Dirinya dipercayakan oleh Luhut Panjaitan untuk proses itu. Menurut dia, rencana itu terealisasi tahun 2016.
Tetapi, kenyataan sampai tahun 2019 ini tidak terealisasi. Fakta ini membuktikan, Marinus Yaung membangun pembohongan publik, kami orang kampung bilang “main tipu“. Saat itu banyak yang bertanya, bagaimana mungkin seorang dosen S1 ini bisa mengirim mahasiswa S2 dan S3 ke luar negeri? Sementara dirinya saja belum beres studinya. Tidak logis, bila orang yang tidak mempunyai kewenangan bisa mengurus biasiswa dan mengirim mahasiswa ke luar negeri. Dia bukan bagian dari dalam struktur pemerintahan dan di birokrasi yang kelola proyek macam itu. Dia juga bukan pejabat universitas, tempat dia bekerja dan berwenang urus itu. Terlihat jelas, dia sebenarnya berhayal yang tidak realistik.
Baca ini: (Marinus Yaung: Petisi ULMWP Dapat Berdampak Positif)
Kembali dari Australia, Marinus terlibat organisir kunjungan Delegasi dari negara-negara Pasifik ke Papua. Delegasi ini diundang pemerintah Indonesia dan barisan Merah putih tahun 2016 dan delegasi dari Kepulauan Salomon 2018. Kedua delegasi ini dikawal ketat oleh pemerintah Indonesia dan barisan merah putih.
Marinus sering juga berkomentar masalah HAM dan beberapa kali ikut dalam advokasi para aktivis HAM, seperti di Paniai. Aktivitas macam ini terlihat positif tetapi sebenarnya memiliki motif lain. Motif politiknya adalah untuk hambat intervensi internasional dan hambat referendum Papua. Marinus Yaung sudah mengatakan motif politiknya itu pada Selasa 7 Februari 2019 dalam Tabloid Jubi.
Dalam butir ketiga, Marinus menyatakan presiden Jokowi segera tuntaskan pelanggaran HAM Papua, khususnya tiga kasus yaitu: Wasior, Wamena dan Paniai berdarah. Tujuan untuk menghentikan internasionalisasi isu Papua di negara-negara Pasifik, Australia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Marinus desak Jokowi selesaikan tigas kasus HAM itu untuk hentikan ULMWP diterima sebagai anggota MSG dan lobi-lobi ULMWP di luar negeri. Karena mereka angkat isu HAM dan telah dapat dukungan internasional.
Jumat 3 Maret 2017 di Tabloid Jubi, Marinus desak Presiden Jokowi segera selesaikan kasus HAM, bila tidak masalah Papua akan dibahas di sidang Umum dan Dewan Keamanan PBB tahun 2017 dan akan didesak masuk ke komisi dekolonisasi.
Dilihat dari semua itu, Marinus menggunakan isu HAM hanya untuk kepentingan kolonialisme Indonesia di Papua. Itu misi dan target utamanya.
Dia juga berusaha dekati aktivis KNPB di Jayapura terutama Ketua-nya dan TPN-PB khususnya di daerah Nduga. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas foto-fotonya yang dipublikasi di media sosial, terutama di dinding facebook-nya. Pendekatan-pendekatan ini bertujuan untuk merangkul aktivis dan anggota TPNPB tertentu dan atau mengalihkan konsentrasi aktivis dalam misinya untuk dukung Indonesia.
Baca juga: (Vanuatu, “si Kecil” Pendukung Pemerdekaan Papua)
Dia selalu bangun narasi bahwa ULMWP dibawah kepemimpinan Benny Wenda tidak memiliki Kontrol terhadap militer TPN-OPM dan organisasi basis masa sipil di dalam negeri. Tujuan utama narasi Marinus ini adalah menciptakan perpecahan dalam tubuh organ-organ perjuangan itu. Target utamanya adalah ULMWP. Tidak terbantahkan, pola-pola ini biasa digunakan oleh intelejen di negara mana pun, pola adu domba dengan cara menciptakan berpecahan dalam tubuh organisasi perjuangan.
Dalam dua tulisan terakhir telah diberi ketegasan atas misi intelejen tersebut. Marinus menunduh Benny Wenda sebagai politik muka dua. Tujuannya jelas kapitalisasi isu referendum Aceh dan Papua dengan teori komparasi. Marinus ingin ambil keuntungan politik untuk kepentingan Indonesia. Dia ingin merusak kredibilitas Benny Wenda sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan West Papua dan ketua ULMWP. Dia berkeinginan supaya ULMWP harus diganggu dan dipecahkan. Bila tidak terancam klaim kedaulatan Indonesia di West Papua.
Marinus tahu referendum Papua sudah menjadi agenda organ-organ perjuangan di dalam negeri. Agenda itu diperjuangkan oleh KNPB, AMP dan militer di basis pertahanan rimba Papua. Bentuk nyata agenda referendum itu ialah petisi 1,8 juta itu dan kini petisi sudah ada di Komisi Dekolonisasi dan Komisi Tinggi HAM PBB. Dua komisi penting mengatur dekolonisasi dan kemerdekaan.
Pemerintah Indonesia dan kelompok pro Indonesia sangat kuatir kalau agenda referendum itu dibahas dalam sidang umum PBB. Karena Indonesia takut bahwa pasti mereka akan kehilangan Papua. Dalam konteks inilah Marinus terlibat dan memainkan perannya. Marinus bangun narasi-narasi secara strategis untuk mempengaruhi opini publik masa rakyat.
Bila dikaitkan dengan pilpres antara Musakir Manaf dan Benny Wenda sangat tidak relevan. Benny Wenda tidak memiliki kepentingan apa pun dengan agenda kolonial Indonesia. Benny sudah keluarkan perintah boikot pemilu dan rakyat sudah boikot, berhasil 60%. Pemilu di Papua dimenangkan oleh KPU dan pemerintah daerah. Musakir jelas pendukung calon Presiden Prabowo, sama dengan Marinus Yaung yang mendukung calon presiden Jokowi. Marinus adalah juga pendukung calon Gubernur Wempi Wetipo dan Habel Suwae. Setelah Witipo-Suwae kalah politik, Marinus bangun narasi-narasi dengan isu-isu politik yang mengatakan, Lukas Enembe sebagai koruptor, pendukung Papua Merdeka atau gubernurnya aktivis Papua Merdeka. Dia juga desak Kapolri Tito dan KPK tangkap Lukas Enembe.
Tetapi, Marinus sendiri tidak dapat membuktikan tuduhan-tuduhannya tersebut dan itu adalah narasi-narasi pembohongan tidak realistis, tidak bertanggung jawab dan masuk dalam kategori Hoax. Akademisi se-macam ini sangat diragukan kretibilitasnya. Kata orang pintar basis utama akademik itu data, bukti dan fakta, dan itu harus dibuktikan secara ilmiah. Disebut ilmiah karena didukung data, fakta dan bukti yang dikumpulkan dan dianalisa dengan metode-metode tertentu.
(Baca juga: Benny Giay: Marinus Yaung “orang dalam” Pihak Mana?)
Setelah Marinus bertemu dengan Lukas Enembe, sebelum mereka bagi-bagi anak babi dari PT Inalum di Nduga, sikap kontroversi itu sudah berubah dan dia balik memuji Lukas Enembe. Suatu sikap yang sangat rendah dan tidak terpuji. Sebenarnya pria Genyem ini sedang praktik politik muka dua tadi.
Dari berbagai pernyataan itu telah memberikan gambaran jelas posisi dirinya, bahwa dia sedang bermain “POLITIK MUKA DUA“. Frasa itu ditunjuk pada dirinya sendiri. Makna politik muka dua berarti seseorang bekerja untuk dua kepentingan yang saling beroposisi dalam waktu bersamaan. Di satu sisi, seolah-olah dia memainkan peran sebagai pejuang HAM. Ini sebanarnya hanya pura-pura untuk menutupi misi utama. Di sisi lain, dia punya peran penting sebagai intelejen negara untuk merusak kretibilitas pejuang dan organ-organ pergerakan. Dalam rangka mengamankan kepentingan negara dan mendukung kolonialisme Indonesia. Tetapi, politik muka dua ala Marinus Yaung ini sudah diketahui oleh publik saat ini dan sulit untuk ditutupi.
Hal itu dilihat dari komentar-komentar orang Papua di halaman facebook-nya. Satu kritik paling tajam dilontarkan oleh Georga Saa tentang politik muka dua yang dituduh kepada Benny Wenda itu. Tetapi, kritik tajam dari George Saa itu dihapus oleh Marinus. Entah apa alasan, kelihatanya mental akademik si dosen ini tidak siap dan tidak mampu balas kritik tajam dari intelektual muda pemenang Olimpiade fisika dunia itu. Marinus juga tidak dibuktikan tuduhan politik muka dua kepada Benny Wenda itu. Sebagai akademik, dia seharusnya membuktikan dengan data dan bukti-bukti kongrit dari politik muka dua Benny Wenda itu. Faktanya, si dosen ini hanya bangun narasi-narasi palsu tanpa makna, narasi-narasi yang berisi kebencian dan penghianatan. Kami orang awam bilang “narasi sampah“.
Simak juga: (Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP Dan Dukungan Internasional)
Kita tahu, sikap politik setiap orang adalah hak setiap manusia. Termasuk sikap politik Marinus pro Indonesia adalah hak politiknya sebagai manusia. Sikap politik macam itu bisa dimengerti dan dihargai, bila bermain secara santun, logis dan didukung dengan data dan bukti-bukti akurat. Politik santun dan tanpa merusak kretibilitas pihak lain. Tetapi sikap politik Marinus ini adalah narasi-narasi politik yang penuh dengan kebencian dan amoral, maka itu pembohong publik ini harus diwaspadai dan dicegah.
_________________
*Penulis adalah Nelayan putusan sekolah. Tahun terakhir Ia tinggal di pinggiran kota Port Moresby, Papua New Guinea.
Posted by: Admin
Copyright ©tabloid-wani.com “sumber”
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Terima kasih Sangat Luar Biasa