Amiruddin al Rahab dalam bukunya Heboh Papua: Perang Rahasia-Trauma dan Separatisme dengan tepat menggambarkan kejam dan brutalnya militer Indonesia di PT Freeport Indonesia.
Melalui artikel ini, penulis mencoba berusaha membuka mata dan pikiran sedikit supaya para pembaca dapat menerima dan mengerti beberapa kekejaman, kekerasan, kejahatan dalam konspirasi global untuk kepentingan pertambangan emas di Namangkawi-Ndugu-Ngugu (PT. Freeport McMoran-Indonesia-Tembagapura)
Dimatanya Allen Dulles melihat bahwa seorang ekonom Swedia [Dag Hammarskjold] yang menjadi Sekjend PBB ini menjadi penghalang bagi kepentingan bisnis pertambangan emas CIA Amerika di Papua. Dulles sangat dekat dengan pengusaha raksasa minyak Amerika Serikat Rockeffeler dan sepertinya mereka mempunyai kepentingan bersama untuk memulai bisnis di Papua.
Allen Dulles sebagai direktur CIA juga pasti mengetahui informasi lengkap mengenai kandungan emas yang ditemukan seorang geolog Belanda, Jean Jaques Pozy tentang Ertsberg (gunung besi) dan Grasberg (gunung rumput) pada 1936.
Dulles tidak senang kepada Dag Hammarskjold, karena persoalan sengketa status West Papua antara Belanda dan Indonesia telah diambil alih sebagai Sekjend PBB dan West Papua harus berada dibawah pengawasan Dag Hammarskjold dan diberikan kemerdekaan sendiri seperti beberapa negara Afrika lainnya.
Menurut Greg Paulgrin,: Sekretaris Jenderal PBB telah mendapat dukungan dari Kennedy dalam merumuskan rencana untuk membuat PBB sebagai pemain utama dalam sengketa kedaulatan atas Papua” (hal. 68).
Allen Dulles tidak senang John Fitzgerald Kennedy bersahabat dengan Ir. Soekarno, presiden Republik Indonesia. Karena menurut John F. Kennedy bahwa Ir. Soekarno adalah seorang nasionalis bukan seorang komunis. Sementara pikiran Allen Dulles bahwa Ir. Soekarno adalah komunis. Karena saran dan masukan sebagai direktur CIA tidak diindahkan oleh Kennedy, maka Allen Dulles menjadi dalang pembunuhan John F. Kennedy.
Memang ada banyak alasan lain juga Allan Dulles memainkan peran pembunuhan John F. Kennedy tapi saya menyoroti dalam konteks kepentingan pertambangan emas di Papua.
3. Mengapa Ir. Sukarno disingkirkan dari kursi kekuasaan presiden Republik Indonesia?
Dalam bukunya Greg Paulgrin menjadi jelas bahwa dari pembunuhan Dag Hammarskjold, Sekjend PBB dan juga pembunuhan John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat serta penyingkiran Ir. Soekarno dari kursi presiden Republik Indonesia dan digantikan dengan Soeharto merupakan konspirasi kepentingan bisnis pertambangan emas di Papua yang dilakukan oleh direktur CIA, Allen Dulles.
Setelah Allen Dulles menyingkirkan semua pemimpin yang menghambat tujuannya, ia dengan mudah mendukung Soeharto untuk membuat perjanjjan kontrak kerja PT Freeport McMoran [1967] sebelum Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia melalui Pepera [1969] yang palsu.
Kehadiran PT Freeport McMoran Indonesia di tambang emas tidak dengan proses yang baik, tetapi dengan kekejaman dan kehajatan kemanusiaan. Perampokkan tambang emas terjadi dengan jalan brutal dan tidak manusiawi.
4. Militer dan Kekerasan di Freeport
Dalam bukunya Nenu Tabuni, S.Sos dijelaskan: “Militer dengan dunia bisnis memiliki relasi yang dekat. Relasi keduanya bersifat mutualisme, saling menguntungkan… Relasi mesra antara militer dan pelaku ekonomi di Papua terbukti dalam proses pengamanan perusahaan emas dan tembaga terbesar di dunia, yaitu PT Freeport Indonesia. Keterlibatan TNI dan Polri dalam pengamanan PT Freeport Indonesia memang bukan hal baru…di era tahun 1960-1970-an militer sudah dilibatkan dalam upaya pembangunan PT Freeport di Grasberg” (2015: hal. 126-128).
Markus Haluk dalam bukunya Menggugat Freeport telah mengabadikan kisah hidup Mama Yosepa Alomang, pejuang HAM ternama pernah mengatakan: “Kami mengenal PT Freeport itu militer Indonesia. Perusahaan ini berdiri dibelakang kemudian kami diperhadapkan dengan militer untuk mereka bunuh kami. Saya telah masuk keluar tahanan. Selama 16 kali Freeport bersama militer Indonesia menangkap dan menahan saya. Peristiwa ini saya alami sejak tahun 1977 sampai dengan saat ini” ( 2014:hal. 6).
Theo van den Broek dalam kata pengantar buku Suara Gembala Menentang Kejahatan Kemanusiaan di Tanah Papua dapat menggambarkan pengalamannya dengan rakyat Papua.
“Saya mengingat kembali tahun 1995, saat didatangi kelompok masyarakat Amungme. Mereka korban operasi perusahaan raksasa pertambangan PT Freeport. Wilayah mereka dikuasai orang luar, hak dasar mereka sebagai tuan rumah tak dihargai. Kebudayaan mereka dihancurkan, tempat keramat diremehkan dan masa depannya ditiadakan. Mereka diganjar dengan kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, pemukulan dan dipenjarakan” (Yoman: 2012).
Melihat dari penjelasan tadi membuktikan bahwa peristiwa penembakan di Kuala Kencana pada 30 Maret 2020 yang menewaskan Graeme Thomas Wall kebangsaan New Zealand/Selandia Baru dan melukai beberapa orang, ini bukan peristiwa baru. Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan ini sebagai peristiwa pengulangan seperti yang terjadi banyak kasus serupa sebelumnya. Kehadiran Freeport di gunung emas ini sebagai simbol kekerasan, kejahatan, dan stragedi kemanusiaan. Yang menjadi korbannya ialah pemilik tanah, rakyat sipil, dan karyawan Freeport dan juga aparat keamanan yang bertugas di Tembagapura..
Sebelum Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan POLRI, wilayah petambangan emas terbesar ketiga di dunia ini jarang terjadi penyerangan dan penembakan terhadap warga sipil kayawan PT Freeport. Karena PT Freeport dijaga oleh militer Indonesia dari berbagai kesatuan.
Setelah Undang-Undang pemisahan TNI-Kepolisian disahkan, peran TNI di Perusahaan PT Freeport ditarik dan digantikan dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi dan menjaga keamanan PT Freeport, maka dari perubahan ini, sepertinya TNI merasa sangat kehilangan piring (dollar) dari pertambangan emas di Mimika. Maka untuk menyatakan kepada perusahaan PT Freeport bahwa perusahaannya tidak aman dan harus dikembalikan peran TNI di Tembagapura. Jadi, untuk kembali ke lahan emas itu, militer Indonesia harus membuat kekerasan dan penembakan di areal PT Freeport, kemudian dengan alasan itu TNI dikerahkan kembali.
Dilihat dari lokasi penembakan yang adalah di Kuala Kencana, Kantor Pusatnya Administrasi PT Freeport. Sudah pasti penjagaannya sangat ketat dan prioritas utama di areal pertambangan itu. Dalam wilayah Kuala Kencana ada keamanan dari berbagai kesatuan yang menjaga kantor administrasi. Tentu saja alat pemantau jarak jauh juga terpasang untuk memantau musuh atau siapapun yang datang. Setiap pegawai yang masuk ke Kuala Kencana harus menggunakan Kartu Identitas dan juga membuka pintu juga menggunakan kartu.
Dengan dasar ini, sangat diragukan bahwa penembakan terhadap Graeme Thomas Wall adalah TPN-OPM. Tetapi saya menpunyai dugaan kuat bahwa pelakunya dari aparat keamanan Tentara Nasional Indonesia.
Yang menamakan diri TPN-OPM binaan Kopassus atau BIN dan TPN-OPM Gadungan kebanyakan tidak punya pendidikan, tidak terlatih, dan tidak punya kemampuan menembak serta banyak kelemahan. Jadi, aparat keamanan TNI-Polri segerah berhenti mengkambing-hitamkan TPN-OPM
Ada fakta lain yang tidak bisa dibantah, pada Sabtu, 31 Agustus 2002 Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus) pernah menembak mati dua warga Negara Amerika dan satu warga negara Indonesia terungkap dalam laporan Global Witness dengan judul: “Uang Keamanan Freeport dan Aparat Keamanan Indonesia.”
“Tanggal 31 Agustus 2002, adalah tanggal yang paling penting karena pada hari itu beberapa orang bersenjata menyerang secara tiba-tiba sekelompok guru yang bekerja pada Freeport Indonesia di lokasi dekat tambang. Tiga orang terbunuh, dua orang warga negara Amerika Serikat: Rick Spier dan Edwin Burgon, dan seorang warga negara Indonesia: Bambang Riswanto serta 11 orang lainnya luka-luka.”
Pertanyaan tentang siapa yang merencanakan dan melakukan serangan tersebut telah mempengaruhi hubungan diplomasi AS-Indonesia dan membuat kontroversi panjang mengenai hubungan antara Freeport dan aparat keamanan Indonesia. Para pengamat melihat bahwa orang-orang bersenjata tersebut mampu melakukan penyerangan walaupun lokasinya dekat dengan dua pos TNI. TNI menuduh kelompok OPM. Namun Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) menuduh TNI berada di belakang serangan.
Laporan awal berisi penyelidikan Kepolisian Indonesia tentang serangan tersebut bocor ke media dalam bentuk naskah. Dokumen ini, semenjak masuk catatan ke Kongres AS, telah menjadi sumber kontroversi abadi, karena dalam laporan tersebut dinyatakan: Ada kemungkinan kuat bahwa kasus Tembagapura pada 31 Desember 2002 dilakukan oleh TNI.
Kapolda Papua, I Made Pastika (waktu itu), kemudian untuk memimpin penyelidikan Bom Bali Oktober 2002 yang kemudian sukses. Wakilnya yang di depan umum telah menuduh TNI sebagai selaku penyerangan, dipindahkan bertugas dibelakang meja di Jakarta.
Tetapi serangkaian artikel media internasional melaporkan bahwa pejabat AS mencurigai TNI terlibat dalam penyerangan. Pada bulan November 2002, seorang sumber yang dekat dengan kedutaan AS di Jakarta mengatakan kepada surat kabar Australia, Sydney Morning Herald, bahwa pejabat AS tahu terkait pembunuhan dua warga negara Amerika oleh Kopassus, tetapi mereka hanya diamkan saja informasi itu, karena akan merugikan kepentingan yang lebih besar.
Pada Januari 2003, reporter harian New York Times melaporkan, bahwa seorang pejabat administrasi AS mengatakan: “Tidak ada keraguan bahwa ada keterlibatan TNI. Tidak ada keraguan serangan itu telah direncanakan sebelumnya. Tulisan ini juga mengutip seorang analis intelijen dari Barat, yang mengatakan bahwa ia percaya motif serangan tersebut adalah pemerasan murni.
Global witness mempelajari ada serangkaian pembayaran yang terjadi antara bulan Mei 2001 dan Maret 2003, dengan jumlah total sebesar $247.705 dollar AS. Pembayaran senilai $47.568 dollar AS di bulan Mei 2001, dijelaskan oleh Freeport Indonesia untuk pembangunan rumah sakit TNI di Jayapura; Pembayaran senilai $64.655 dollar AS di bulan Mei 2002, dijelaskan untuk sebuah proyek militer. Pembayaran senilai $10.000 dollar AS di bulan Juli 2002, dijelaskan untuk perayaan ulang tahun Kodam XVII Trikora; Pembayaran bulanan senilai $57.000 dollar AS total antara bulan Juni 2001 dan Maret 2003. Pembayaran bulan Januari hingga Maret 2003 disebutkan sebagai biaya administrasi. Pembayaran bulanan yang lain sebagai uang makan.”
Dari uraian artikel pendek ini, dapat memberikan gambaran dengan terang dan jelas, bahwa TNI mempunyai kepentingan secara ekonomis lebih besar. Karena itu, penembakan yang dilakukan pada 31 Maret 2020 di Kuala Kencana yang menewaskan alm Graeme Thomas Wall sangat jelas bukan TPN-OPM.
Kita sering lihat sendiri foto-foto kelompok TPN-OPM Binaan Kopassus dan BIN atau kelompok yang menamakan diri TPN-OPM yang dikirim lewat medsos. Bagaimana Anda masing-masing melihat foto-foto itu? Kesan saya, sepertinya senjata dan peluru itu disuruh pegang oleh anggota Kopassus atau anggota TNI dan anak-anak itu difoto dan disebarkan dengan sebutan TPN-OPM.
Ada motivasi dan tujuan penyerangan pada 30 Maret 2020.
- Persaingan perebutan piring (dollar) antara TNI dan Polri dari PT Freeport Indonesia di Timika. Artinya untuk mempertahankan kembali kekuatan TNI untuk menjadi penjaga PT Freeport dan singkirkan kepolisian dari Freeport.
- Pemerintah dan aparat TNI-Polri menggunanakan nama TPN-OPM untuk merusak perjuangan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang sudah mendapat dukungan dari MSG, FIF, ACP, Dewan Gereja Dunia (WCC), Dewan Gereja Pasifik (PCC), Dewan Gereja Papua (WPCC) dan seluruh rakyat Papua dan komunitas global.
- Pemerintah dan TNI-Polri memprovokasi dan merusak dukungan masyarakat Selandia Baru terhadap perjuangan rakyat dan bangsa West Papua yang semakin meningkat dan kuat dengan menembak mati alm Graeme Thomas Wall adalah warga negara Selandia Baru.
Diharapkan pemerintah New Zealand membentuk Tim independen untuk melakukan penyelidikan kasus tertembaknya alm Graeme Thomas Wall di Kuala Kencana. Kita sudah menduga sebelumnya bahwa hasil penyelidikan Tim nantinya tidak akan memuaskan semua pihak dan terutama keluarga korban. Tetapi, penyelidikan kasus kejahatan kemanusiaan ini harus diungkap pelakunya, walaupun sangat berat.
(Baca ini: Legitimasi dan Pengakuan Terhadap ULMWP)
Perlu disadari bahwa sejak dulu wilayah West Papua dari Sorong-Merauke dikelola sebagai wilayah konflik dan pasar kekerasan militer untuk kepentingan ekonomi-nya para jenderal dan pemilik modal di Jakarta.
Tepatlah apa yang dikatakan pengamat Intelijen Negara, A.C. Manulang, Mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), bahwa: “Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual di Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain dari Jakarta dengan berbagai tujuan.” (Sumber: Indopos, Minggu, 04 November 2012).
Akhir kata, pemerintah, aparat TNI-Polri berhenti mengkambing-hitamkan TPN-OPM. Diharapkan mintalah uang dollar kepada PT Freeport dengan prosedur yang layak, tetapi bukan meminta dollar dengan menumpahkan darah sesama manusia dan memanfaatkan kemiskinan TPN-OPM, |
(Baca juga: Manusia Dikorbankan Demi Tambang Emas di Ndugu-Ndugu, Tembagapura)
Ita Wakhu Purom, Kamis, 9 April 2020
_______________
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez S.Yoman “sumber”
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Inilah suara yang berseru dipadang gurun lurukanlah jalan bagi Tuhan. Bersuara terus pastor papua suara kenabian kami mendoakan pastor satu har pasti Tuhan akan membebaskan kami. Syukur bagiMu Tuhan Kau brikan kami tanah bri kami rajin juga sampaikan maksudMu. Soli Deo Gloria.
Tuhan berkati bangsa Papua, Amin!