Grafik pertumbuhan penduduk orang asli Papua di NKRI. Gambar: Ir. Yan Ukago, MT |
Jayapura, Tabloid-WANI — Dua tahun setelah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, jumlah orang asli Papua (OAP) terdata 96% atau 887.000 jiwa dari total 923.000. Pada tahun 1971, penduduk Non Papua (Pendatang) hanya 36.000 (4%), tetapi setelah 40 tahun Papua berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu pada tahun 1971 jumlah Non Papua sudah melonjak mencapai 53% (1.956 juta), sedangkan Orang Asli Papua (OAP) menurun drastis menjadi 47% (1.7 juta).
Baca juga: (Perempuan Papua : Poligami Penting Untuk Selamatkan Papua Dari Kepunahan)
Baca juga: (Astaga !!! Orang Papua sedang Menjadi Minoritas di Tanah Sendiri)
Program Transmigrasi
Untuk lebih jelas bisa baca dalam peta yang saya (penulis) tuliskan di bawa ini. Menurut data sensus penduduk tahun 2003, perbandingan antara orang asli Papua dan non Papua adalah 52 persen dan 48 persen dari total jumlah penduduk Papua 1,9 juta jiwa. Namun, sensus penduduk 2010 menunjukkan orang asli Papua tinggal 49 persen orang asli Papua dan 51 persen warga non Papua dari total penduduk 2.833.381 jiwa.
Harus ada Perhatian Serius
Invasi penduduk daerah lain ke Papua menjadi semacam mekanisme kolonisasi atau penguasaan wilayah dengan kebijakan kependudukan yang sistematis. Semacam pola menguasai dengan menduduki wilayah. Apalagi invansi manusia ke Papua bersamaan dengan sekuritisasi dan negara yang berlebihan, praktek penyiksaan yang menindas dan mengontrol orang Papua secara politik.
Pola berpikir macam itu, tampak misalnya dalam pernyataan Menteri Marwan Jafar yang mengatakan bahwa kementeriannya akan bekerja sama dengan TNI dan POLRI untuk mengamankan Papua bagi transmigrasi. “Bahkan ini lebih buruk dari penjajahan. Waktu Belanda jajah Indonesia, jumlah orang Belanda tidak lebih banyak dari orang-orang setempat di kepulauan Nusantara. Sekarang ini orang-orang Papua adalah minoritas di kota-kota provinsi dan kabupaten utama di Papua.”
Banyak pihak berkata bahwa kendati efektif mengkolonisasi Papua, kebijakan ini sangat berisiko dan menyimpan persoalan yang sulit dibayangkan akibatnya dari segi di masa depan. Karena itu, lembaga-lembaga dan berpihak meminta Presiden Jokowi untuk melakukan moratorium transmigrasi ke Papua dan pada saat yang sama perlu dibangun mekanisme untuk mengatur invasi penduduk ke Papua agar orang Papua tidak semakin terpinggirkan dan menjadi asing di negerinya sendiri. “Harus terus didorong pula kebijakan afirmatif terhadap orang asli Papua, terutama di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan,” jelasnya.
Hal yang tak kalah penting, menurut beberapa pihak dan lembaga-lembaha kemanusiaan, gereja-gereja, para dosen, dan mahasiswa, adalah realisasi dialog antara Papua dan Jakarta yang sudah lama didorong oleh berbagai elemen. “Dalam kerangka dialog itu, semua persoalan dibuka, ditaruh di atas meja untuk diselesaikan”, katanya. Dialog, menurut dia tidak memaksakan frame lama yang membelenggu, misalnya merdeka harga mati atau NKRI harga mati. “Sambil mengakui pentingan penyelesaian masalah sejarah yang kompleks, dialog diharapkan mampu membawa solusi yang tepat atas soal-soal urgen di depan mata, di antaranya soal marginalisasi, minoritisasi dan ketidakadilan akibat transisi kependudukan di tanah Papua”, katanya.
Senada dengan itu, Pastor John Djonga mengingatkan, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktek transmigrasi selama ini. Salah satunya, kata dia, terkait sikap pemerintah yang tidak menghargai tata cara yang dimiliki masyarakat Papua, terutama dalam hal pengambilalihan lahan untuk para transmigran. Ia menjelaskan, tanah-tanah di Papua merupakan milik komunal, tetapi selama ini pemerintah hanya mendekati beberapa dari kepala suku, lalu membagikan mereka uang untuk mendapatkan lahan. “Padahal, itu adalah lahan milik bersama masyarakat. Ini yang membuat benih perpecahan di masyarakat juga kuat”, katanya.
Ia sendiri mengaku tidak menutup mata pada fakta bahwa ketimpangan yang terjadi antara warga asli dan pendatang terjadi karena para pendatang yang hadir ke Papua dengan memperbaiki standar hidup, pasti memiliki motivasi lebih untuk berjuang keras, apalagi mereka umumnya memiliki keterampilan tertentu. “Sementara warga Papua, masih terbiasa dengan pola hidup mereka yang masih tradisional. Akibatnya kesenjangan melebar,” katanya.
Tapi, ia menegaskan, situasi ini tidak boleh sepenuhnya menyalahkan warga Papua. “Sudah sekian lama warga Papua tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah”, katanya. Menurut Pastor Djonga, transmigrasi tidak boleh dipaksakan. “Jangan sampai nanti, pemerintah justru menyuburkan benih persoalan yang ada. Dan, para transmigran juga akan menanggung akibatnya nanti”, katanya.
Senada juga diungkapkan Gunawan Iggeruhi (30), Aktivis HAM di Tanah Papua. “Lebih baik pemerintah, mendengarkan dulu suara warga Papua, sebelum melahirkan kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya mendapat penolakan dari warga Papua,” jelasnya.
Ia menegaskan, mungkin sejauh ini, warga Papua tampaknya biasa saja bersikap terhadap para pendatang, yang terus datang ke Papua. “Tapi sebenarnya, ada luka yang terus dipelihara oleh pemerintah, yang lama kelamaan menjadi makin parah,” katanya. “Sekarang, untuk menyembuhkan luka itu, stop dulu transmigrasi. Benahi dulu dengan tulus kehidupan warga asli Papua, agar tidak terus merasa dinomorduakan,” katanya.
Fakta memperlihatkan bahwa Orang Asli Papua semakin kurang setiap bulan di negeri Papua. Itu terjadi karena kurangnya angka kelahiran orang asli Papua dan meningkat angka kematian setiap bulan di tanah Papua. Tetapi angka kelahiran Non Papua semakin melaju dancangka kematian penduduk Non Papua sangat minim di negeri Papua. Ditambah lagi para migrant semakin banyak datang di tanah Papua dan seluruh kota-kota besar dan pelosok daerah dikuasai oleh Non Papua. Maka itu, penduduk Orang Asli Papua semakin berada dalam kepunahan. Bahkan diperkirakan bahwa Orang Asli Papua akan musnah pada tahun 2040 dari negerinya sendiri.
Posted by: ERIK
Editor by: Admin
Copyright ©Tabloid-WANI
Tanggapan anda, Silahkan beri KOMENTAR di bawa postingan ini…!!!
Solusinya kita OAP segera Konsolidasi , menciptakan kondisi saling menghargai sesama oap dalam menghadapi penduduk pendatang,kelemahan oap yg negatif dibuang, kelebihan harus dipelihara, ditingkatkan agar tdk seperti Aborigin atau suku indian.. Yg hampir musnah. Jangan sampai kita dimargasatwakan seakan kita hewan peliharaan yg dilindungi dari kepunahan… Terimakasih.
Peristiwa yang yang bisa dibilang 'slow motion genocide' ini sangat perlu ada perhatian yang serius oleh seluruh Orang Asli Papua (OAP) untuk memikirkan solusi bersama !!!
izin copy paste di blog ipmapapara malang.
Jika anda menyalinya…!!! Jangan lupa untuk melampirkan Sumbernya.
Contohnya seperti berikut ini:
Sumber:
http://www.tabloid-wani.com/2016/08/diprediksi-tahun-2040-orang-asli-papua-akan-punah-dalam-pangkuan-nkri.html