Dark
Light
Today: July 27, 2024
8 years ago
67 views

Limbah Sosial PT. Freeport Indonesia

Limbah Sosial PT. Freeport Indonesia
Areal pertambangan PT Freeport Indonesia.
Jayapura – Tambang Gasberg di Timika, Propinsi Papua telah menjadi sumber kekayaan tak terkatakan bagi para pemiliknya, namun bagi komunitas masyarakat lokal, tambang itu hanya membawa penindasan, penyingkiran, kemiskinan dan penyakit.
Hal itu menjadi kesimpulan laporan jurnalistik Susan Schulman, seorang jurnalis foto dan video kawakan, seperti dilansir The Guardian, Rabu (2/11/2016). “Tambang emas dan tembaga yang mayoritas dimiliki oleh Freeport McMoran AS itu kini adalah pembayar pajak terbesar Indonesia dengan kekayaan diperkirakan $100miliar,” tulis Schulman.
“(tapi) Tidak ada keadilan di negeri ini,” bisik seorang penduduk asli yang tak mau disebut namanya, sambil melihat-lihat kebelakang dengan sedikit takut. “Inilah pulau tanpa hukum,” ujar orang tersebut.
Saat ini, suku-suku asli seperti Kamoro dan Amungme mengaku komunitas mereka makin didera kemiskinan, penyakit, penyingkiran dan degradasi lingkungan yang parah sejak tambang itu beroperasi tahun 1973.
Hironimus Urmani, Kepala Suku Komoro di Tipuka, mengatakan sedimen akibat tailing PT. FI sudah meluap ke pinggiran sungai, membuat mati ikan-ikan, udang, kerang yang sejak dulu menjadi makanan dan basis ekonomi orang-orang Kamoro.
“Laporan tahun 2012 oleh Earth works and Mining Watch Canada menekankan bahwa limbah Grasberg telah mengubur sekitar 166KM2 yang dulunya hutan produktif dan lahan basah, juga ikan-ikan sebagian besar sudah hilang,” kata Schulman.
Meskipun sebagian besar orang Kamoro masih terus mencari ikan dan makanan dari alam, mereka juga berjuang untuk kerja upahan, ujar Urmani. “Kami perlu uang. Tetapi kini mesti juga bersaing dengan migran-migran non-Papua.”
Earthworks memperkirakan limbah Freeport (tailing) sebanyak 200,000 ton setiap hari dibuang langsung ke sungai Aikwa, yang telah menghancurkan lingkungan dan ribuan hektar hutan mangrove dan hutan lindung menjadi tanah tandus yang sebelumnya juga jadi sumber air.
Tetapi di tailing itu pula banyak kandungan Ore yang menjadi tempat orang-orang asli Papua mencari untuk menambah penghasilan. Untuk bisa sampai sana bisa makan waktu seminggu. ‘Penambang tradisional’ mengais emas dari tailing itu.
Martine Wandango (25) salah seorang dari mereka mengatakan, “kau bisa hidup hanya kalau punya uang, dan dengan cari emas ini bisa hidup,” ujar dia yang mengikuti sang suami ke delta Aikwa 15 tahun lalu berjalan kaki 60 mil dari kampung mereka di pegunungan.
Situasi sosial bertambah sulit oleh ancaman penyakit menular seksual dengan berdirinya berbagai tempat lokalisasi di sekitar Timika seiring pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas pertambangan. Tingkat HIV di wilayah ini sudah mencapai proporsi “epidemi”, menurut PBB, 15 kali lebih tinggi dari semua tempat di Indonesia.
“Tradisi budaya Papua melarang seks bebas, tetapi alkohol membuat komunitas kami rentan,” kata Martin Magal kepala suku Amungme. “Dan lokalisasi membuat penularan HIV jadi mudah.”
Dipicu oleh seks tak aman, HIV juga banyak menyerang orang-orang asli Papua. Namun akses rumah sakit yang tidak memadai (hanya satu yang dibangun PT. FI) terutama di daerah pedalaman, membuat masyarakat tidak mendapat pertolongan yang mereka butuhkan.
Susan Schulman, penulis laporan ini, sepuluh tahun terakhir ini telah membuat banyak laporan jurnalistik terkait tragedi-tragedi yang dilupakan dunia. Dia antara lain menulis tragedi kelahiran di Sierra Leone, tentara anak di Sudan, serta nasib para penambang emas di Lembah Amazon.(*)
Copyright ©Tabloid JUBI

Leave a Reply

Your email address will not be published.