Dark
Light
Today: July 27, 2024
8 years ago
57 views

“Perkawinan” Pertambangan dan Militer Lahirkan Epidemi HIV

"Perkawinan" Pertambangan dan Militer Lahirkan Epidemi HIV
Pemandangan di dalam kompleks rumah bordil di Timika, Papua.
Jayapura – Konsekuensi yang makin menonjol belakangan ini terkait pertambangan dan militerisasi di Papua adalah epidemi HIV. Penelitian Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2013 menyebutkan tingkat penularan epidemi HIV (di Papua) 20 kali dari rata-rata nasional, dan 88 persen diantara yang tertular bahkan tidak sadar mereka telah terjangkit vuirus tersebut.
Hubungan antara epidemi HIV dan militerisasi di Papua dilansir oleh laporan jurnalisme sebuah media reportase independen, IRIN, Senin (21/11/2016) oleh Susan Sculman setelah melakukan kunjungan lapangan di areal PT. Freeport Indonesia di Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Menurut laporan tersebut, di Provinsi Papua dan banyak wilayah lainnya di seluruh Tanah Papua, tak sedikit perwira keamanan terlibat dalam bisnis perdaganagn seks yang ilegal namun menjanjikan. Termasuk areal seperti tambang Grasberg milik PT. Freeport Indonesia (FI) yang ditetapkan sebagai “industri strategis”, sehingga memberi hak pada militer memegang kontrak penuh atas akses keamanannya.
Seorang pejabat pemerintah Provinsi Papua, yang enggan menyebut namanya, memberi contoh spesifik pada IRIN terkait operasi rumah bordil (tempat pelacuran) yang terdiri dari 57 “rumah” dan sekitar 180 pekerja seks.
“Mereka ini para pemiliknya: yang tertua pensiunan militer, dia punya lebih dari satu ‘rumah’, lalu satu militer aktif (perwira) yang bekerja di rumah sakit militer, satu perwira aktif polisi, dan orang-orang migran sipil termasuk yang keturuan Tionghoa, membekingi keamannya,” ujar pejabat itu.
“Sekitar 90 persen diantara para pekerja itu sudah terinfeksi HIV/AIDS,” tambahnya.

Layanan kesehatan minim

Martina Wanago, perempuan asli Papua yang terpaksa bekerja mencari sisa-sisa emas di tailing PT. Freeport di Sungai Aikwa, adalah salah seorang korban HIV positif. Wanago tertular HIV dari suaminya, yang ditularkan virus tersebut dari pekerja seks di salah satu rumah bordil yang ‘melayani’ orang-orang di sekitar pertambangan.
Laporan fakta temuan oleh Keuskupan Agung Katolik Brisbane, Australia, Februari lalu memperkirakan sekitar 80 persen pekerja seks di Papua positif HIV.
Banyak negeri di dunia sudah menunjukkan bahwa HIV sebetulnya bukan lagi penyakit fatal. Namun membutuhkan sistem layanan kesehatan yang berfungsi baik, setidaknya memenuhi standar minimal layanan dan akses kesehatan pada masyarakat.
Laporan Kementerian kesehatan Indonesia menunjukkan di area seluas 53,000 kilometer persegi denagn populasi sebanyak 400,000 jiwa, hanya dilayani oleh satu rumah sakit dengan 70 tempat tidur, dan 15 Puskesmas, dua diantaranya tidak ada dokter.
Rumah Sakit terbaik di di areal itu dan satu-satunya di wilayah pegunungan adalah RS Waa Waa di Banti. Di sana Martina Wanago dan penduduk lainnya mendapatkan layanan sebagai bagian dari program HIV. Rumah Sakit itu menerima antara 100-120 kunjungan pasien perhari dari kampung-kampung sekitar.
Rumah sakit itu dibangun oleh Freeport McMoran, salah satu dari sedikit pembangunan positif yang dilakukan perusahaan itu kepada masyarakat asli Papua.
Namun mayoritas masyarakat Papua tinggal di pegunungan yang jauh dari rumah sakit, dan tanpa akses pada pengobatan modern.
“Kami khawatirkan masyarakat lainnya di kampung-kampung,” ujar Dr. Milke yang menjalankan program itu.
“Di kampung-kampung itu, mereka hanya mengandalkan penyembuh supernatural dan kepercayaan setempat,” kata dia pada IRIN. “Kami hanya tahu apa yang terjadi di sana jika seseorang datang ke sini dalam keadaan sakit dan mereka bilang pada kami bagaimana istri atau suami mereka meninggal beserta anggota keluarga lainnya.”

Pembiaran

Epidemi HIV memberi umpan pada teori bahwa pemerintah Indonesia sedang mencoba ‘menghabisi’ populasi masyarakat asli.
“Orang Papua itu yakin HIV secara sengaja dimasukkan ke Papua oleh Indonesia untuk bunuh kami,” ujar seorang warga Papua kepada IRIN. “Lalu secara sengaja pemerintah dia biarkan penyakit itu meluas tanpa ada tindakan serius mengatasi masalah ini.”
Menurut IRIN, kesimpulan ini tidak mengherankan karena kebijakan pemerintah justru malah semakin membuat masyarakat asli Papua minoritas di tanahnya sendiri, sementara aparat keamanan terus menangkap, melakukan penyiksaan bahkan membunuh mereka yang berani berbicara.
Meski berbagai tekanan itu, aktivis-aktivis Papua tetap mengampanyekan kemerdekaan, karena menurut mereka berdasarkan praktek dan hukum internasional mereka berhak atas penentuan nasib sendiri. “Ini tanah kami,” ujar seorang aktivis kepada IRIN.
Wanago pun kemudian ikut beraktivisme. Dia mengambil dari pengalamannya sendiri untuk mendorong sesamanya menggunakan kondom.(*)
*Lihat laporan lengkapnya di sini

Copyright ©Tabloid JUBI

Leave a Reply

Your email address will not be published.