Dark
Light
Today: July 27, 2024
7 years ago
40 views

Diprotes, Pemblokiran Situs-situs Terkait Situasi West Papua

Diprotes, Pemblokiran Situs-situs Terkait Situasi West Papua
Konferensi Pers empat organisasi memrotes pemblokiran situs-situs terkait West Papua di LBH Pers, Kalibata-Jakarta, Selasa (18/4/2017).
Jakarta — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Perkumpulan Jubi, Yayasan Satu Keadilan (YSK), dan komunitas Papua Itu Kita memrotes dugaan pemblokiran beberapa situs yang memuat berita, sikap dan analisa terkait West Papua.
“Pada awal April 2017, www.ampnews.org situs resmi Aliansi Mahasiswa Papua/AMP diduga telah diputus akses internetnya secara sewenang-wenang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Pemutusan akses ini berbarengan dengan situs-situs lainya yang juga menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua,” demikian menurut rilis yang diterima redaksi Jubi, Selasa (18/4/2017).
Situs yang diduga diputus akses internetnya adalah infopapua.org, tabloid-wani.com, papuapost.com, dan freepapua.com. Pemutusan akses tersebut ternyata bukan hanya pada situs yang dikelola di dalam Papua, namun juga situs yang dikelola di luar Papua seperti bennywenda.org, freewestpapua.org dan ulmwp.org.
Protes mereka ditujukan kepada Kominfo yang diduga memblokir dengan tidak menggunakan dasar hukum yang kuat karena bertentangan dengan Pasal 28J UUD 1945. “Walaupun Pemerintah telah diberikan kewenangan melalui Pasal 40 ayat 2 UU ITE, namun implementasi pasal tersebut harus dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah dan sampai saat ini aturan tersebut belum ada,” lanjut Asep Komarudin dari LBH Pers di dalam pernyataan tersebut.
Walaupun diduga alasan pemutusan akses karena situs-situs tersebut mengandung unsur “separatis”, namun menurut mereka pemblokiran tetap tidak bisa dilakukan tanpa berpatokan pada standar hak asasi manusia.
Hal itu ditekankan Bernard Agapa, salah seorang penggerak komunitas Papua Itu Kita di Jakarta. Menurut dia, setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Itu mandat konstitusi UUD 1945 lho, sehingga rakyat Papua juga punya hak untuk menyampaikan informasi menurut kepentinngan mereka, sekalpiun itu tuntutan politik, selama dilakukan tidak dengan kekerasan dan memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia,” ujar Bernard saat dikonfirmasi Jubi, Selasa (18/4).

Hak warga untuk tahu

Pertengahan Februari lalu Pasific Freedom Forum (PFF) mengritik keras Jakarta karena dituding terus saja diam atas pelanggaran terhadap kebebasan pers di Papua, termasuk pelanggaran HAM yang dibiarkan terjadi di tengah aksi ambil untung di tanah Papua yang kaya.
“Mereka terus saja diam atas pelanggaran terhadap pers dan hak azasi manusia lainnya, coba bandingkan dengan miliaran keuntungan yang diperoleh dari Papua oleh kepentingan-kepentingan luar. Ini memalukan,” ujar Monica Miller, Ketua PFF.
Mereka juga memrotes pemblokiran portal suarapapua.com, sambil mengapresiasi Lembaga Bantuan Hukum Pers dan inisiatif solidaritas non pers di Jakarta yang melakukan advokasi agar Suara Papua dibebaskan aksesnya.
“Pemblokiran ini diduga salah satu bentuk pembungkaman kebebasan pers dan salah satu bentuk pemutusan hak atas informasi masyarakat khususnya masyarakat Papua,” ujar Asep Komarudin dari LBH Pers pertengahan Desember lalu.
Terpisah, Syamsul Alam Agus dari Yayasan Satu Keadilan (YSK) secara khusus menyoroti peran dari situs-situs tersebut bagi informasi yang obejktif dan apa adanya untuk masyarakat Papua.
“Kita ketahui bahwa konten situs web yang diblokir di Papua itu merupakan penyedia informasi bagi masyarakat Papua dan publik secara obyektif. Bayangkan jika tidak ada konten dan web tersebut? Publik hanya disuguhkan informasi-infomrasi pembangunan yang seakan-akan baik namun berujung korupsi dan pelanggaran HAM,” tegas Syamsul Alam.
Bagi dia dengan pemblokiran tersebut pemerintah telah melanggar hak warga untuk tahu.
Keempat organisasi dan komunitas itu mendesak Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk membuka dan menormalisasi situs-situs tersebut. Mereka juga mendesak agar Kominfo membuat mekanisme transparan terkait pemblokiran website agar lebih menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. 
Sebagai informasi Reporters Without Borders (RSF) mendudukkan Indonesia di rangking Indeks Kebebasan Pers Dunia ke 130 dari 180 negara. Indonesia dianggap semakin jauh dari kualifikasi negeri yang mendukung kebebasan pers. RSF juga mengecam pelarangan dan pembatasan akses, pendeportasian bahkan pemenjaraan jurnalis asing di Papua.
“Indonesia dijadwalkan menjadi tuan rumah perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei mendatang, namun berkali-kali menolak untuk mengeluarkan visa kepada pers, bahkan jumlah jurnalis yang masuk’ daftar hitam’nya makin meningkat,” demikian ujar Benjamin Ismaïl, kepala RSF Asia-Pasifik.(*)
Posted by: Zely Arine
Copyright ©Tabloid JUBIHubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.