WASHINGTON — Dokumen-dokumen rahasia AS tahun 1960-an yang berhubungan dengan Indonesia beberapa hari lalu dinyatakan terbuka untuk umum dan diposting oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University. Dokumen-dokumen ini mengungkap berbagai informasi baru.
Sebagian besar dokumen itu terkait dengan isu Partai Komunis Indonesia (PKI). Arsip-arsip tersebut menunjukkan lebih jauh bahwa para diplomat di Kedutaan Besar AS di Jakarta menyimpan catatan identitas para pemimpin PKI yang dibunuh, dan para pejabat AS mendukung secara aktif upaya-upaya TNI Angkatan Darat untuk menghancurkan gerakan buruh yang berorientasi kiri di Indonesia.
Namun, ternyata info baru dalam dokumen ini tidak hanya terkait isu PKI. Peristiwa-peristiwa lain yang sampai kini masih menyisakan masalah, yakni isu penentuan nasib sendiri rakyat Papua, juga disinggung dalam dokumen ini.
Ada 39 dokumen yang diturunkan pada 17 Oktober lalu, berasal dari sebuah kumpulan hampir 30.000 halaman arsip catatan harian Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia, dari 1964 hingga 1968. Berbeda dengan pendapat umum bahwa integrasi Papua ke Indonesia berjalan relatif mulus tanpa perlawanan yang berarti, di salah satu dokumen ini terungkap hal sebaliknya. Menurut dokumen ini, aspirasi merdeka rakyat Papua sudah menggema dan dinyatakan secara terbuka jauh sebelum dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Pemberontakan terhadap RI secara terbuka kala itu juga sudah ditunjukkan dengan beberapa aksi mengganggu keamanan dan rencana deklarasi kemerdekaan oleh tokoh-tokoh masyarakatnya di Australia.
Salah satu komunikasi diplomatik lewat telegram dengan nomor 542 A bertanggal 15 September 1965, menunjukkan hal itu. Dokumen itu merupakan komunikasi Kementerian Luar Negeri AS kepada kedutaan besarnya di Jakarta, yang isinya secara rinci memuat catatan-catatan Kemenlu AS tentang berbagai info penting terkait Papua. Dalam telegram diplomatik itu, disebutkan tentang laporan seorang misionaris yang mengatakan bahwa ada seorang misionaris Belanda lainnya yang bernama Lovestrand, ditahan dan ditawan di Papua. Ia ditahan karena RI mencurigai dia bukan sekadar sebagai misionaris tetapi ikut membantu perjuangan rakyat Papua.
Dalam dokumen itu, dikemukakan bahwa dari diskusi dengan misionaris tersebut, Kementerian Luar Negeri AS mencatat bahwa aspirasi merdeka pada rakyat Papua di Manokwari ketika itu sudah dinyatakan secara terang-terangan. Kemenlu AS mencatat dalam telegram diplomatik bahwa pembicaraan tentang pemberontakan oleh rakyat Papua di Manokwari telah mengemuka pada awal Maret 1965. Pada awal Juni 1965, otoritas Indonesia mencegat sejumlah orang Papua yang berencana pergi ke Australia membawa deklarasi kemerdekaan Papua yang telah ditandatangani oleh tokoh-tokoh Papua di Manokwari. Akibatnya, aparat kepolisian pun menangkap sebagian besar pegawai negeri sipil di daerah itu.
Masih menurut catatan dokumen ini, pada 26 Juli di sebuah bukit di dekat Manokwari, tiga orang tentara yang sedang menaikkan bendera merah putih ditembak dan bendera diturunkan. Atas aksi ini, Indonesia membalas dengan brutal. Para tentara keesokan harinya, menurut dokumen ini, menembaki secara membabi buta siapa pun orang Papua yang mereka lihat. Banyak orang yang tak bersalah kebetulan melintas di jalan, ditembak.
Dalam catatan Tabloid Jubi, peristiwa di atas dikenal sebagai Peristiwa Arfai 1965. Ketika itu seorang pejuang Papua, Permenas Ferry Awom melakukan penyerangan Markas Arfai. Permenas Ferry Awom adalah seorang mantan anggota Batalyon dan ia menyaksikan bagaimana rakyat Papua diperlakukan dengan semena-mena oleh aparat keamanan kala itu.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, dalam siaran persnya yang diterima satuharapan.com (22/10), mengatakan keberadaan dokumen komunikasi politik ini dapat menjadi bukti hukum yang kuat bagi rakyat Papua tentang adanya pelanggaran HAM di Arfay, Manokwari. Bukti ini, menurut dia, dapat digunakan untuk mendesak dilakukannya investigasi berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dokumen ini juga menurut dia, dapat menjadi dasar bagi seruan agar Dewan HAM mengirimkan pelapor khusus di bidang extra judicial killing ke Papua unuk melihat dari dekat pembunuhan-pembunuhan yang diduga telah berlangsung pada saat itu.
Catatan tentang Arsip
Menurut National Security Archive, AS, kumpulan dokumen ini sebelumnya dirahasiakan (classified). Namun setelah diproses oleh National Declassification Center sebagai tanggapan terhadap tumbuhnya minat publik mengetahui lebih jauh tentang dokumen-dokumen AS lainnya berkaitan dengan pembunuhan massal 1965-66 di RI, aktivis HAM dan kebebasan informasi dari AS dan Indonesia, pembuat film, serta sekelompok senator AS yang dipimpin oleh Tom Udall (Demokrat, New Mexico), menyerukan agar arsip-arsip ini di-deklasifikasikan.
Simak ini: Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo Ditolak Masuk Amerika Serikat
Disebutkan, dari 30.000 halaman yang telah diproses oleh NDC, beberapa ratus dokumen masih tetap dirahasiakan, dan dokumen-dokumen tersebut masih sedang menjalani pengkajian ulang sebelum dibuka, menurut jadwal, pada awal tahun 2018.
Meskipun sebagian dokumen dalam kumpulan ini telah dibukakan sebelumnya dan disimpan di NARA atau di Perpustakaan Kepresidenan Lyndon Johnson pada akhir 1990an, baru kali ini ribuan halaman tersedia untuk pertama kali dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun.
Copyright ©Satu Harapan “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com