WOLLONGONG, AUSTRALIA — Duta Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Indonesia pada pertengahan dekade 1990-an, Stephen Hill, belum lama ini meluncurkan buku karyanya berjudul Captives for Freedom, di University of Wollongong, New South Wales, Australia.
Stephen Hill yang merupakan profesor emeritus pada universitas tersebut, lewat buku itu mengisahkan salah satu episode tugasnya yang mencekam selama di Indonesia, yakni menyelamatkan seorang stafnya yang menjadi sandera tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.
Dia berharap melalui buku yang diluncurkan pada 25 Oktober lalu, ia dapat mengungkapkan hal-hal tersembunyi di Indonesia kepada pembaca di Australia. Bagaimana pun, menurut dia, Indonesia adalah salah satu negara tetangga terdekat Australia.
“Banyak orang di Australia tahu hanya sedikit tentang Papua, walaupun pulau itu merupakan tetangga terdekat kami dan kepedulian saya adalah orang-orang harus mulai mampu memahami apa yang terjadi, khususnya tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di perbatasan kita,” kata dia, dikutip dari situs berita Illawarra Mercury.
“Jumlah orang Papua yang terbunuh sangat sulit untuk dikatakan. Perkiraan paling dapat dipercaya mengatakan antara 50.000 hingga 100.000 orang dibunuh oleh militer Indonesia ketika itu,” kata dia.
Ditawan untuk Merdeka
Hill baru enam bulan dalam tugasnya ketika salah seorang stafnya di kantor PBB di Jakarta, bernama Martha Klein, disandera oleh pejuang OPM. Martha disandera bersama dengan partnernya, serta sejumlah orang asing dan orang Indonesia lainnya.
Membuat masalah menjadi rumit, ternyata Martha sedang mengandung. Dan ketika para pejuang OPM mengetahui hal itu, mereka menerimanya sebagai ‘Anugerah dari Tuhan.’ Mereka menganggap bayi itu akan menjadi mesias bagi perjuangan mereka. Lalu mereka membuat rencana menahan Martha sebagai tawanan menunggu hingga sang bayi lahir. Sang bayi akan diberi nama Papuani, dan akan mereka bawa kemana pun mereka pergi, sebagai maskot perjuangan mereka di hutan.
Dalam buku yang diterbitkan oleh University of Papua New Guinea Press ini, Hill mengisahkan bagaimana perjuangannya untuk membebaskan stafnya yang disandera tersebut. “Butuh waktu sekitar lima bulan untuk membebaskan mereka. Wanita dari kantor saya hamil jadi kami sangat prihatin dengan apa yang akan terjadi padanya,” kata Hill.
Hill saat itu merupakan pejabat yang bertanggung jawab atas peran PBB dalam menegosiasikan pelepasan sandera dan mengusahakan datangnya bantuan.
“Saya melaporkan setiap hari ke Dewan Keamanan PBB tentang apa yang terjadi, sehingga saya memiliki laporan kontemporer tentang apa yang kami lakukan saat itu,” kata dia. “Saya ingin pembaca melihat plot (cerita) berkembang…. Saya pikir (plot cerita) itu bekerja cukup bagus,” tambah dia.
Prof Hill bekerja untuk PBB selama 11 tahun sejak pertengahan 1990-an, dan ia meyakini bahwa ada beberapa alasan mengapa pejuang OPM memilih untuk menangkap dua pekerja asing PBB tersebut.
“Tapi alasan utamanya adalah karena mereka ingin menarik perhatian dunia pada permasalahan yang dialami orang Papua yang pada dasarnya karena dijarah, diperkosa dan dibunuh oleh militer Indonesia,” kata dia.
Kendati buku ini berpusat pada narasi tentang pembebasan Martha, pada dasarnya isinya adalah kisah tentang perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Dalam bab terakhir buku ini digambarkan bagaimana gerakan ini kemudian dapat mempersatukan diri di tengah komunitas internasional dan Hill mencoba meramalkan bagaimana masa depan Papua dalam konteks politik Indonesia yang rumit. Menurut dia, Papua masih akan tetap sebagai tawanan bagi kemerdekaan, captives for freedom.
Kritis terhadap Papua
Buku dengan tebal 230 halaman ini bukan buku pertama tentang Papua yang ditulis oleh Prof Hill. Pada tahun 2014, ia menerbitkan buku yang berjudul Merdeka – Hostages, Freedom and Flying Pigs in West Papua. Bila membaca sinopsis buku ini, dapat dikatakan buku ini mengisahkan hal yang sama dengan Captives for Freedom, yakni tentang pembebasan staf PBB yang sedang hamil, yang disandera oleh pejuang OPM.
“Pada akhir 1995, sebagai seorang yang baru ditempatkan sebagai Direktur dan Perwakilan, atau Dutabesar PBB di kantor UNESCO, Jakarta, saya menyetujui misi dan cuti rekreasi staf ekologi saya, Martha Klein. Dia bepergian ke Papua. Jika saya tahu apa yang akan terjadi pada saat itu, saya tidak akan pernah menyetujui misi itu,” demikian ia menulis dalam bukunya yang terbit pada tahun 2014 tersebut.
Menurut ulasan pada situs amazon.com, buku terbitan Perceptric Press Sydney itu ditulis dengan gaya novel dan diyakini tidak semuanya merupakan fakta. Ketimbang sebagai akademisi, Stephen Hill memilih gaya penulis novel dalam buku tersebut.
“Kredensi Stephen Hill luar biasa, tapi dia menulis seperti seorang novelis, bukan akademisi. Cerita pribadi yang luar biasa yang diceritakan menunjukkan integritas dan kekuatan nilai dan budaya masyarakat adat Papua dalam menghadapi ekses global yang terburuk,” demikian ulasan Amazon.
“Martha, tokoh utama narasi, mengatakan: ‘Bagi siapa saja yang ingin mengerti mengapa drama penyanderaan kami diletakkan pada tempat utama, dan situasi politik dan hak asasi manusia saat ini di Papua, buku ini harus dibaca.'”
Stephen Hill sendiri adalah seorang pengamat masalah Papua yang kritis. Dalam sebuah tulisannya di The Conversation, ia dengan terang menggambarkan permasalahan Papua dan pandangannya tentang hal itu. Ia bersimpati pada tekad Jokowi untuk mengatasi masalah Papua. Namun, “Jokowi dikelilingi oleh politisi dan jenderal militer yang agendanya tidak membantu Papua.”
Copyright ©Satu Harapan “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com