Sejumlah wartawan saat menghadiri jumpa pers SKP KAME Merauke – Foto: Frans L Kobun. |
Merauke — Masyarakat pemilik ulayat, semakin terpojok dengan hadirnya investor yang terus membuka lahan untuk melakukan investasi kelapa sawit. Akibatnya, binatang dalam hutan semakin sulit didapatkan. Begitu juga tanaman sagu maupun ikan, berangsur-angsur mulai hilang.
Hal itu disampaikan Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo, saat jumpa pers dengan sejumlah wartawan, Sabtu (9/12/2017).
“Setelah kami melakukan investigasi ke sejumlah tempat, lahan masyarakat masih terus digusur dan hutan ditebang untuk kegiatan investasi kelapa sawit,” ujarnya.
Hak masyarakat adat, lanjut Pastor Amo, bukan sekedar mendapatkan uang tali asih dari perusahaan yang mengambil wilayah adatnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Namun hal yang lebih jauh adalah identitas budaya masyarakat setempat akan punah.
“Saat ini, masyarakat adat dijajah oleh pangan dari luar seperti beras, mie instant, dan ikan kaleng. Sagu, ikan segar, serta binatang hutan semakin sulit didapatkan,” tegasnya.
Belum lagi, katanya, proses pengambilan wilayah adat untuk kebun sawit, dilakukan dengan intrik, penipuan, dan memecah belah anggota marga maupun suku.
Dalam kondisi demikian, jelas Pastor Amo, masyarakat adat sangat terpojok dan tatanan adat diabaikan hanya demi suatu surga perubahan yang dijanjikan.
Hal serupa disampaikan rohaniawan Katolik lain, Pastor Pius Manu. Menurutnya, dengan masuknya investor asing melakukan aktivitas pembukaan areal untuk kelapa sawit, secara tidak langsung telah merusak hutan masyarakat adat yang dijaga dari generasi ke generasi.
Dengan pembukaan hutan, lanjut dia, secara tidak langsung habitat yang ada di dalam, dipastikan akan punah. Karena tak ada tempat lagi untuk mereka bisa hidup secara leluasa. (*)