Foto: Rebecca Henschke — source: YouTube. |
Salah satunya datang dari lembaga swadaya masyarakat internasional yang memperjuangkan kebebasan pers, Reporter Without Borders (RSF). Organisasi yang berkantor pusat di Paris ini mengecam peristiwa itu dan menyerukan agar pemerintah Indonesia mengizinkan wartawan melakukan liputan secara bebas di Papua, yang sampai saat ini — menurut RSF — masih menjadi ‘lubang hitam informasi.’
Menurut investigasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam siaran pers yang dikeluarkan pada hari Sabtu (03/02), tiga pekerja media BBC Indonesia diusir oleh aparat dari Papua, yaitu Dwiki, Affan dan Rebecca Henschke pada 2 dan 3 Februari lalu. Yang disebut terakhir merupakan kepala biro BBC di Jakarta.
Siaran pers AJI mengatakan mereka tak bisa melanjutkan aktivitas jurnalistiknya setelah diperiksa polisi di Agats, Asmat, dan dimintai keterangan petugas imigrasi di Timika, Mimika.
Berdasarkan informasi Bidang Advokasi AJI Indonesia, awalnya tiga jurnalis BBC yang sedang liputan di Asmat itu diperiksa polisi di Agats. Dari pemeriksaan terhadap ketiganya diketahui bahwa mereka diperiksa karena Henschke membuat cuitan di akun twitter pribadinya, berupa teks dan foto, soal bantuan untuk anak yang mengalami gizi buruk di Asmat berupa mie instan, minuman ringan dan biskuit. Informasi resmi dari Kodam Cenderawasih dan Imigrasi menyatakan, cuitan itulah yang menjadi alasan polisi dan imigrasi memeriksa jurnalis BBC itu setelah mendapat laporan dari TNI. Berbagai media mengatakan aparat TNI ‘tersinggung’ oleh cuitan tersebut.
RSF mengecam penahanan tersebut. “Tidak dapat ditolerir bahwa wartawan asing masih dilarang ke Papua,” kata Daniel Bastard, kepala RSF untuk Asia Pasifik, dikutip dari laman resminya.
“Apa yang dilakukan Rebecca Henschke hanyalah mengirim foto yang diambil di lapangan. Keputusan sewenang-wenang oleh militer Indonesia ini memberi kesan bahwa mereka bertindak sebagai negara di dalam negara, terutama berkaitan dengan Papua,” kata Bastard.
“Haruskah kita mengingatkan Presiden Joko Widodo tentang janji beliau untuk membuka daerah tersebut kepada media? Jika beliau ingin mempertahankan kredibilitas minimum, beliau harus memberikan beberapa bukti jelas bahwa dia melakukan ini.”
Belakangan memang terjadi diskusi yang menarik di kalangan media apakah cuitan seorang jurnalis dapat disebut sebagai karya jurnalistik dan dijadikan alasan untuk menghambat seserang melakukan kerja jurnalistiknya. Walaupun di berbagai media global ada kode etik tentang bagaimana seorang wartawan membuat komentar lewat akun medsos yang bisa berpengaruh pada media tempat mereka bekerja, wartawan di Indonesia pada umumnya tidak menganggap komentar di akun Twitter sebagai karya jurnalistik.
Ketua AJI, Abdul Manan, menyatakan cuitan di Twitter, apalagi menggunakan akun pribadi, bukanlah karya jurnalistik dan selayaknya tidak perlu dipersoalkan.
“Cuitan Rebecca itu bukan karya jurnalistik karena ia menulis di Twitter bukan untuk tempatnya bekerja. Ia menulis di akun Twitter pribadinya. Saya tahu ini akan jadi perdebatan sendiri. Tentu saja jika ia menulis di akunnya pun sudah sepantasnya ia menulis hal-hal yang faktual. Kecuali sifatnya opini, ia mengkritik sesuatu. Tetapi ini wilayah yang menjadi urusan Rebecca dan medianya. Kami tidak berusaha membenarkan atau menyalahkan dalam konteks itu, tetapi lebih pada sikap setelah insiden itu,” kata Abdul Manan, dikutip dari VOA Indonesia.
Pengamat media dan sekaligus pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara UMN Ignatius Haryanto membenarkan pernyataan AJI.
“Kalau ada postingan di Twitter, ya balas di Twitter juga aja. Gak usah terlalu sensi. Makin sensi, nanti makin susah memberitakan yang benar dari Papua ini,” kata dia kepada VOA Indonesia.
RSF mengingatkan bahwa sebagai strategi pemulihan perdamaian di Papua, Jokowi mengatakan pada tahun 2015 bahwa dia akan meninjau kembali pembatasan yang dalam praktik-praktik mencegah wartawan mengunjungi Papua. Tapi, lanjut RSF, tiga tahun kemudian, kemampuan media untuk bekerja di sana nampaknya masih sangat bergantung pada persetujuan militer.
Menurut RSF, karena pelanggaran kebebasan media yang serius di dua provinsi paling timur, Papua dan Papua Barat, Indonesia masih berada di peringkat tidak lebih tinggi dari 124 dari 180 negara di Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2017 menurut RSF.
Walaupun TNI mengakui bahwa kicauan Henschke menjadi dasar mereka melaporkannya kepada polisi yang berlanjut pada interogasi, tuduhan terjadi pengusiran terhadap Henschke dibantah.
Kepada VOA Indonesia, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII Cendrawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi mengatakan tidak ada pengusiran terhadap Henschke. Menurutnya, keputusan untuk kembali ke Jakarta dan urung melakukan liputan dibuat sendiri oleh Henschke. hanya saja, ia tidak bisa memberikan jaminan keselamatan dirinya, terutama terhadap anggota TNI yang kemungkinan marah atas kicauan Henschke.
“Saya tidak mengusir BBC. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh polisi, yang bersangkutan tetap diizinkan melanjutkan liputannya tetapi ia tidak menggunakan kesempatan itu, dan itu urusan dia. Tetapi yang jelas ia diberi kesempatan meliput, meskipun prosedur hukum tetap berjalan. Tetapi saya juga ingatkan bahwa saya tidak sanggup menjaga kepala atau isi hati seluruh prajurit yang sedang marah di sana, dan tidak bisa mengawasi satu per satu kepala mereka. Takutnya ada yang emosi dan menyerang Anda, itu kembali ke faktor pertimbangan keselamatan Anda sendiri. Saya bilang begitu. Mungkin kemudian dia berpikir, tidak mau kembali lagi meliput dan memutuskan kembali ke Jakarta. Eh tetapi ia malah membuat opini bahwa “saya dilarang meliput.” Padahal kami tidak melarang. Persoalan cuitan itu adalah sakit hati kami karena difitnah dan kami sudah melaporkannya ke polisi. Kami tidak melarang ia liputan,” kata Muhammad Aidi.
Muhammad Aidi juga membantah bahwa otorita berwenang mempersulit liputan wartawan di Papua dan mengatakan “memang ada prosedur yang harus dipenuhi dan ini harus dihormati. Tetapi begitu semuanya jelas, wartawan bebas meliput.”
Copyright ©Satu Harapan “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com