Dark
Light
Today: July 27, 2024
6 years ago
169 views

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Kondisi generasi penerus bangsa Papua (ist).

Oleh: Ibrahim Peyon)*

Pengantar

Dalam artikel ini saya ingin menulis kembali sejarah perjuangan panjang bangsa Papua yang sudah mencapi usia 58 tahun lebih ini. Usia lebih dari setengah abad ini disebabkan oleh banyak faktor sebagai penghambat atau berpanjang penderitaan bangsa Papua selama ini. Ada beberapa hal perlu dievaluasi atau direfleksi kembali antara lain:

  1. Egoisme dan ambisi para pejuang; 
  2. Primordialisme dan dikotomisasi; 
  3. Partenalisme dan oportunisme; 
  4. Infitrasi dan penyusupan dalam struktur organisasi. 

Karakteristik mentalitas pejuang macam ini yang menghancurkan persatuan dan agenda dalam organisasi perjuangan selama ini dan hal ini pula yang diperpanjang penderitaan rakyat Papua selama ini.

Dalam artikel ini digambarkan secara ringkas fase-fase perjuangan dan kegagalan yang telah dialami selama ini. Berbasis dari itu United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) dibentuk sebagai jawaban dari itu dan bersatu dalam satu organisasi yang representasi. Karena itu, badan politik ini diakui secara luas oleh rakyat Papua dan dunia internasional. Maka itu kita wajib melindungi dan memperkuat organisasi ini sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua.

Tetapi empat bulan terakhir ini dimunculkan potensi perpecahan lembaga representatif ini karena struktur mentalitas tersebut dan mencoba untuk dikembalikan ke titik nol atau mengulangi sejarah tersebut. Karena itu, dalam tulisan ini akan digambarkan penghambat, perpecahan, strategi dan aktor-aktor yang terlibat dalam keterpecahan dan kegagalan itu. Di harapkan hal ini menjadi refleksi dan evaluasi para aktivis, pejuang dan diplomat untuk memenangkan perjuangan ini.

Mesianik dan Nasionalisme

Mesianik atau kargo kult adalah suatu gerakan keyakinan terhadap keselamatan, tokoh pembebas, gerakan revitalisasi identitas, gerakan untuk masa kebebasan, kebahagian dan kelimpahan. Gerakan ini ada di mana-mana di Melanesia, asia dan Amerika. Gerakan mesionik muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh dan pendudukan asing, misalnya misionarisasi dan melawan pendudukan asing.

Sedang nasionalisme ialah gerakan kesadaran terhadap kebangsaan, identitas, revitalisasi, kesediaan  pada kebangsaan dari penindasan, pendudukan dan kolonialisme. Jadi, mesianik dan nasionalisme adalah revitalisasi dan kesadaran kebangsaan dan identitas diri untuk melawan pendudukan dan pengaruh budaya asing. Mesianik sebenarnya adalah basis yang melahirkan suatu nasionalime kebangsaan yang dapat diperjuangan dalam bentuk gerakan politik untuk memerdekakan dari pendudukan dan kolonialisme.

Di Papua gerakan ini sudah muncul sejak pendudukan Belanda, di mana para misionaris, antropolog dan pemerintah kolonial Belanda dikategorikan sebagai gerakan mesionik. Gerakan-gerakan itu sebenarnya adalah melawan pengaruh sivilisasi dan pendudukan mereka. Mereka merasa malu diakui sebagai perlawanan politik dan nasionalisme kebangsaan maka secara sadar diklasifikasi sebagai gerakan mesionik.

Banyak bukti tertulis menyatakan, gerakan-gerekan ini lebih mengarah kepada gerakan nasionalisme. Mereka melawan pendudukan asing dan menginginkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan secara politik. Para Misionaris dan pemerintah sudah tahu bahwa gerakan itu adalah embrio gerakan nasionalime, karena itu para tokoh-tokoh ini dipenjarahkan dan dihukum mati.

Berdasarkan catatan sejarah, misionaris dan antropologi, kesadaran ideologi nasionalsime Papua dimulai pada tahun 1835, di mana orang Papua menghancurkan benteng Fort du Bus di teluk Triton. Gerakan mesianik pertama yang melawan intervensi asing dimulai sekitar tahun 1855 di pulau Biak-Numfor. Esensinya konoor dalam gerakan ini akan membebaskan rakyat Biak-Numfor dari penindasan dan penjajahan Sultan Tidore, dan mereka tidak perlu lagi membayar upeti. Gerakan perlawanan ini terus berlanjut di mana-mana misalnya di Pulau Yapen tahun 1925, di Raja Ampat tahun 1931, di pulau Waigeo tahun 1932, di pulau Batatan tahun 1934, di pulau Bam tahun 1936, gerakan Pamai Jagadewa di Ormu dan Simson Solmena di tanah merah sekitar tahun 1940, gerakan koreri tahun 1938-1943. di Teluk Arguni tahun 1935, gerakan Jawme di Mamberamo tahun 1955. Pada tahun 1950 gerakan di Muyu, gerakan Marindi di pulau Kolepom tahun 1959, perlawanan di Asmat serta perlawanan Pakage Wagee di Paniai yang dipimpin Zakeus Pakage pada tahun 1954 sampai 1956, dan gerakan nabelal-habelal di daerah Lani tahun 1960, dan masih banyak lagi.

Gerakan-rerakan ini adalah embrio yang melahirkan kesadaran nasionalisme untuk menentang kekuasaan asing dan mewujudkan kemerdekaan bangsa Papua. Hanya gerakan-gerakan nasionalisme itu belum diorganisir dalam suatu gerakan secara nasional. Oleh karena itu periode-periode ini disebut awal kebangkitan nasionalisme Papua.

Dilihat dari itu sejarah perjuangan ini lebih jauh dan mendasar tentang bertumbuhan nasionalisme kemerdekaan Papua. Tetapi, Dr. Bernarda Meteray (2012) dalam disertasinya mengatakan, Nasionalisme ganda orang Papua yang dikonstruksi pemerintah Belanda dan Indonesia di Papua di akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an. Menurut saya teori ini tidak mendasar dan tidak realistis. Nasionalisme Papua lahir dari kesadaran bangsa Papua untuk melawan pendudukan dan pengaruh asing melalui kehadiran agama kristen, islam, perbudakan, perdagangan, pengaruh orang Maluku dan Indonesia lain jauh sebelumnya.

(Baca ini: Orang-Orang Eropa Pada Masa Lampau di Papua (Abad 15-18)

Pemerintah Belanda hanya menanggapi keinginan orang Papua itu untuk diwujudkannya, selain dari tekanan psikologi mereka karena kekalahan mereka dari kemerdekaan Indonesia. Sedang nasionalisme Indonesia di Papua merupakan konstruksi dari orang asing yang dipaksakan, bukan nasionalisme yang tumbuh dari dasar kesadaran. Bernarda Meteray juga tidak menunjukkan kepada kita struktur mentalitas dari nasionalisme ganda secara mendasar, karena suatu nasionalisme lahir dan berkembang dari mentalitas manusia, nilai-nilai dan pola-pola budaya sebagai basis utama atau struktur dasarnya. Suatu nasionalisme tidak dibangun dari luar, tidak dipaksakan, tidak berakar dari struktur dasar dan budayanya. Itu disebut nasionalisme palsu yang tidak berakar dan tumbuh di tanah yang gersang.

Oleh karena itu, teori Bernarda Meteray mengenai nasionalisme ganda orang Papua bisa dipertebatkan atau bisa dibantah. Dalam pandangan saya nasionalisme Indoensia akan gugur dengan sendirinya dan tidak akan bertahan lama, karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalsime palsu yang dipaksakan kepada orang Papua.

Parlemen Papua dan Partai Politik

Pada 1944 Resident J.P. Van Eechoud mendirikan sebuah sekolah polisi dan pamong praja di Hollandia dan mendidik 400 elit politisi asli Papua, dan di sekolah-sekolah ini ditanamkan ideologi nasionalisme Papua. Mereka ini kemudian menentang penjajah Belanda dan Indonesia di Papua Barat. Oleh karena itu, Van Eechoud dijuluki Vader der Papoea’s, bapak orang Papua.

Selain pendidikan, dalam periode ini juga disiapkan rencana pembentukan negara Federasi Melanesia, di mana pulau New Guinea yang dikuasi Belanda (West Papua) maupun bagian timur yang dikuasai Australia (PNG) dengan daerah-daerah kepulauan lain di sekitar digabungkan menjadi satu dan dibentuk sebuah negara dengan nama negara Federasi Melanesia. Pihak Belanda dan Australia setuju dan mendukung gagasan itu. Tiap tahun dibahas rencana itu dalam konferensi-konferensi South Pasific Council (SPC) yang kini berubah nama menjadi Pacific Islands Forum (PIF), di mana orang-orang Papua Barat sendiri juga dengan kuat berjuang ide pembentukan negara Federasi Melansesia di forum ini, baik pihak Markus Kasiepo maupun Nicolas Jouwe.

Lepas dari Federasi Melanesia, para politisi terdidik ini melihat Papua didirikan negara sendiri di luar Federasi. Dengan tujuan itu, mereka menyadari bahwa pembentukan suatu negara modern melalui mekanisme yang sistematis dan persiapan yang matang, meletakan dasar dan lembang negara serta alat perlengkapan negara. Dalam misi itu kelompok terdidik Papua dibentuk oleh pemerintah Belanda mempersiapkan dewan tingkat pusat, kota dan daerah di Papua Barat. Dalam suatu pertemuan dengan dua puluh orang Papua seperti Marcus Kasiepo, Nicolas Youwe, Osok, Herman Womsiwor, Set Rumkorem, Eliaser Bonay dan Petrus Wetterbossy. Dalam pertemuan ini dibahas pembentukan parlemen Nasional, parlemen kota dan parlemen daerah.

Dalam rapat ini secara tegas mereka mengatakan bahwa hak suara aktif maupun pasif yang menjadi warga negara Papua Barat adalah terbatas pada orang-orang pribumi sendiri dan orang lain sudah lama tinggal dan diakui secara adat. Ketika ditanya tentang orang Belanda, Cina dan Indonesia yang tinggal di Papua, bila merdeka para migran itu akan tetap tinggal atau tidak? Maka secara tegas mereka mengatakan bahwa untuk mereka (migran) tidak ada tempat tersendiri di negara Papua. Mereka lebih baik mencari masa depan mereka di tempat lain dan nasionalisme Papua ditentukan oleh keaslian orang Papua.

Di mana Parlemen daerah mulai dibentuk pada 24 Juni 1959 di Biak dengan nama Parlemen Kankain Kankara (tua-tua adat). Kemudian dilanjutkan di daerah Japen-Waropen, Pedalaman Holandia dengan nama Parlement Dafansoro (dari nama Gunung Dafansolo/Cyclop), Fakfak, Raja Ampat, dan Merauke. Parlemen Merauke dan Muyu dengan nama Parlemen Marind Anum Ha, orang yang benar. Pembentukan Parlemen di semua daerah berjalan lancar dan angka partisipasi mencapai 80% kecuali di Japen. Orang Japen menentang pembentukan Parlemen ini, karena mereka mendukung Silas Papare dan rencana aneksasi Papua oleh Indonesia.

Pemilihan parlemen nasional dibentuk 24 daerah pemilihan atau distrik dengan masing-masing 12 sampai 15 ribu pemilih. Dalam proses pemilihan khusus di kota Holandia (Jayapura) dan Manokwari dipilih secara langsung dan daerah-daerah yang belum terbuka, di mana penduduk belum mengerti proses demokrasi dipilih perwakilan dan mereka yang memilih anggota parlemen nasional. Jumlah anggota parlemen ditetapkan menjadi 29 kursi, termasuk ketua.

Pemilihan parlemen nasional dimulai akhir Desember 1960 dan para anggota parlemen nasional adalah: Nicolas Jouwe (Holandia), M.Suwai (Nimboran), Dorcas Tokoro-Hanasbey (Holandia), M. Kasiepo dan B. Mofu (kepulauan Biak-Numfor), M.B. Ramanday dan E. J. Bonay (Japen Waropen), P. Torey (Ransiki), A. Arfan (Raja Ampat), A.E. Onim (Teminabuan), D. Deda (Ajamaru), N. Tangahma (Fakfak), A.K. Gebze (Merauke), dan M. Ahmad (Kaimana), Maturbong seorang dari Kei-Maluku wakil minoritas dan H. Womsiwor, Karel Gobay (wakil dari daerah Mee). Selain itu, empat orang Belanda yaitu Olaf de Rijke (Holandia) dan A.R. Zeeland (Fakfak-Manokwari), Kamma dan Peter C. Van den Berg yang mewakili daerah pegunungan tengah.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan Parlemen Nasional mencapai 70 sampai 85%, sedang di daerah pedalaman yang belum berkembang khusus di pegunungan tengah ditunjuk wakil-wakilnya sama dengan pemilihan parlemen daerah. Tetapi sistem petunjukan wakil ini dipersoalkan oleh orang-orang Serui pro Indonesia. Beberapa tokoh Islam yang kalah suara seperti Haji Ibrahim, raja Rumbati dan orang-orang Maluku juga merontak untuk diangkat menjadi anggota Parlemen, tetapi hal itu tidak mungkin. Mereka ini kemudian menjadi pro Indonesia. Parlemen ini dilantik tanggal 5 April 1961 dengan nama Nieuw Guinea Raad, Parlemen New Guinea di Holandia (Jayapura).

Dalam upacara pembukaan dan pelantikan Parlemen New Guinea ini dihadiri wakil-wakil dari beberapa negara secara resmi, yaitu wakil-wakil Pemerintah Inggris, Prancis, Australia, Gubernur Papua Ausralia (PNG), sedang pemerintah Amerika membatalkan rencana untuk hadir. Karena Amerika sedang berunding dengan Indonesia untuk mengambil isi gunung emas di Tembagapura. Bot dalam pidato pelantikan ini, meminta waktu kepada Parlemen satu tahun untuk memberikan nasihat tentang cara bagaimana hak menentukan nasib sendiri penduduk asli Papua dapat dilaksanakan. Dengan demikian pada hari pertama pelantikan Parlemen sudah diakui secara resmi oleh Belanda, Australia, Inggris dan Prancis mengenai kelahiran negara Papua Barat.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Sidang Parlemen Nasional West Papua (PNWP) Nieuw Guinea Raad Tahun 2016.

Pembentukan Parlemen ini mendorong dibentuk partai-partai politik sebagai kelengkapan negara yang akan dibentuk itu. Nicolas Jouwe, Marcus Kasiepo dan Johan Ariks bentuk Partai Gerakan Persatuan New Guinea tetapi partai ini amplas setelah tahun 1950. Herman Wajoy dan Amos Indey mendirikan Partai Nasional (Parna), dan tahun 1950 Wajoy sendiri berorientasi ke Indonesia. Di mana dia dianggap sebagai hubungan alami dan dia ingin bergabung dalam sebuah partai Indonesia yaitu, Partai Kemerdekaan Indonesia, karena itu dia dihukum enam bulan penjara di Holandia. Anggota partai ini ialah orang-orang dari Biak dan Serui yang dianggap lebih maju. Di Manokwari dibentuk cabang Parna tetapi ada perbedaan yang tajam antara orang pesisir dan pegunungan Arfak yang dianggap masih terbelakang. Raja Rumbati, Haji Ibrahim mendirikan partai Islam dengan nama Partai King.

Pada 13 September 1960 didirikan Partai Orang New Guinea (Pong) oleh Ariks, dan para pengikutnya adalah penduduk dari pesisir di daerah itu. Satu minggu kemudian Mandatjan dan Gosewich mendirikan satu partai politik sendiri, Einheidspartij Nieuw-Guinea (Epang), berart partai kemerdekaan New Guinea. Partai ini dibentuk karena kekuatiran orang pegunungan Arfak bahwa orang-orang pesisir lebih maju dan terbuka maka mereka bisa mengarahkan segalannya untuk pro Indonesia. Di Manokwari dibentuk satu partai yang lain, Partai Serikat Pemuda Pemudi Papua (Parsepp). Di Enarotali yang baru dibuka dibentuk Partai Kena U Embay (KUE), partai ini masih kuat di daerah ini karena hanya satu partai politik. Dalam tahun yang sama dibentuk Partai politik di Sorong, yaitu: Partai Persatuan Kristen Islam Raja Ampat (Perchrira), dan Partai Sama-Sama Manusia (PSM).

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Sidang Parlemen Nasional West Papua (PNWP) Nieuw Guinea Raad Tahun 2016.

Semua partai-partai politik ini didirikan oleh orang-orang Papua sendiri kecuali partai Epang, di mana Goseich seorang Indo-Belanda yang terlibat. Dengan demikian Partai-partai politik dan Parlemen sudah dilengkapi dengan unsur-unsur pembentukan dan penyelanggaraan suatu negara merdeka dan berdaulat secara politik.

Pembentukan Negara Papua Barat

Setelah pemilihan Parlemen dan pembentukan partai-partai politik dipersiapkan perangkat negara lain untuk dilakukan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat. Perangkat-perangkat negara itu adalah lambang-lambang dan jati diri negara dan bangsa Papua, dan untuk mempersiapkan ini diperlukan suatu panitia khusus. Dalam panitia ini diajukan lambang-lambang negara dan jati diri bangsa itu, disetujui dan ditetapkan secara bersama. Dengan tujuan itu dibentuk Komite Nasional Papua, di mana dalam komite ini pun ditetapkan hari dan tanggal manifesto kemerdekaan dan mengibarkan bendera nasional.

Pada tahun 1961 Nicolas Jouwe sudah menyiapkan satu rencangan untuk sebuah bendera baru. Bendera terdiri atas satu segi empat, di latar depannya satu segi tiga merah, di mana terpancang gambar sampari, bintang kejora, yang mengambarkan lambang harapan. Di atas segi tiga merah terdapat tujuh lajur horizontal biru, yang menunjukkan enam residensi dan daerah ekplorasi pegunungan tengah. Ketika Jouwe di Belanda, dia diskusi rencangan bendera itu dengan Kirihiyo. Kirihiyo sedikit keberatan dari segi estetikanya, maka diusulkan segi tiga merah diubah menjadi segi empat. Maka telah menjadi bentuknya seperti yang kita lihat Bendera Bintang Fajar /Bintang Kejora sekarang ini.

Setelah kembali dari Belanda, Jouwe, Kirihiyo, bersama Tangahma dan Torey dilakukan suatu pertemuan pada malam 19 Oktober 1961 di Holandia dengan sejumlah tokoh terkemuka dari seluruh Papua. Kelompok terdiri atas 72 orang, diantaranya anggota-anggota Parlemen, wakil-wakil partai politik dan tokok-tokoh suku penting lain. Berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan ini dibentuk Komite Nasional Papua (KNP) yang terdiri dari 17 orang, di mana Wilem Inuri ditunjuk sebagai ketua. Anggota dalam komte ini antara lain, Jouwe, Kaisiepo, Bonay, Tangahma, Torey, Mori Huzendi, Rumainum dan Wellem Songgonau. Di mana komite ini telah dihidupkan kembali pada tanggal 19 November 2008 dengan penambahan kata barat di bagian akhir kalimat, maka menjadi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menjadi media rakyat Papua saat ini.
Rapat pertama Komite Nasional Papua dilakukan pada tanggal 21 Oktober, dan dalam rapat ini diputuskan lambang-lambang yang akan menjadi simbol dan jati diri negara dan bangsa Papua Barat. Di mana mereka menetapkan bendera, nama, lagu dan simbol negara. Bendera ada tiga rancangan tetapi rencangan Jouwe mendapat perioritas dan ditetapkan sebagai bendera nasional yaitu Bintang Kejora. Sebagai perisai lambang dipilih burung Mambruk, lagu kebangsaan ditetapkan Hai tanahku Papua yang diciptakan oleh pendeta Isac Samuel Kijne pada tahun 1923 di Mansinam. Nama negara ditetapkan Negara Papua Barat yang didiami orang Papua maka ditetapkan bangsa Papua. Semboyan disepakati Keanekaragaman Dalam Kesatuan, setelah itu ditanda tangani satu manifesto untuk kemerdekaan Papua. Pertemuan diakhiri dengan menyanyikan lagu kebangsaan baru, Hai Tanahku Papua.

Dengan demikian secara ringkas sebagai berikut:

  1. Nama negara: West Papua atau Papua Barat; 
  2. Nama bangsa: Bangsa Papua; 
  3. Nama bendera: Bintang Kejora; 
  4. Lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua
  5. Lambang negara: burung Mambruk
  6. Semboyan negara: keanekaragaman dalam kesatuan / One Peple One Soul.

Keputusan komite itu kemudian diambil alih oleh Parlemen Nasional untuk ditetapkan sebagai jati diri dan lambang-lambang negara dan bangsa Papua. Rencangan itu kemudian dibawa ke Parlemen dan pemerintah Belanda untuk disetujui. Pada tanggal 2 November 1961 Luns berpidato di PBB untuk rancangan pembentukan Negara Papua Barat itu, di mana Belanda mengusulkan mengirim satu misi PBB ke Papua Barat.

Pada tanggal 18 November dilakukan sidang luar biasa Parlemen Papua Barat yang menetapkan peraturan mengenai Bendera dan lagu kebangsaan di Holandia. Dalam sidang ini juga ditetapkan tanggal dan hari pengibaran Bendera Nasional Papua bertampingan dengan bendera Belanda. Di mana pengibaran Bendera berlangsung pada tanggal 1 Desember 1961 di kota Holandia, dan di semua ibukota Onderafdeling di seluruh tanah Papua, sebagai hari manifesto kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Baca juga berikut ini: 

  1. Data Fakta Sejarah Papua Barat
  2. Kronologi Papua 1960 -1969: Ketika Hak-hak Politik Bangsa Papua Diberangus

Pengibarang Bendera dilakukan secara tertib dalam suatu upacara resmi, di mana 200 orang laki-laki dari Papua Vrijwilligers Korps yang dipilih untuk mengibarkan bendera nasional bangsa Papua di setiap kota. Bendera Belanda dan bendera Bintang Kejora dikibarkan secara bersama di dua tiang yang sama tinggi dan ditanam bertampingan. Maka secara resmi negara Papua Barat berdiri pada tanggal 1 Desember 1961 sebagai suatu entitas negara yang berdaulat penuh di atas deritori West Papua. Dalam upacara hari kemerdekiaan ini pun dinyanyikan lagu kebangsaan Hai tanahku Papua dan digunakan secara resmi semua lambang-lambang dan perangkat negara sebagai suatu negara bangsa. Di mana tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua sampai sekarang.

Hal yang kurang mendapatkan perhatian dalam upacara 1 Desember 1961 adalah tidak membacakan teks proklamsi sebagai suatu pengumuman atau penegaskan pembentukan negara baru itu. Hal itu kemudian dilengkapi pada tahun 1971 di Victoria, di daerah perbatasan dengan negara Papua New Guinea. Tetapi, proklamasi tidak selalu menjadi syarat mutlat di awal pembentukan sebuah negara baru, hal itu bisa dilakukan kapan saja setelah menciptakan suatu memendum dari proses perjuangan. Sebelum atau setelah mendapat dukungan dan pengakuan secara internasional, karena proklamasi adalah sebuah pengumuman eksistensi negara baru itu.

Pro Indonesia atau Penghianatan?

Ambisi Indonesia menggagalkan negara baru itu dan aneksasi Papua Barat dilakukan dengan berbagai cara. Selain konfrontasi dengan Belanda, Indonesia meningkatkan diplomasi internasional baik dengan blok barat maupun blok timur. Di mana blok barat yang dimotori Amerika Serikat dan block timur dmotori Uni Soviet, di mana mereka sedang terlibat dalam perang dingin.

Sukarno memanfaatkan situasi ini, di mana partai komunis Indonesia menjadi partai terbesar di Parlemen dan Sukarno membangung hubungan harmonis dengan komunis Uni Soviet untuk mendatangkan peralatan militer Invasi West Papua. Hal ini menjadi ancaman serius eksitensi dan kepentingan barat dan Amerika Serikat, karena komunis Uni Soviet dapat menanamkan pengaruh di Asia Pasifik. Karena itu, Indonesia dan Amerika bertemu untuk dilakukan perjanjian di atas sebuah kapal milik Amerika. Dalam kapal itu dilakukan perjanjian, di mana Amerika Serikat akan mengambil dan menguasai gandungan gunung emas di Papua, dan Indonesia mengambil alih Papua. Di mana gandungan emas itu kini diekploitasi oleh PT. Freeport Indonesia di Tembagapura. Perjanjian dilakukan tahun 1967, sebelum dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dan Papua belum diintegrasikan. Inilah dianggap sebagai akar masalah yang dimainkan Indonesia dan Amerika untuk merebut kekayaan alam Papua.

(Baca ini: Penyelenggaraan PEPERA Tahun 1969 di Papua dan Keputusannya)

Setelah Amerika dan Indonesia melakukan perjanjian untuk merampas tanah Papua dan kekayaan alamnya, maka Amerika Serikat membatalkan rencananya untuk hadir dalam deklarasi Parlemen New Guinea di Holandia. Setelah usia negara Papua 19 hari sejak 1 Desember 1961, Sukarno keluarkan maklumat pada tanggal 19 Desember 1961 di Jog-Jakarta untuk invasi Negara Papua Barat yang baru merdeka itu, di mana maklumat invasi militer untuk aneksasi Papua Barat ini disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Dalam Maklumat Invansi ini menginstruksi tiga perintah:

  1. Kibarkan bendera merah putih di seluruh Papua; 
  2. Bubarkan Negara Papua Barat; 
  3. dan lakukan Mobilisasi Umum.
ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Saat Sukarno keluarkan maklumat.

Selain kebijakan-kebijakan umum itu, Indonesia juga mengirimkan 2.000 orang infitrasi di berbagai daerah di Papua, dan 450 infitran dari itu ditangkap. Mereka ini menyusup masuk di berbagai organisasi, individu dan kelompok-kelompok migran di tanah Papua dan mempengaruhi orang-orang Papua untuk mendukung aneksasi. Wakil-wakil migran yang duduk di Parlemen seperti Maturbong, migran Cina, guru-guru dari Maluku dan Indonesia yang lain.

Salah satu yang sangat berhasil adalah Sam Ratulangi dari Manado yang dibuang ke Serui, di mana ia merekrut Silas Papare dan didokrin ideologi Indonesia raya. Silas Papare kemudian menjadi tokoh central pro Indonesia di Serui dan dibentuk partai politik warna Indonesia di sini. Para migran dan infitrasi Indonesia itu direkrut Frans Kaisiepo dari Biak menjadi tokoh central pro Indonesia. Marthen Indey yang sebelumnya sekolah di Ambon juga didokrin ideologi Indonesia raya, Mathen Indey dan B.T.J. Jufuary adalah anggota Parlemen Daerah Dapansoro kemudian menjadi tokoh central pro Indonesia di daerah Jayapura. Dalam pidato pembukaan Parlemen Daerah, Marthen Indey tidak bicara sedikit pun bagaimana kerja sama dengan Belanda untuk mewujudkan negara Papua yang baru dibentuk itu. Dia justru bicara pengiriman siswa Papua ke Jepang dan kerja sama Indonesia.

Pada bulan Juni 1960 Indonesia merekrut Rumaseeuw dan didokrin ideologi Indonesia Raya dan ketika itu dia tinggal di Indonesia. Kemudian dia kampanya aktif di Papua untuk mendukung aneksasi Papua ke Indonesia. Rumaseeuw mengirim surat kepada Wajoi, di mana Wajoi dan Partai Nasionalnya sibuk mengusulkan agenda perundingan segi tiga antara Belanda, Indonesia dan Papua. Rumaseeuw dalam suratnya mengatakan, Belanda menjuarakan kepada orang Papua suatu kesadaran jadi diri palsu, sedang kebenaran yang tak tegoyahkan adalah orang Papua sama seperti orang Ambon, Sumatra, jawa dan menjadi bagian dari Indonesia Raya. Rumaseeuw melakukan suatu pertemuan pada 1 Juli dan orang-orang dalam pertemuan itu berhasil diindokrinasi dengan gagasan Indonesia Raya. Womsiwor dan Marthe Indey mencari kontak dengan Silas Papare di Indonesia.

Di Belanda Hasan seorang wartawan antara dihubungkan dua mahasiswa Papua Kirihio dan Saul Hindom dengan duta besar Indonesia Drs. Marjaid di Bonn, atase militernya Panjaitan dan Hasan sendiri. Bonay juga kemudian bergabung dengan kelompok ini, di mana mereka melakukan pertemuan pada tanggal 9 September di Antwerpen. Dalam pertemuan ini mereka diindokrinasi dengan kekuatan militer Indonesia dan berjanji akan diberikan Otonomi Luas kepada Papua dalam ikatan Negara Indonesia. Di mana mereka direncanakan untuk bertemu dengan Silas Papare yang menjadi tokoh pro Indonesia waktu itu. Mereka semua yang menjadi penghianat ini adalah para anggota Parlemen New Guinea dan Komite Nasional Papua yang terlibat langsung dalam persiapan pembentukan negara Papua Barat. Jadi, suatu penghianatan itu terjadi dalam struktur inti parlemen dan Komite Nasional, karena mereka diindokrinasi dengan janji-janji palsu oleh para migran dan infitran atau penyusup Indonesia tersebut.

Sebagai hadiah perjuangan mereka membantu aneksasi Papua, mereka diangkat sebagai pahlawan Nasional Indonesia khususnya Silas Papare, Marthen Indey dan Frans Kaisiepo. Mengabadikan perjuangan mereka, gambar Frans Kaisiepo dimunculkan dalam pecahan uang rupiah, di mana gambar ini dipicu dengan reaksi yang berbeda. Salah seorang Indonesia dalam alamat facebooknya identikan gambar ini dengan gambar seekor kera yang memicu reaksi keras dari pihak orang Papua. Jasa baik mereka itu dibalas dengan direndahkan martabat dengan pandangan rasisme, di mana seorang pahlawan Papua untuk Indonesia disamakan dengan kera, seekor binatang. Hal ini melukiskan sebaik apa pun orang Papua lakukan untuk Indonesia tidak ada tempat yang baik untuk orang Papua di Indonesia. Posisi apa pun orang Papua di Indonesia, Indonesa melihat orang Papua tetap sebagai sub-kelompok manusia lebih rendah dan disamakan dengan binatang atau hewan.

Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Selain dilakukan pemilihan Parlemen Papua, partai politik dan lambang-lambang negara ditetapkan, satu perangkat negara paling penting adalah pertahanan dan keamanan nasional. Karena itu, pada tahun 1960 dibentuk sebuah Batalyon Sukarelawan Papua yang diberi nama “Papua Vrijwilligers Korps” berkedudukan di Arfai Manokwari. Batalyon sukarelawan ini diharapkan akan menjadi tentara nasional setelah Papua mencapai kemerdekaan. Di mana saat ini dikenal dengan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang ditransformasi dalam beberapa faksi militer.

Batalyon ini pun terlibat langsung dalam berbagai kegiatan di sekitar tahun 1960 sampai 1963 termasuk dalam upacara deklarasi kemerdekaan 1 Desember 1961 di Manokwari. Setelah Indonesia invasi untuk aneksasi Papua, Batalyon ini menjadi satu kekuatan utama yang melakukan perlawanan yang dimulai di Manokwari dan menyebar di seluruh tanah Papua. Setelah invansi Indonesia, perjuangan pertama dimulai oleh Aser Demotekay, seorang mantan kepala distrik Demta di wilayah Tanah Merah. Pemberontakan ini disebut “Gerakan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”.

(Baca ini: Sejarah OPM – Organisasi Papua Merdeka)

Pada tahun 1964 di Manokwari bangkit suatu gerakan politik baru disebut “Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Belakangan organisasi perjuangan bangsa Papua itu disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi ini dipimpin oleh Terianus Aronggear dan panglima Perang adalah Permennas Ferry Awom. Organisasi Papua Merdeka adalah organisasi politik, dan sayap militer Papua Vrijwilligers Korps dihidupkan kembali, di mana Ferry Awom sebagai panglima operasi. Serangan pertama pada tanggal 26 Juli 1965 yang dipimpin oleh Johannis Djambuani seorang anggota bekas kepolisian. Pada tanggal 28 Juli 1965, serangan pajar dilancarkan di asrama Jonif 641 Cenderawasih di Arfai, Manokwari, dipimpin panglima Ferry Awom sendiri. Serangan berikutnya terhadap pos Jonif 641 Cenderawasih di Warmare dan beberapa pos lain di daerah Manokwari.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Pasukan Papua Vrijwilligers Korps.

Perjuangan OPM mendapat dukungan dengan membentuk beberapa organisasi politik yang bergerak dibawah tanah seperti Ikut Papua Anti Republik Indonesia (IPARI), Ikut Republik Papua Anti Republik Indonesia (IRPARI) dan Bintang Timur (SAMPARI). Organisasi-organisasi ini bergerak dibawah tanah untuk memberi pencerahan mengenai perjuangan kemerdekaan Papua. Pada tahun 1966 Perjuangan OPM dibawah pimpinan panglima Ferry Awom mendapat dukungan dari anggota polisi dan ABRI orang Papua, beberapa kepala Distrik dan anggota DPRD di Sausapor, Teminabuan dan Ayamaru. Pada tahun 1967 Ferry Awom mendapat dukungan dari Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan dengan kekuatan 14.000 orang suku Arfak. Pada tanggal 21 Januari 1968 serang pos Makbon, tanggal 2 Februari 1968 serang pos PUTERPRA dipimpin oleh Daniel Wanma. Pada tanggal 2 Februari 1968 diserang pos Sausapor dengan kekuatan 200 orang dibawah pimpinan Julianus Wanma dan David Brawar.

Pada tahun 1965 serangan dilakukan di Biak dipimpin oleh Awom persaudara yaitu Melkianus Awom dan Nataniel Awom. Pada tahun 1968 Jan Pieter Karma dan pasukanya menyerang pos-pos militer Indonesia di Biak Utara. Dalam bulan Februari hingga Agustus 1969 perang besar-besaran di Paniai. Perang ini didukung oleh para Donowi seperti Otto Dogopia, Dumapi Motte, Karel Madai, serta seluruh anggota polisi pribumi seperti Senen Motte, Mapia Motte, Cosmos Pigay, Thomas Douw, mantan KPS Tigi Wamafma dan kepala Dandis Enarotali H. Mabrisau dan wakil ketua DPRD Paniai David Pegey. Gerakan ini berkat peranan Karel Gobay dan Zakeus Pakage, dua elit terdidik Papua dari Paniai. Karel Gobay kemudian menjadi Bupati Paniai dan selama masa jabatannya berhasil menanamkan ideologi nasionalisme kemerdekaan Papua Barat mulai dari Paniai hingga Jayawijaya. Pada tanggal 21 Juli 1969 terjadi serangan di Piramid, Lembah Balim.

(Baca ini: Sejarah Perjuangan Papua Merdeka)

Serangan-serangan sayap milter dari Organisasi Papua Merdeka dalam periode ini bersamaan dengan gelombang demonstrasi dan protes Invansi Indonesia dan proses rekayasa PEPERA di seluruh kota-kota di Papua. Ortis Zonz dan UNTEA tidak berdaya untuk mengatur invansi dan ambisi-ambisi Indonesia. Pasukan keamanan PBB dari negara-negara Asia menjadi tumbul dan melayani keinginan Indonesia. Pengawas gencatan senjata PBB adalah Jenderal Indar. J. Rikhiye, seorang India dan pasukan perdamaian PBB 1.500 orang dari Pakistan. Pasukan ini diberi nama United Nations Security Force. Pasukan perdamaian ini gagal menghentikan serangan militer Indonesia, dan mereka melayani ambisi Indonesia aneksasi Papua Barat, karena sentimen dengan penjajahan negara-negara barat di Asia dan sentimen kesamaan ras.

Dengan demikian Organisasi Papua Merdeka dipimpin oleh Terianus Aronggear dan sayap militer dipimpin oleh Ferry Awom yang dibentuk tahun 1964 di Manokwari. Sayap militer merupakan tranformasi dari Papua Vrijwilligers Korps, tentara sukarelawan Papua Barat yang dibentuk tahun 1960.

Deklarasi Victoria

Dari berbagai proses itu mengantarkan para pemimpin Papua mempersiapkan beberapa syarat negara yang belum terpenuhi sebelumnya. Di mana pada masa ini dilengkapi undang-undang dasar negara, teks proklamsi dan susunan pemerintahan secara lengkap. Setelah disiapkan, mereka memproklamasikan negara Papua Barat pada tanggal 1 Juli 1971 di Victoria, dekat kampung Waris di daerah perbatasan. Proklamasi ini dibacakan oleh Brigadir Zeth Jafet Rumkorem dan didampingi tuan Jakob Pray selaku ketua senat, Dorinus Maury menteri kesehatan, dan Philemon Yerisotouw kepala staf Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

Dalam teks proklamasi ini secara tegas mengatakan tekad kemerdekaan dan kedaulatan, ditetapkan batas geografi dari Sorong sampai Merauke. Hat itu sebagaimana termuat dalam naskah proklamsi itu sebagai berikut:

Proklamasi Kepada rakyat Papua sekalian, dari Numbay sampai dengan Merauke dari Sorong sampai Baliem (pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai Pulau Andi: Dengan berkat dan pertolongan Tuhan kami mendapatkan kesempatan hari ini menyampaikan kepada kamu sekalian berdasarkan keinginan luhur bangsa Papua, bahwa bangsa dan tanah Papua hari ini 1 Juli 1971, menjadi satu bangsa dan satu tanah air yang merdeka dan berdaulat penuh. Kirannya Tuhan menyertai kita dan dengan ini dunia menjadi maklum, bahwa keinginan luhur bangsa Papua untuk merdeka atas tanah airnya Papua Barat telah menjadi nyata

Setelah diproklamasikan dilengkapi dengan supra-struktur dan inf-struktur negara sebagai perangkat mutlak suatu negara berdaulat. Di mana pada tanggal 5 February 1971 dilengkapi The Provisional Government of Republik of West Papua. Dengan susunan anggota kabinet, senat, undang-undang dasar, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, lambang negara dengan semboyan “one people one soul”. Di mana seperangkat negara ini yang belum sempat dilengkapi pada tanggal 1 Desember 1961 di Holandia.

Dalam proklamasi ini dipisahkan secara tegas struktur pemerintahan dan struktur pertahanan keamanan. Di mana Organisasi Papua Merdeka sebagai organisasi pemerintahan dalam negeri dan diplomasi internasional untuk mencari dukungan negara lain. Sedang pertahanan dan keamanan adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) sebagai pagar dan pungkung pertahanan.

(Baca ini: Kepalsuan Sejarah Papua dalam NKRI)

Proklamasi ini mendapat dukungan luas dalam masyarakat dan bentuk dukungan itu diwujudkan dengan dibentuk sejumlah organisasi perlawanan di berbagai kota di Papua. Misalnya di Jayapura, Merauke, Serui, Manokwari, Biak dan sorong. Organisasi-organisasi ini berhasil menanamkan ideologi nasionalisme Papua kepada rakyat dan generasi-generasi berikutnya. Tetapi, proklamasi itu tidak bisa dipertahankan dan akhirnya masing-masing mencari jalan sendiri.

Perpecahan dan Mandataris

Negara Papua Barat yang sudah diproklamasikan tanggal 1 Juli 1971 itu tidak dipertahankan dengan baik oleh para pendirinya. Karena mereka terlibat dalam konflik dan terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok dipimpin Zeth Jafet Rumkorem dan kelompok lain dipimpin Yakob Pray. Kedua kelompok ini pun terbagi berdasarkan latar belakang geografis, etniksitas dan hubungan genealogis. Kelompok Zeth Jafet Rumkorem lebih berbasis dari pantai utara dan kepulauan khusus di sekitar Teluk Saireri, dan sekitarnya. Sedang kelompok Yakob Pray berbasis di tanah besar.

Perpecahan ini terjadi karena sentimen-sentimen yang telah disebutkan dibagian awal di atas seperti egoisme, ambisi, primordialisme dan juga infitrasi pihak musuh. Kelompok lain dianggap lebih maju dan lebih memahami, sedang yang lain dinilai belum maju dan tidak memahami proses perjuangan.

Perpecahan ini pun tidak lepas dari infitrasi militer Indonesia dalam organisasi perjuangan. Di mana mereka mendekati orang-orang tertentu dari salah satu kelompok dan suplasi amunisi dan senjata. Bentuk nyata dari infitrasi itu adalah panglima militer Indonesia dan beberapa anggotanya ditangkap dan disandara di daerah perbatasan. Melalui suplai amunisi dan intervensi sangat jelas di sana. Karena infitrasi dan intervensi militer Indonesia ini menciptakan masalah lebih rumut di antara para pejuang dan sesama anak bangsa, dan mereka saling melukai dan membunuh.

Dengan konflik itu diantara mereka dilihat sebagai musuh dan kekuatan mereka terpecah dan dihancurkan, maka konsentrasi tidak terfokus terhadap musuh dan untuk mencapi tujuan kemerdekaan nasional. Dengan peristiwa itu OPM-TPN telah terbagi menjadi dua kelompok. Di mana kelompok Zeth Jafet Rumkorem dibangun basis di Teluk Cenderawasih, Manokwari dan di daerah pantai Timur dibawah komandan almarhum jenderal Richard Joweni. Di mana Jenderal Richard Joweni sebagai mandataris dari Zeth J.Rumkorem.

Sementara kelompok OPM-TPN dari Yakob Pray dibentuk enam Kodap di tanah besar mulai dari daerah perbatasan, dataran central dan selatan Papua. Di mana tuan Yakob Pray memberikan mandat kepada Boni Nibilingame untuk Kodap Agimuka, Obet Tabuni dan Matias Wenda mandataris untuk dataran central, Yulius Goo mandataris untuk Mepago dan Geradus Tommy mandataris untuk wilayah selatan. Setelah Boni Nibilingame meninggal, almarhum Jenderal Kelly Kwalyk adalah mandataris untuk Agimuka, setelah Geradus Tommy ditangkap polisi PNG kemudian mandataris dilanjutkan Jenderal Bernat Mawen, dan juga Yulius Goo meninggal dan almarhum Jenderal Tadius Jogi adalah mandaris untuk Mepago. Semua para mandataris generasi pertama sudah meninggal dan yang tersisa tuan Geradus Tommy dan tuan Matias Wenda, dengan tuan Yacob Pray sendiri. Maka tidak salah tuan Yakob Pray dan Geradus Tomy memberikan dukung kepada tuan Benny Wenda dan ULMWP untuk menjalankan misi Organisasi Papua Merdeka.

Mathias Wenda.

Hal ini dapat dibuktikan bahwa semua kodap dan militer bangsa Papua di seluruh dataran Papua adalah para militer sejati dan secara gigih mempertahankan perjuangan ini. Meskipun perjuangan ini sudah mencapai usia 57 tahun, tetapi mereka masih eksis. Karena itu, menurut pendapat saya tidak ada TPN asli dan palsu seperti yang diwacanakan di media-media sosial terakhir ini. Semua kodap dan tentara nasional bangsa Papua adalah tentara asli dan pejuang sejati untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Papua.

Perpecahan para pejuang Papua dalam dua kelompok itu telah mendapat perhatian oleh pemerintah Vanuatu. Di mana pemerintah Vanuatu berusaha keras untuk mempersatukan kedua kelompok itu agar perjuangan kemerdekaan Papua kembali dilanjutkan. Dengan tujuan itu, pemerintah Vanuatu telah mengundang dan difasilitasi kedua kubu itu bersama-sama ke Vanuatu untuk dilakukan perdamaian. Kedua kelompok kemudian ke Vanuatu dan pada tanggal 1 Juli 1985 dilakukan perdamaian di Port-Vila, Vanuatu. Di mana tuan Zeth Rumkorem dan tuan Yakob Pray menanda tangani Perjanjian Port-Vila yang disaksikan oleh pemerintah Vanuatu. Tetapi, perdamaian itu tidak dapat dipertahankan oleh kedua kubu dan kemudian kembali terpecah lagi maka diperpanjang penderitaan dan penjajahan terhadap bangsa Papua.

Dukungan Internasional dan Perpecahan

Dalam periode-periode ini Indonesia melancarkan berbagai operasi militer dan bumi hangus di seluruh Papua dan sebagai akibatnya gelombong mengungsi meningkat untuk melintasi perbatasan dan masuk ke Papua New Guinea. Mereka ditempati di berbagai cemp pengungsian baik di Selatan, utara dan juga di dataran central.

Para pemimpin OPM-TPN dan anggota mereka setelah konflik tersebut mulai tersebar dan mencari jalan masing-masing. Mereka kemudian ke Belanda, Zwisland, Australia dan Afrika. Di mana negara-negara Afrika yang menolak resolusi atau hasil PEPERA di United Nations tahun 1969 telah menyediakan kedutaan Papua dan fasilitas untuk mendukung kerja-kerja diplomasi para petinggi OPM di luar negeri, misalnya di Dakkar-Senegal pada tahun 1976 sampai 1984 atas berkat dukungan Presiden Senghor dari Sinegal. Di mana tuan Tangahma ditugaskan di sana dan didukung oleh pemerintah untuk diplomasi internasional. Tuan Tangahma adalah ayah dari Leonie Tangahma salah satu pejuang bangsa Papua saat ini dan anggota ULMWP periode lalu. Tetapi, misi ini pun kemudian berakhir dan gagal dengan alasan tertentu. Kemudian para diplomat Papua itu dikirim ke Belanda untuk mencari kehidupan baru di sana.

Di tempat-tempat pengungsian di Papua New Guinea telah ditangkap para pemimpin OPM-TPN atas sokongan pemerintah Indonesia. Mereka kemudian dipenjarakan di sana oleh otoritas setempat. Para pengungsi dan tahanan itu dikunjungi United Nations Security Force (UNSF) yang menangani kemanusian, keamanan dan perdamaian. Lembaga ini dipimpin oleh Adijaja Adibumi, seorang pejabat United Nations dari Gana.

Adibumi kemudian meminta kepada pemerintah Papua New Guinea bahwa para tahanan pejuang Papua itu dikirim ke Gana sebagai diplomat. Pada tanggal 28 Agustus 1986 mereka dikirim ke Gana melalui Bombai, Abigan dan Gana. Mereka tinggal 4 tahun di Gana dan tahun 1990 mereka dikirim ke Belanda dan misi OPM di Gana ditutup oleh pemerintah setempat. Misi ini ditutup karena seorang diplomat OPM dipukul temannya, Alexsander Tekege dan Tekege harus menjalani opnama 3 bulan kemudian mati.

Di Belanda pun perbedaan itu masih tetap terpelihara dan tidak berhasil untuk dipersatukan. Di mana kelompok Kasiepo dan kelompok Jouwe masih tetap berselisih sampai Nicolas Jouwe ke Indonesia dan meninggal di Jakarta. Perselisihan dan persaingan tidak sehat itu sudah dimulai pada tahun 1960 masa pemilihan Parlemen Papua dan terus dipelihara sampai di Belanda. Seterusnya, di Belanda telah dibentuk sejumlah kelompok yang berbasis pada primordialisme dan etniksitas maka kekuatan untuk persatuan telah terbagi dan tidak terkonsetrasi pada satu agenda bersama.

Perselihan-perselisihan ini terjadi karena sentimen, egoisme, dan ambisi berdasarkan dikotomisasi dan pandangan subjektif tersebut. Karakter psikologis ini merupakan dasar perselisihan dan perpecahan dalam perjuangan bangsa Papua selama 56 tahun. Sifat ini harus menjadikan musuh kita bersama untuk mencapai tujuan kita bersama di masa depan.

Arnold Ap dan Mambesak

Di Universitas Cenderawasih dibangun suatu kelompok musik dan lagu-lagu yang dipimpim Arnold C. Ap dan teman-temannya. Arnold C. Ap adalah seorang antropolog dan kepala Korator Museum Unversitas Cenderawasih, di mana saat ini disebut Loko-Budaya Uncen, Nama Mambesak diambil dari istilah Biak yang berarti burung kuning atau cenderawasih. Lagu-lagu dikumpulkan dari berbagai etnik di seluruh tanah Papua dan disesuaikan dengan irama musuk khas mereka.

Kelompok Mambesak dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1978 yang dipimpin langsung oleh Arnold C. Ap, antropolog besar bangsa Papua ini. Para anggota terdiri Marthin Sawaky, Sam Kapisa, Yowel Kafiar, Enos Rumansara, Frans Rumbrawer Eduard Mufu dan lainyan yang waktu itu menjadi mahasiswa. Mambesak dengan visinya untuk dikembangkan kebudayaan Papua yang sedang dilumpuhkan oleh kolonial Indonesia sejak invansi. Di sisi lain, dengan iringan musik dan lagu-lagu ini memberikan hiburan, pencerahan dan motivasi kepada para perjuangan Tentara Pembebasan Nasional/ OPM di hutan dan seluruh masyarakat di tanah Papua. Melalui musik dan lagu-lagu ini dibangkitkan semangat dan Nasionalisme Papua Barat. Karena itu, Mambesak mendapat pengaruh yang luas dalam masyarakat Papua.
Pada setiap minggu sore mereka bermain musik, menyanyi dan dansa diiringi dengan pukulan tifa, ukulele dan quitar di depan Museum. Arnold C. Ap dan kelompoknya berinisiatif untuk disiarkan musik dan lagu-lagu itu melalui program Radio di Jayapura. Untuk tujuan itu, Arnold C. Ap bersama dengan ahli teknik Constans Ruhukail diprogramkan dan disiarkan dalam program khusus. Dalam program ini disiarkan musik, cerita lisan dan tarian khusus dari kebudayaan Papua, akhirnya menjadi terpopuler dan terinspirasi orang-orang di seluruh Papua.

Selain program radio, Arnold Ap dan kelompok Mambesak telah produksi lima volume kaset dan kaset-kaset itu dibeli oleh orang-orang Papua dari berbagai daerah dan disebarkan di seluruh Papua. Penulis sendiri mendengar musik dan lagu-lagu itu sejak masuk sekolah dasar pada tahun 1986 di kampung kecil saya. Di mana seorang guru setelah tamat sekolah guru (SPG) yang kini PGSD Uncen dan kembali bawa kaset-kaset itu. Setiap sore kami berkumpul dan mendengar lagu-lagu ini. Pada hari kegiatan ekstra kurikuler di sekolah guru-guru bawa radio di sekolah dan putar musik-musik ini. Mereka juga menjelaskan kisah Arnold Ap dan Mambesak, perjuangan Papua merdeka, maka secara otomatis terseraf dalam spirit kami tentang nasionalisme Papua.

(Baca ini: Mengenang Kepergian Arnold Clemens AP)

Gerakan kelompok Mambesak ini bagi Indonesia telah menjadi ancaman serius eksistensi kolonialisme mereka di Papua. Karena itu, pemerintah Indonesia merencanakan Arnold dan teman-temannya untuk melumpuhkan kebangkitan kebudayaan itu. Karena budaya adalah spirit untuk membangkitan identitas suatu bangsa dan membangun nasionalisme secara masif. Budaya adalah roh dari suatu bangsa dan melalui budaya manusia membagikan sejarah, menyampaikan pesan dan harapan-harapan masa depan.

Pada bulan Novenber 1983 Arnold C. Ap bersama dua puluh temannya ditangkap oleh militer Indonesia. Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun tetapi secara paksa mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh kolonial. Militer Indonesia kemudian melakukan rencana untuk membunuh Arnold C. Ap dengan cara melarikan diri ke Papua New Guinea. Rencana ini dilakukan oleh komandan militer bersama Kopassandha (kini kopasus). Mereka merencanakan Arnold C. Ap melarikan diri ke pantai Hamadi kemudian dengan perahu ke Papua New Guinea. Tentu rencana kopasus ini dilakukan dengan menggunakan orang-orang Papua tertentu. Pada tanggal 22 April 1984, Arnold C. Ap dan Eduard Mofu dijebak keluar dari penjarah ke pantai Hamadi kemudian mereka di bunuh di sana. Pada tanggal 26 April jazad mereka ditemukan di pantai Holtekam dan dibawah ke rumah sakit militer Aryoko, di Jayapura.

Para informen mengatakan penangkapan Arnold C. Ap dan teman-temannya dilakukan atas laporang oknum orang asli Papua tertentu dalam kelompok Mabesak sendiri. Orang itu termasuk anggota museum dan Mambesak yang kemudian dipasang oleh militer sebagai agen untuk menjerat Arnold C. Ap dan teman-temannya. Demikian juga ketika Arnold C. Ap dan Edy Mofu dijebak melarikan diri dari penjara di Jayapura. Di mana Kopassandha berdayakan orang asli Papua tertentu untuk melakukan hal itu.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

Arnold C. Ap masih di penjara, Corrie Ap-Bukorpioper dengan anak-anak mereka melintasi perbatasan dan ke camp pengungsi di Black Wara, Vanimo di Papua New Guinea. Anak-anak Arnold C. Ap dan Corrie Ap semua masih kecil, Oridek Ap anggota ULMWP saat ini adalah anak tertua, kemudian Mambri, Erisam and Mansorak yang paling kecil.

Pada tanggal 9 February 1984 Corrie Ap mengunjungi Arnold di penjara dan tanggal 10 February mereka tinggalkan Jayapura melintasi perbatasan. Dalam kunjungan itu Corrie penuh dengan emosi dan dalam filingnya Arnold tidak akan aman. Karena itu Corrie mengatakan dia harus selamatkan anak-anak sebagai generasi masa depan, di mana anak-anak itu akan besar suatu saat mereka akan mencari tahu dan menemukan jalan yang ditinggalkan oleh Arnold C. Ap.

Corrie mangatakan, waktu itu saya hamil tiga bulan dan tiga anak yang masih kecil. Saya janji kepada Arnold, kami bisa melarikan diri, seperti dia usulkan. Saya sedih mengambil keputusan ini, untuk tidak mengecewakannya. Setelah pertemuan singkat itu, saya mau ke rumah dan saya meninggalkan Arnold, suami saya sudah di belakang, di dalam sebuah ruang dengan terali besi. Saya di rumah dengan hati yang berat, sebagai seorang istri, ibu dari tiga anak yang masih kecil dan sebagai seorang perempuan. Saya berhenti dan jauhkan dari perasaan dengan masalah emosional itu. Saya harap untuk bertemu lagi dengan Arnold. C. Ap, suami saya dan bapak dari tiga anak saya. Ekspresi-ekspresi tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tidak pernah sama sekali.

Pada 10 February kami meninggalkan pantai dan meninggalkan Jayapura. Kami meninggalkan Arnold C. Ap dibelakang kami. Kami meninggalkan relasi keluarga dibelakang kami dan mengakhiri hubungan dengan anggota-anggota kerabat, keluarga, teman dan kenalan kami. Kami meninggalkan apa saja yang kami miliki, kami kehilangan dengan kesedihan dan perasaan-perasaan yang jauh. Jauh karena semua hal yang kami lakukan tidak mengerti sekarang. Apa yang akan terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Semuanya menjadi gelap untuk saya. Tetapi sedih, mengapa saya mengambil keputusan ini sekarang. Kami mau pergi. Kami sedang berdiri dalam resiko, barangkali sesuatu dapat terjadi dan menghentikan kami. Kami meningalkan dengan sebuah perahu ke Vanimo, di Papua New Guinea.

Di Papua New Guinea mereka tinggal selama enam bulan di camp Black Wara, di Vanimo. Di tempat ini mereka menerima berita bahwa Arnold C. Ap dan Edward Mofu dibunuh oleh Kopasus kemudian jasad mereka dimakamkan di kuburan umum Tanah Hitam, di dekat Abepura. Setelah Arnold C. Ap dibunuh, kemudian lahir anak ke empat di camp pengungsian itu pada tanggal 13 Austus 1984. Di tempat ini kemudian dikunjungi Komisi Tinggi Pengungsi UN dan atas bantuan mereka dikirim ke Belanda. Di mana saat ini mereka tinggal dan melanjutkan perjuangan Arnold C. Ap untuk kemerdakaan dan kedaulatan bansga Papua dari pendudukan bangsa asing.   

Negara Federasi Melanesia Barat

Telah disinggung di awal tulisan ini bahwa pasca perang dunia dua, enam negara sekutu telah disepakati untuk memberikan kemerdekaan di kawasan Pasifik, di mana di Melenesia direncanakan untuk dibentuk Negara Federasi Melanesia. Hal itu disepakati dalam sebuah perjanjian di Cambera Australia, disebut Camberra Agremment. Perjanjian ini ditanda tangani pada tanggal 14 February 1947 dan negara-negara yang menandatangani perjanjian ini adalah Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Selandia Baru. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa wilayah Melanesia, Polinesia dan Mikronesia diberikan kemerdekaan untuk mengantur diri mereka.

Untuk mewujudkan perjanjian itu, Dr. Thomas Wanggai setelah kembali dari studinya di Amerika dan Jepang diproklamasikan Negara Federasi Melanesia Barat di Lapangen sepak Bola Mandala, di Jayapura. Upacara proklamasi kemerdekaan dipimpin secara langsung Dr. Thomas Wanggai dan dihadiri sekitar 100 orang. Lambang-lambang dan jati diri negara Federasi Melenesia Barat yang dideklerasikan di sini berbeda dari lambang-lambang negara pada tanggal 1 Desember 1961 dan 1 Juli 1971 tersebut di atas.

Di mana Bendera nasional negara Federasi Melanesia Barat dengan empat belas salib dan warna hitam, Putih Merah. Bendera ini dikibarkan dan diiringi dengan lagu kebangsaan nasional yang diciptakan oleh Dr. Thomas Wanggai sendiri dan wilayah mencakup seluruh Melanesia Barat. Proklamasi di Lapangan Mandala, pusat kota Jayapura ini merupakan suatu keberanian luar biasa oleh tuan Wanggai dan teman-temannya, di mana resim militer Suharto dikenal dengan tangan besi dan militeristik itu masih berkuasa.

Dr. Thomas Wanggai kemudian ditangkap dan dihukum penjara selama 20 tahun di lembaga pemasyarakatan Jayapura, dan kemudian dipindahkan di Cipinang di Jakarta. Istrinya Teruko Kohara Wanggai yang menjahit bendera tersebut dijatuhi hukum 8 tahun penjara, Dr. Jacob Rumbiak seorang akademisi dari Universitas Cenderawasih yang mengkoordinir kegiatan tersebut juga dijatuhi hukuman 17 tahun penjara. Pendeta Edison Waromi dan tuan Kailele juga dihukum 17 tahun penjara dan termasuk sejumlah aktivis lainnya.

Pada tanggal 13 Maret 1996 Dr. Thomas Wanggai dibunuh dengan cara diracuni di penjara Cipinang Jakarta. Kematian Dr. Thomas Wanggai bersamaan dengan peristiwa penyenderaan Tim Lorenz di bawah pimpin Daniel Yudas Kogoya dan jenderal Kellik Kwalik di Mapenduma tahun 1996. Di mana salah satu tuntutan jenderal Kelly Kwalyk adakah para sandera ditukar dengan dibebaskan Dr. Thomas Wanggai.

Ketika itu penulis masih di Sekolah Menengah Umum (SMU) dan di asrama setiap sore kami duduk di depan televisi untuk mengikuti berita mengenai penyenderaan itu. Berita-berita itu membangkitkan semangat dan spirit kami dan bila berita yang disiarkan adalah pembunuhan anggota TPN atau masyarakat, kami merasa sedih dan menangis. Kadang teman-teman memukul tembok dan kursi-kursi di ruang televisi.

Ketika itu kami mendengar bahwa Dr. Thomas Wanggai mati dan jazadnya akan di bawah ke Papua kami semua merasa berduka. Pada hari pengiriman jenazah kami di sekolah. Para guru di sekolah kami, SMU YPK Diaspora di kota Raja Dalam. Di mana semua siswa dilarang keluar dan kami dikunci dalam ruang kelas. Tetapi spirit kami berontak untuk melihat dan menjembut jenazah sang proklamator tersebut. Akhirnya, kami bonggar jendela ruang kelas itu kemudian keluar dan menuju ke kampus Uncen untuk bergabung dengan mahasiswa yang sudah kumpul di sana. Di lingkaran Abepura kami bagi dua kelompok, satu kelompok ke kampus Uncen dan kelompok lain menuju ke Pasar Abepura dan melakukan aksi di sana.

Satu tahun setelah kematian Dr. Thomas Wanggai adalah krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang mendorong reformasi. Setelah reformasi para tahanan dibebaskan dari penjara kemudian kembali melanjutkan perjuangan di Papua dan di luar negeri. Di mana Dr. Yakob Rumbiak minta suaka politik ke Australia, di mana dia tinggal dan berjuang sekarang. Pada tahun 1995 Herman Wanggai pimpin suaka politik dengan menggunakan perahu melintasi lautan ke Australia. Di mana suatu peristiwa yang mendapat publisitas internasional luas tentang perjuangan bangsa Papua dan diberikan visa permanen bersamaan dengan peristiwa 16 Maret 2006 di kampus Uncen. Suatu demonstrasi yang dipimpim oleh Selpius Bobi, Yefri Pagawak, Kosmos Yual, almarhuma Henni Lanny, Gebze dan teman-temannya. Di mana Selpius Bobi, Kosmus Yual dan beberapa teman lain dihukum di penjara Abepura. Ketika peristiwa ini dipublikasi oleh berbagai media Indonesia dan media internasional, pihak imigrasi Australia memberikan visa permanen kepada para pencari suaka politik yang dipimpin tuan Herman Wanggai tersebut.

Perjuangan organ ini terus berkembang baik di Jayapura, manokwari dan fora internasional. Para pejuang dari negara Federasi Melanesia Barat bersama dengan Dewan Adat Papua sebagai representasi masyarakat adat sampai pada puncak kesepakatan untuk bersatu dan rahabilitasi kemerdekaan yang sudah ada. Di mana kedua organisasi ini mendorong diselenggarakan Kongres Papua III di Lapangen Zakeus Abepura, dan dalam kongres ini proklamasikan Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) pada tahun 2011. Peristiwa ini merupakan puncak dari kesatuan sejumlah organisasi dalam organ ini. Di mana tuan Forkorus Jaboisembut diteguhkan sebagai presiden dan tuan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. Inilah sejarah panjang salah satu organ utama yang menghadirkan ULMWP di Vanuatu.

Setelah dibentuk ULMWP sebagai organisasi politik representatif bangsa Papua kemudian para pemimpin dalam NFRPB pun terpecah menjadi dua kubu, di mana Presiden Forkorus Jaboisebut dan kelompoknya tidak menghendaki masuk dalam ULMWP sebagai anggota. Presiden Jaboisembut dalam beberapa media mengatakan NFRPB adalah sebagai negara maka tetap dipertahankan dalam posisinya dan mereka tidak ingin masuk dalam ULMWP sebagai anggota. Karena ULMWP sebagai organisasi dan bukan negara. Sikap tegas itu ditunjukkan dengan tindakan pemecatan tuan Markus Haluk dari posisinya sebagai sekretaris NFPBB.

Hal macam ini selalu terulang kembali sejak Papua dianeksi dan kita belum belajar dari hal serupa sebelumnya. Karena orang Papua lebih mementingkan ego dan ambisi ketimbang agenda, tujuan dan makna perjuangan itu sendiri.

Presidium Dewan Papua

Tahun 1996 Jenderal Judas Kogoya dan Jenderal Kelly Kwalyk menyendera tim peneliti Lorenz di Mapenduma maka masalah Papua sudah mendapat publisitas luar biasa di media-media Indonesia dan Internasional. Kemudian disusul dengan peristiwa kematian Dr. Thomas Wanggai dan kerusuhan di pasar Abepura. Satu tahun setelah itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan disusul krisis sosial dan politik sangat luar biasa dalam sejarah Indonesia. Hal ini mendesak kebangkitan rakyat Indonesia untuk mobilisasi rakyat dan menduduki di semua kota-kota besar Indonesia. Di mana-mana terjadi kerusuhan, pembakaran dan perampokan, dan mendesak presiden Soharto dan rezimnya dilengserkan.

Kondisi ini juga mendorong Timor-Timor (kini Timor-Leste) melepaskan diri melalui sebuah referendum yang difasilitasi United Nations, di mana Indonesia tidak berdaya untuk dipertahankanya sebagai daerah koloni. Kondisi ini mendorong rakyat Papua bangkit dan menyatakan melepaskan diri kolonialisme Indonesia. Masa rakyat Papua bangkit di seluruh kota-kota di tanah Papua, mereka membentuk berbagai organisasi dan mobilisasi masa, demonstrasi, mimbar bebas dipusatkan di Universitas Cenderawasih, dan sebagainya.

Pada tahun 1998 mahasiswa di Jayapura melakukan beberapa pertemuan di sekitar Abepura dan Waena dan dalam pertemuan-pertemuan itu direncanakan untuk melakukan mobilisasi masa dan menduduki kantor Dewan Provinsi di Jayapura. Malam sebelum demonstrasi itu pertemuan terakhir dimatangkan di Asrama Sorong di Abepura, di mana dalam pertemuan ini didaftarkan para pelajar dan mahasiswa yang akan mengibarkan bendera Bintang Kejara di depan kantor Dewan Provinsi. Dalam daftar itu sekitar 100 orang lebih mengatakan siap mengibarkan bendera dan bersedia mati untuk itu. Mereka mengatakan tiga orang pertama mengibarkan bendera dan bila mereka ditembak mati maka ganti tiga berikut dan seterusnya sampai bendera berkibar di puncak tiang. Suatu dokrinasi yang menurut saya sesat dan tidak tepat saat itu.

Pada hari kedua mobilisasi masa dari kampus Uncen ke Jayapura dan dipusatkan di depan kantor Dewan. Bendera Bintang Kejora disita oleh polisi dan kami dilarang masuk di halaman kantor Dewan Provinsi. Akhirnya masa kumpul di taman Imbi dan sore hari semua masa rakyat dari arah Dok lima, angkasa, Hamadi dan Polimak datang dan kota Jayapura menjadi lautan manusia. Sekitar jam 12 malam masa dibubarkan oleh militer Indonesia dan kami harus berjalan kaki ke Kampus Uncen dan di gedung gereja harapan Abepura. Tempat di mana kami dilayani makanan dan minuman. Setelah makan kami kembali menduduki kota Jayapura dan di sana kami dibubarkan, beberapa teman lain ditembak dan salah satu mati. Kemudian kami kembali ke kampus dan semua kegiatan dipusatkan di kampus dalam beberapa hari. Aksi ini merupakan pertama kali dan segera menyebar di seluruh tanah Papua.

Demikian juga para mahasiswa di luar Papua melakukan hal yang sama untuk menuntut kemerdekaan Papua dan melahirkan berbagai organisasi perjuangan di kota-kota studi. Pada masa ini pemimpin organisasi dan masa diorganisir oleh teman-teman dari wilayah pesisir dan kepala burung. Mahasiswa koteka tidak banyak tampil sebagai pemimpin organisasi. Satu-satunya pemimpin mahasiswa dari dataran central saat itu adalah tuan Markus Haluk sebagai ketua senat STFT Fajar Timur. Di mana mahasiswa Koteka ditempatkan hanya sebagai partisipan masa aksi dalam berbagai demonstrasi. Kondisi ini mendorong dibentuk Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah se Indonesia (AMPTI) yang dimotori tuan Markus Haluk dan kawan-kawannya. Kemudian disusul Aliansi Mahasiswa Papua yang juga dibentuk oleh kelompok terdidik dari dataran central Papua. Melalui kedua organisasi ini melahirkan pemimpin-pemimpin muda asal dataran central yang kini tersebar dalam birokrasi dan politik Indonesia dan juga di fora perjuangan Papua merdeka.

Gerakan mahasiswa dan rakyat itu kemudian diakomodir dalam dua organisasi di tanah Papua. Pertama, masyarakat adat membentuk suatu lembaga representasi disebut Dewan Adat Papua (DAP), di mana Tom Beonal dipilih sebagai ketua dan Forkorus Jaboisembut sebagai wakilnya. Kedua, para tokoh politik dan Cendekiawan membentuk Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI), sebagai representasi politik. Kedua lembaga ini yang lebih menonjol untuk mengakomotir berbagai gerakan tersebut. Di mana FORERI saat itu dipimpin oleh Drs. Willy Mandowen, seorang akademisi dari Universitas Cenderawasih. Tetapi, FORERI terkesan berjuang dalam dua kaki, di satu sisi berbicara tentang perjuangan Papua merdeka, sedang di sisi lain mempunyai misi untuk memperjuangkan otonomi khusus. Oleh karena itu, TPN dari pimpinan Jenderal Matias Wenda dan satgas Koteka telah datang dan memalang kantor FORERI di Kota-Raja luar sebagai protes atas misi otonomi khusus tersebut.

Melalui lembaga forum rekonsiliasi ini kemudian diseleksi tokoh-tokoh Papua 100 orang yang disebut tim 100. Tim ini diorganisir oleh forum rekonsiliasi ini dengan tokoh-tokoh Papua seperti Wily Mandowen, Tom Beonal, Theys Hiyo Eluay, Fredy Numberi, gubernur saat itu, Agus Alua dan tuan Oktovianus Mote intelektual muda dan sebagainya. Tim ini kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan misi khusus dan bertemu presiden J.B. Habibie di istana negara. Kemudian mereka menyampaikan keinginan rakyat Papua untuk keluar dari Indonesia dan membentuk negara sendiri secara politik. Jawaban atas sikap politik itu, presiden Habibie mengatakan “pulang dan renungkan“. Satu-satunya orang yang tidak ikut ke Jakarta bertemu Habibie adalah Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dia mengatakan, saya hanya berjuang untuk Papua Merdeka dan bukan otonomi luas atau otonomi khusus. Dia sudah melihat misi ganda oleh orang-orang tertentu dalam struktur forum rekonsiliasi ini maka dia mengambil sikap politiknya. Karena dia tidak ingin terlibat dalam politik abu-abu dari individu tertentu.

Setelah kembali mereka mobilisasi rakyat dan melakukan musyawarah besar (MUBES) pada tanggal 23-27 Februari 2000 di Hotel Sentani Indah, di Sentani. Dalam MUBES ini diikuti 400 peserta dari utusan 14 Kabupaten dan Kota di seluruh Papua, dan untuk pertama kalinya dalam MUBES ini dihadiri utusan dari warga Papua New Guinea, perempuan, tapol/napol, satgas dan Tentara Pembebasan Nasional Papua. Dalam MUBES ini Theys H. Eluay dan Tom Beonal terpilih sebagai pemimpin besar bangsa Papua bersama dengan 18 orang anggota inti dan sejumlah komponen perjuangan diwakili dua orang. Mubes ini menghasilkan suatu komunike yang intinya menekankan menuntut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua secara damai.

Konsep awalnya disarankan bahwa sayap militer mendapat posisi dalam struktur inti. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan dan pembahasan yang hangat Tentara Pembebasan Nasional (TPN) dan Satgas Papua tidak terwakili dalam organisasi ini. Sesuai dengan keputusan hasil MUBES tersebut PDP ditugaskan untuk mengurus tiga agenda pokok yaitu: Pertama, menindaklajuti keputusan-keputusan MUBES; Kedua, menyiapkan sejumlah masalah penting yang belum dibahas secara tuntas; Ketiga, menyiapkan pelaksanaan Kongres Papua II pada bulan Mei 2000.

Pada tanggal 29 Mei sampai 4 Juni tahun 2000 dilaksakan Kongres Papua II di gedung Olahraga Cenderawasih di Jayapura. Kongres Papua II merupakan suatu babak baru dalam perjuangan Papua merdeka, di mana ribuan orang Papua datang dan secara terbuka menyampaikan keinginan untuk kemerdekaan Papua, dalam suatu forum resmi di pusat kota Provinsi. Di mana dalam Kongres ini dihadiri 25.000 peserta yang terdiri dari berbagai delegasi dari seluruh tanah Papua, delegasi perantauan di Indonesia dan delegasi dari luar negeri. Dihadiri pula pejabat, pimpinan militer dan kepolisian Indonesia di Papua.

Dalam kongres ini memutuskan dasar-dasar perjuangan Papua dan ke mana orientasi perjuangan ke depan yang meliputi pelurusan sejarah dan proses kemerdekaan Papua dilakukan secara damai, bermartabat dan dialogis. Melalui kongres ini perjuangan Papua secara sporatis dan gerilya di hutan menjadikan basis perjuangan dalam kota dengan mobilisasi masa rakyat.

Dalam kongres Papua II ini telah melahirkan Presidium Dewan Papua (PDP) secara lengkap sebagai lembaga politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai dan dialogis. Di tingkat kabupaten dibentuk Panel Papua. Di mana Theys H. Eluay terpilih menjadi ketua dan Tom Beonal menjadi wakilnya. Toha Alhamid terpilih sebagai sekretaris Jenderal dan dilengkapi sejumlah anggota. Panel di tingkat Kabupaten terpilih seorang ketua, sekretaris dan anggota. Selain itu, Presidium Dewan Papua dilengkapi dengan para duta besar di luar negeri dengan misi khusus melobi negara-negara untuk mendapat dukungan internasional.

(Baca ini: Melawan Lupa: Penculikan dan Pembunuhan Terhadap Theys Eluay, 11 November 2001)

Kongres ini menghasilkan suatu resolusi politik dengan enam butir dan lima mandat agenda politik kepada Presidium Dewan Papua untuk memperjuangkan. Keenam butir resolusi itu intinya dapat dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama, gugatan terhadap sejarah yang dianggap cacat hukum dan moral; Kedua, pengajuan pelaku kejahatan kemanusian ke pengadilan internasional untuk dituntaskan; Ketiga, tuntutan pengakuan kedaulan atas Papua Barat.

Sedangkan kelima mandat yang termuat dalam resolusi kongres itu esensinya terbagi menjadi tiga bagian penting. Pertama, menggalang dunia internasional untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan; Kedua, memperjuangkan ke pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan; Ketiga, membentuk tim independen untuk perundingan internasional.

Kongres Papua II telah selesai tetapi banyak pihak masih meragukan, apakah PDP akan memperjuangkan kemerdekaan atau tidak, karena Tentara Pembebasan Nasional (TPN) tidak dimasukan dalam struktur organisasi. Selain itu, sasaran-sasaran kongres sendiri tidak dijelaskan secara memadai dan terbuka, indivisu-individu yang duduk dalam struktur presidium pun banyak diragukan karena sejarah masa lalu, seperti dijelaskan di atas.

Pada tanggal 30 Desember 2000, Panglima Tertinggi TPN/OPM Jenderal Matias Wenda menyatakan sikap tegas kepada Presidium Dewan Papua. Jenderal Matias Wenda mengeluarkan keputusan untuk mengutuk pihak yang disebut penghianat, menghimbau agar tidak bekerja sama dengan kolonial Indonesia dan Presidium Dewan Papua harus dibubarkan setelah 1 Desember 2000. Hal itu kemudian terbukti para pemimpin dan anggota Presidium tidak mampu memperjuangkan kemerdekaan dan menjadi penghianat untuk mendukung Indonesia. Legitimasi rakyat dan mandat dari OPM-TPN disalah gunakan untuk mendorong Otonomi Khusus Papua.

Strategi dihancurkan Presidium Dewan Papua

Di mana Mubes dan Kongres ini merupakan hasil renungan dari pesan presiden J.B. Habibie, pulang dan renungkan. Tetapi hasil renungan itu kemudian menjadi ancaman serius eksistensi kolonialisme Indonesia di Papua. Karena itu, Indonesia mulai membangun berbagai strategi untuk menghancurkan lembaga politik bangsa Papua itu. Secara garis besar ada dua strategi yang dibangun pemerintah Indonesia. 


Strategi pertama, Tindakan represif dan infitrasi. Dengan strategi ini secara efektif dapat dihancurkan Presidium secara total. Dalam strategi ini diterapkan dengan lima cara, yaitu:

  1. Para pemimpin dan anggota presidium dan panel ditangkap, dihukum dan dipenjarahkan. 
  2. Ketua presidium dan sebagian anggota diculik dan dibunuh dengan berbagai cara. 
  3. Wakil ketua Presidium dan anggota lain diberikan jabatan dan pekerjaan. 
  4. Beberapa anggota Presidium di luar negeri direkrut menjadi tokoh pro merah putih. 
  5. Beberapa pemimpin dan anggota presidium di Papua dan Jakarta direkrut sebagai agen pembusukan dalam struktur presidium. Di mana mereka membangun wacana di media masa tentang perdamaian dan dialog, tetapi di sisi lain mereka dekat dengan para pejabat militer dan pemerintah kekuasaan.

Selain itu, ada dua kelemahan Presidium Dewan Papua dalam struktur sebagai organisasi bergerakan, di mana presidium Dewan Papua tidak mampu melakukan mobilisasi masa di dalam negeri dan dukungan internasional. (1). Presidium sendiri tidak membangun organ-organ taktis di dalam negeri untuk mobilisasi masa secara terstruktur, terorganisir dan terpimpin secara masif. Presidium Dewan Papua telah memutuskan hubungan dengan mahasiswa, para aktivis muda yang terdidik, perempuan, lembaga agama dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN). (2) Presidium Dewan Papua sendiri tidak membangun diplomasi internasional yang kuat dan masif. Presidium tidak membangun jaringan internasional yang baik dengan berbagai pihak dan tidak mempersiapkan diplomat-diplomat yang mampu menggalang dukungan internasional. Tetapi, para diplomat ditunjuk berdasarkan hubungan genealogis dan etniksitas, egoistis dan ambisi kekuasaan.

Dengan itu, di mana presidium Dewan Papua jalan sendiri dan melepaskan diri dari basis masa rakyat dan pertahanan keamanan sebagai tulang pungkung perjuangan ini. Meskipun demikian Presidium telah meletakan dasar mengenai orientasi perjuangan masa depan, di mana perjuangan sporatis dan gerilya di hutan menjadikan perjuangan di dalam kota secara damai dan bermartabat.

Strategi kedua, Politik Otonomi Khusus Papua. Politik Otonomi Khusus Papua ini diperjuangkan oleh pemerintah Provinsi Papua melalui gubernur J.B. Solosa dan Rektor Universitas Cenderawaih Ir. Frans Wospakrik yang didukung oleh para politisi Papua dan pihak akademisi dari Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua di Manokwari (Fakultas Pertanian saat itu). Dalam pandangan mereka Otonomi Khusus Papua adalah win-win solution antara Indonesia dan Papua.

Para tokoh yang terlibat dalam agenda otonomi khusus adalah Barnabas Suebu, Fredy Numberi, Michael Manufandu dan teman-temannya. Sedang tim asistensi dari Universitas Cenderawasih yang memainkan peran penting saat itu adalah Drs. Mosaad, Dr. Lapona, Drs. Willy Mandowen, Dr. Agus Sumule dan banyak teman lain. Penulis masih kuliah waktu itu, dan suatu hari tim asistensi ini melakukan pertemuan di Lembaga Penelitian Uncen, saya diminta untuk ke rumah makan untuk beli makanan dan diberikan uang 300 ribu. Saya beli nasi bungkus sesuai jumlah mereka dan masih ada uang sisa sekitar 20 ribu. Dalam hati saya sangat benci dengan kegiatan kelompok ini yang mendorong Otonomi Khusus Papua. Karena hal itu sangat bertentangan dengan suara hati saya. Ketika saya membawa makanan itu dan mereka memberikan saya uang sisa 20 ribu tadi. Tetapi, saya menolak uang itu dengan halus karena membenci dengan misi mereka itu, di mana dua orang dari mereka adalah dosen-dosen dari jurusan kami.

Satu hal yang selalu terulang kembali dalam sejarah perjuangan Papua ada tiga hal:

  1. Di mana orang-orang Papua yang terlibat dan masuk dalam struktur perjuangan itu balik menjadi pro Indonesia atau menghianati perjuangan mereka sendiri. Hal ini telah terjadi juga dalam periode itu, di mana orang-orang tertentu yang terlibat dalam FORERI, Tim 100, Mubes dan Kongres kemudian hianati lagi itu dan terlibat untuk mendorong Otonomi Khusus Papua. 
  2. Kelompok infitrasi dari pihak pemerintah Indonesia selalu masuk dalam struktur Organisasi dan mengacaukan perjuangan. Mereka bergerak dengan berbagai macam cara dan motif untuk melumpuhkan organ perjuangan itu. 
  3. Kelompok migran secara aktif dan terang-terangan masuk dalam struktur perjuangan dan mendorong agenda mereka. Seperti dalam PEPERA, di mana migran Maluku, Cina, dan Indonesia lain menjadi anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dan memainkan peran sangat besar untuk aneksasi Papua. Hal yang sama juga telah terjadi dalam Presidium dan mendorong Otonomi Khusus seperti nama-nama telah disebutkan di atas. Beberapa oknum yang masuk dalam struktur Presidium Dewan Papua adalah keturunan dari migran yang terlibat dalam pepera tersebut dan setelah Presidium dilumpuhkan mereka ini mendapat jabatan politik di Jakarta dan menikmati fasilitas negara.

Hal ini tidak disadari oleh orang Papua karena mereka percaya pada kelompok migran ini bahwa mereka memperjuangkan kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh orang asli Papua. Kami harap bahwa generasi ini perlu membelajari sejarah secara kritis dan proteksi agenda dan organ-organ perjuangan secara ketat agar tidak mengalami hal yang sama. Bila orang tertentu dinilai menghianati dan keluarkan dari organisasi, dibuka misinya kepada publik agar rakyat yang mengadilinya. Hal itu dinilai tidak beretika tetapi dengan itu agenda perjuangan dan bangsa Papua diselamatkan.

Kelompok-kelompok elit lokal yang mendorong Otonomi Khusus ini salah gunakan legitimasi rakyat dan mandat Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat kepada presidium Dewan Papua. Di mana legitimasi rakyat dan mandat TPN-PB itu dengan tujuan untuk diperjuangkan kemerdekaan Papua. Meskipun rencangan otonomi khusus sudah disusun tetapi rakyat Papua dan ketua Presidium Dewan Papua, Theys H. Eluay secara tegas menolak dan Theys Eluay berjuang hanya untuk kemerdekaan bangsa Papua.

Dalam suatu media Theys H. Eluay mengatakan, dulu saya Saulus tetapi sekarang saya Paulus. Saulus adalah seorang Jahudi yang membunuh Murid-Murid Tuhan Yesus dan ikut menyetujui penjaliban Tuhan Yesus di kayu salib. Tetapi, kemudian dalam perjalanannya ke kota Damsik, Tuhan Yesus menampakan diri kepadanya dan tiba-tiba matanya menjadi buta. Setelah matanya disembuhkan oleh murid Yesus yang lain, dia menjadi pengikut Tuhan Yesus dan menyebarkan agama Kristen dan namanya diganti menjadi Paulus. Theys H. Eluay mengambarkan dirinya dengan sejarah rasul Paulus ini. Di mana dulu Theys H. Eluay adalah tokoh pro Indonesia kemudian dia menjadi pejuang dan tokoh besar kemerdekaan Papua.

Theys H. Eluay telah membuktikan pernyataannya, di mana ia menyerahkan tubuh dan jiwanya untuk perjuangan bangsa Papua. Dia diculik dan dibunuh pada 10 November 2001 oleh Kopasus, dan jazadnya dibuang di Koya Timur, daerah berbatas dengan Papua New Guinea. Setelah Theys H. Eluay dibunuh kemudian Otonomi khusus diterapkan di tanah Papua. Beberapa informan menjelaskan, dia dibunuh karena menolak menyetujui Otonomi Khusus Papua berbeda dengan anggota Presidium lain.

West Papua National Coalition for Liberation

West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) dibentuk untuk mendorong perjuangan setelah Presidium Dewan Papua dilumpuhkan dan mandat OPM-TPN disalah gunakan oleh orang-orang yang pro Jakarta untuk mendorong otonomi khusus Papua. Di mana kelompok pro Jakarta ini oleh Sem Karoba dalam buku-bukunya disebut orang-orang Papua-Indonesia (Papindo). Dalam kondisi para pejuang dari berbagai organ perjuangan berkumpul dan membentuk sebuah representasi atau wadah koalisi yang diberi nama West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

Tokoh-tokoh yang menginisiasi membentuk kualisi ini adalah para pendiri Organisasi Papua Merdeka dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka yang diproklamsikan pada 1 Juli 1971 di Victoria, antara lain Dr. Rex Rumakiek, Dr. Otto Ondowame dan almarhum Jenderal Richard Joweni, sebagai mandataris dari tuan Zeth J. Rumkorem. Kemudian tuan Andy Ajamiseba, pemimpin kelompok musik legendaris Black Brothers dan diplomat senior OPM di Pasifik, tuan Jona Wenda sebagai salah satu pemimpin Dewan Militer Tentara Pembebasan Papua Barat, dan para pejuang HAM dari Elsham Papua, dan lain-lain.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Andy Ayamiseba (kiri) dan Dr. J. Otto Ondawame (kanan).

Koalisi ini kemudian menjadi sebuah organ politik Papua merdeka yang paling penting dalam sejarah kita di kawasan Pasifik untuk memperkuat posisi dan membangun jaringan secara regional dan internasional. Di mana Vanuatu dan negara-negara Melanesia di kawasan ini menjadi basis utama dan hasil yang mereka tanamkan puluhan tahun itu sedang kita saksikan saat ini.

Dukungan Vanuatu ini diawali dari proyek Padaido yang dilansir oleh OPM-Marvic dibawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Zeth J. Rumkorem, sejak Vanuatu mempersiapkan dirinya untuk merdeka diakhir tahun 1970-an dan awal 80-an. Rumkorem membangun jaringan ini setelah dia proklamasikan 1 Jali 1971 di Victoria seperti telah dibahas di atas. Dukungan itu ditandai oleh Father Walter H Lini, Father of Vanuatu Independence dan perdana menteri pertama negara itu, dengan kalimat yang paling terkenal selama ini untuk bangsa Papua dan kanaky, “kemerdekaan Vanuatu belumlah lengkap apabila Papua Barat dan Kanaky (New Caledonia) belum menikmati hal yang sama”.

Kemudian dibangun basis oleh tokoh-tokoh besar bangsa Papua, tuan Andy Ajaimseba dan Dr. Otto Ondowame dan teman-teman. Hal itu kemudian diwujudkan tanda tangan MoU, perdanan Menteri Vanuatu Mr. Barak Sope dan tuan Andy Ajaimiseba, dan dibuka kantor perwakilan Papua di Vanuatu yang dijalankan tuan Andy Ajaimiseba dan Otto Ondowame. Pada bulan September 2004, dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York Mr. Barak Sope berpidato di sidang Majelis Umum PBB. Di mana Dr. Otto Ondowame mewakil bangsa Papua hadir di sana.

Selanjutnya WPNCL selalu dilibatkan dalam delegasi negara Vanuatu dalam berbagai forum regional Melanesia dan Pasifik dan juga di forum internasional. Suatu terobosan yang paling penting dalam sejarah perjuangan bangsa Papua adalah WPNCL mengajukan proposal untuk menjadi anggota dalam forum MSG tahun 2011 di Kanaky, di mana untuk pertama kalinya negara-negara Melanesia mengakui perjuangan dan hak kemerdekaan bangsa Papua.

(Baca ini: Jacob Hendrik Prai: Deklarasi Akhir Mendukung ULMWP sebagai OPM Baru)

Kemudian tahun 2013 dalam pertemuan MSG di Port Moresby, WPNCL kembali mengajukan aplikasi keanggotaan dalam forum tersebut dan kemudian perdana Menteri Peter O Neil mengusulkan kepada WPNCL bahwa aplikasi tidak ditolak tetapi para tokoh Papua untuk kembali bersatu dan membentuk suatu organisasi yang representaif, melibatkan semua organ perjuangan Papua merdeka. Berdasarkan usulan itu, telah melahirkan United Liberation Moverment For West Papua (ULMWP), yang menjadi wadah resmi dan satu-satunya organisasi politik bangsa Papua saat ini.

United Liberation Moverment for West Papua

Melihat perjalanan sejarah perjuangan Papua secara umum dan khusus tiga organ politik perjuangan sudah digambarkan di atas dibutuhan proses panjang, rumit dan banyak pengorbanan. Berdasarkan refleksi dan renungan mendalam maka para pejuang dan pemimpin bangsa Papua bersatu dan mendirikan United Liberation Moverment for West Papua sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua.

Ketiga organ politik, West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Negara Federasi Republik Papua Barat (NRFPB), dan Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP) adalah tiga organ politik besar dan sangat berpengaruh, memiliki basis masa kuat dalam masyarakat Papua. Ketiga organ politik ini dibentuk dari gabungan banyak kelompok dan organisasi perjuangan bangsa Papua.

Mereka juga mempunyai basis militer atau tentara pembebasan nasional Papua barat, di mana West Papua National Coalition for Liberation dan Parlemen Nasional Papua Barat mempunyai akar atau para mandataris dari OPM-TPN yang didirikan pada 1 Juli 1971 di Viktoria. Di mana Jenderal Matias Wenda adalah mandataris dari tuan Jakob Pray dan kemudian ditransformasi menjadi Tentara Revolusi West Papua saat ini. Proses transformasi ini dilakukan untuk mengamankan perjuangan kemerdekaan Papua dari okupasi oleh para Papua-Indonesia, di mana TRWP dibentuk sebagai reaksi penghianatan PDP dilakukan oleh tim perumus Otonomi Khusus dari Universitas Cenderawasih pada tahun 2001 seperti disebutkan di atas.

Sedang almarhum Jenderal Richard Joweni adalah mandataris dari Brigadir Jenderal Zeth J. Rumkorem sendiri. Selain itu, Komite Nasional Papua Barat dibawah kepemimpinan tuan Buctar Tabuni juga telah dipersatukan dan difasilitasi Tentara Pembebasan Nasional Papua dari berbagai Kodap dan menghasilkan KOMNAS TPN-PB dan Jenderal Goliat Tabuni terpilih menjadi panglima Revolusi pada tahun 2012 di Biak. Maka dalam proses penyatuan ini secara langsung atau tidak semua faksi militer kita terlibat dan ikut mendorong memdirikan United Liberation Moverment for West Papua sebagai lembaga representatif dan organisasi politik resmi bangsa Papua saat ini.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Pemimpin West Papua sedang menadatangi Deklarasi Saralana.

Pada akhirnya tiga organ besar ini, (1) Parlemen Nasional West Papua (PNWP), (2) Negara Republik Federasi West Papua (NRFWP) und (3) West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), bersama-sama ke Vanuatu dan membentuk ULMWP pada bulan Desember 2014, di mana deklarasi ini disebut Deklarasi Saralana, di Port-Vila, Vanuatu. Deklarasi Saralana merupakan puncak konsolidasi dalam sejarah perjuangan bangsa Papua selama ini. ULMWP kemudian mendapat dukungan sangat kuat oleh basis masa rakyat bangsa Papua dan dalam waktu singkat menjadi sangat terkenal di seluruh Papua. Sementara itu, basis masa rakyat dan pemerintah di negara-negara Melanesia bangkit, mendukung dan mengakui ULMWP sebagai lembaga politik perjuangan kemerdekaan bangsa Papua. Dukungan dan pengakuan terus berkembang secara regional dan internasional dalam waktu relatif singkat, maka secara tegas United Liberation Moverment for West Papua adalah jawaban penderitaan bangsa Papua selama ini.    

Dukungan dan Pengakuan Internasional

United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) dibentuk, selain bentuk kesatuan orang Papua dari tiga organ politik di atas, lembaga kesatuan bangsa Papua ini pun dibentuk atas dukungan dan dorongan rakyat dan pemerintah negara-negara Melanesia yang dipelopori Vanuatu. Di mana pemerintah Vanuatu di bawah kepemimpinan Mr. Joe Natuman telah memfasilitasi orang Papua ke Port-Vila untuk bersatu dan dibentuk ULMWP sebagai lembaga representasi politik bangsa Papua secara resmi. Organisasi politik representasi ini dideklarasikan pada 6 Desember 2014 yang dikenal dengan Deklarasi Saralana.

Ketika dideklarasikan basis masa rakyat dari negara-negara Melanesia dan Pasifik bangkit dan menyebar cepat untuk menyatakan dukungan kepada ULMWP dan kemerdekaan bangsa Papua. Mereka melakukan long march, demonstrasi, konferensi dan lobi-lobi nasional, regional dan internasional, dukungan basis masa ini diorganisir melalui organisasi-organisasi gereja, LSM, pemuda, perempuan dan media masa.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

Dukungan dengan cepat berkembang dalam struktur pemerintahan dan partai-partai politik baik pihak oposisi maupun partai yang berkuasa. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT-MSG) pada tanggal 18 sampai 26 Juni 2015 di Honiara, Salomon Islands, ULMWP diterima sebagai Observer dalam keanggotaan Melanesian Spearhead Group (MSG). Hal ini merupakan pengakuan resmi terhadap ULMWP dan hak kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua oleh pemerintah dan negara-negara berdaulat yang tergabung dalam lembaga regional ini. Di mana terdiri dari empat negara merdeka, yaitu Vanuatu, Salomon Islands, Papua New Guinea dan Fiji, serta Kanaky sebagai calon negara yang baru dilaksakan referendum kemerdekaan pada tanggal 18 Juni 2018 dalam minggu ini.

Secara struktur MSG adalah organisasi sub regional di bawah Pacific Islands Forum (PIF) yang merupakan organisasi regional dari United Nations. Dalam waktu enam bulan dukungan terhadap ULMWP dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua berkembang luas di kawasan Pasifik. Dalam pertemuan PIF pada tahun 2015 perjuangan bangsa Papua ditetapkan menjadi salah satu agenda utama dalam forum regional ini, dan hal itu berlanjut dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam KTP PIF tahun itu juga dikeluarkan resolusi pengiriman Misi pencari Fakta ke Papua tentang kejahatan kemanusiaan dan proses genosida di Papua. Dalam waktu yang sama negara-negara Pasifik bergabung dan membentuk Pacific Coalitian for West Papua (PCWP) yang terdiri dari 7 negara: Vanuatu, Salomon Islands, Tonga, Nauru, Tuvalu, Kiribati dan Palau. Pembentukan Pacific Coalitian for West Papua ini diinisiasi perdana Menteri Salomon, Hon. Manase Sogavare dan kerja keras para pemimpin ULMWP yang dikomandoi tuan Octovianus Mote. 


Di mana negara-negara yang tergabung dalam Pacific Coalitian for West Papua itu secara bersama-sama membawa masalah Papua ke sidang Umum United Nations dan menyampaikan, peninjauan kembali rekayasa tindakan pilihan bebas tahun 1969, pengiriman misi pencari fakta ke Papua dan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua. Dalam sidang umum United Nations ini pun mereka menyampaikan ULMWP sebagai lembaga representatif bangsa Papua untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Pengakuan terhadap ULMWP dan perjuangan kemerdekaan Papua terus berkembang ke kawasan dunia lain, di mana pada tahun 2017 Wakil Presiden Republik St.Vincent menyatakan dukungan dan pidato secara resmi dalam sidang umum UN bersama dengan lima negara Pasifik lain. Pengakuan dan dukungan terhadap ULMWP dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua itu terus berkembang dengan cepat dan menjadi masalah internasional, di mana 19 sampai 21 Juli 2017 negara-negara anggota Africans, Caribians and Pacific (ACP) bekerja sama dengan Parlemen Uni-Eropa melakukan pertemuan di Vanuatu dan dikeluarkan komunike untuk mendorong resolusi di United Nations.

Maka ULMWP dan masalah perjuangan kemerdekaan Papua sudah diakui oleh negara-negara resmi dan dibahas dalam organisasi-organisasi resmi sub regional, regional dan internasional. Di dalam MSG sendiri ULMWP dan Indonesia sama-sama menjadi anggota organisasi regional ini, di mana Indonesia sebagai anggota asosiasi dan ULMWP anggota observer, maka secara tidak langsung pemerintah Indonesia sudah mengakui posisi ULMWP di MSG sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Pengakuan Indonesia ini terlihat, di mana Indonesia mempertahankan posisinya di MSG, meskipun posisi itu dipertahankan dengan misi utama untuk menghambat ULMWP. Bila Indoensia tidak mengakui ULMWP di MSG maka tentu Indonesia harus meninggalkan keanggotanya di MSG dan keluar dari organisasi regional tersebut. Tetapi faktanya Indonesia tetap menjadi anggota asosiasi MSG maka Indonesia secara tidak langsung sudah mengakui ULMWP dan perjuangan bangsa Papua sebagai entitas negara di masa depan.

Pengakuan ULMWP dan Papua sebagai entitas negara itu secara jelas dapat dilihat dalam KTT-MSG yang dilaksanakan awal tahun 2018 ini, di mana delegasi ULMWP diterima secara resmi dalam protokoler negara. Hal ini merupakan peristiwa bersejarah dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, di mana menerima tamu dalam protokoler negara secara resmi adalah hanya delegasi negara resmi dan para pejabat khusus dari organisasi resmi internasional yang diakui negara. Pemerintah PNG dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Peter O`Neil telah melakukan sejarah baru dan mengakui secara simbolis ULMWP dan bangsa Papua Barat sebagai entitas negara yang berdaulat di masa depan. Pemerintah PNG juga menerima delegasi negara-negara anggota MSG lain termasuk delegasi Indonesia diterima dengan protokoler negara yang sama dan ditempatkan pada posisi yang sederajat. Hal ini secara simbolis menyatakan bahwa bangsa Papua Barat dan Indonesia adalah mempunyai status yang sama yakni dua bangsa dan dua negara, dan mereka akan hidup berdampingan sebagai dua negara berdaulat di masa depan.

ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Ketua MSG Peter O’Neill (kiri) berjabatangan dengan Ketua ULMW Benny Wenda (kanan) dalam KTT MSG di Papua New Guinea 2018.

Dukungan dan pengakuan negara-negara berdaulat dan organisasi-organisasi resmi internasional terhadap ULMWP dan bangsa Papua Barat ini merupakan sejarah baru dalam perjuangan bangsa Papua selama ini. Hal itu terjadi karena bersatuan bangsa Papua dalam United Liberation Moverment for West Papua sebagai lembaga representaif dan organisasi politik resmi bangsa Papua. Hal ini sudah menjadi ancaman serius eksistensi pendudukan dan penjajahan Indonesia di Papua Barat. Karena itu, Indonesia membangun berbagai propaganda, diplomasi dan politik suap dan ekonomi di negara-negara pendukung kemerdekaan bangsa Papua. Indonesia juga intervensi ke negara-negara Pasifik untuk melengserkan pemerintah yang mendukung Papua Merdeka misalnya beberapa kasus di Vanuatu, Salomon Islands dan Tonga. Dengan cara suap pihak oposisi di negara-negara itu. Selain itu, isu yang dibangun adalah ULMWP tidak representatif, organisasi kelompok diaspora orang Papua dan wacana ULMWP dibuburkan.

Wacana Bubarkan ULMWP dan Kehancuran Bangsa Papua

Setelah United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) dibentuk, dukungan dan pengakuan internasional mengalir dengan deras di regional Pasifik dan internasional, pemerintah Indonesia kembangkan tiga wacana atau strategi untuk menghambat dan bubarkan United Liberation Moverment for West Papua.

  1. Pemerintah Indonesia membentuk kelompok Melanesia-Indonesia (Melindo) dan wacana 11 juta pendudukan Melanesia di Indonesia yang diklaim lima provinsi Melindo itu, yakni: dua Provinsi Papua, dua Provinsi Maluku dan Timor. 
  2. Pemerintah Indonesia kembangkan wacana atau strategi bahwa United Liberation Moverment for West Papua adalah selompok orang-orang Papua diaspora dan hanya sekelindir orang. Karena itu mereka tidak pantas untuk menjadi anggota MSG dan harus dibubarkan. 
  3. Pemerintah Indonesia kembangkan wacana atau strategi bahwa United Liberation Moverment for West Papua tidak mempunyai basis masa di dalam negeri dan tidak ada dukungan dari masyarakat Papua.

Tiga wacana atau strategi ini yang dikembangkan pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk menghambat dan membubarkan United Liberation Moverment for West Papua agar perjuangan bangsa Papua dilumpuhkan. Tetapi, kemudian tiga isu tersebut belakangan ini dikembangkan oleh para aktivis, pejuang dan diplomat bangsa Papua sendiri yang kami ikuti di berbagai media sosial setelah United Liberation Moverment for West Papua dipimpin oleh tuan Benny Wenda. Di mana wacana yang berkembang di media sosial adalah:

  1. United Liberation Moverment for West Papua dibubarkan, 
  2. United Liberation Moverment for West Papua tidak mempunyai basis di dalam negeri, dan 
  3. Wacana untuk membentuk atau kembali ke organisasi induk Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Di mana wacana terakhir ini mirip dengan strategi Indonesia membentuk Melindo tadi. Wacana ini menjadi pertanyaan bagi banyak orang khususnya orang asli Papua, karena secara sadar atau tidak sadar para aktivis atau diplomat ini digiring kepada wacana atau strategi pemerintah Indonesia.

Bila orang Papua terus mengembangkan wacana-wacana ini maka yang mendapatkan keuntungan adalah pemerinah Indonesia. Karena misi itulah yang dia kembangkan selama ini untuk memciptakan perpecahan dan kekacauan para aktivis dan organ-organ perjuangan bangsa Papua. Karena itulah target utamanya, peca bela dan kuasai, devire et impera yang perna mereka alamasi sendiri dari Belanda, mantan bangsa kolonialnya. Strategi yang sama diterapkan di tanah Papua selama ini.

Bila ULMWP dibubarkan maka sudah jelas perjuangan bangsa Papua akan kembali ke titik nol, atau mengulangi sejarah yang sudah dijelaskan di atas. Di mana untuk membangun suatu kesatuan bangsa dan organisasi perjuangan dibutuhkan waktu yang lama, 30 sampai 50 tahun lagi. Kita bisa lihat periodesasi sejarah perjuangan bangsa Papua sudah dijelaskan di atas, deklarasi kemerdekaan 1 Desember 1961 butuh waktu 10 tahun untuk lengkapi syarakat yang kurang melalui proklamasi di Viktoria tahun 1971, kemudian terpecah dan masing-maisng cari jalan sendiri. Kemudian dibutuhkan 40 tahun untuk melahirkan MUBES dan Kongres Papua II tahun 2000 dan melahirkan Presidium Dewan Papua (PDP). Setelah Presidium Dewan Papua dibubarkan maka dibutuhkan 15 tahun untuk melahirkan United Liberation Moverment for West Papua pada bulan Desember 2014.

Demikian juga untuk melahirkan figur atau pemimpin perjuangan bangsa tidak mudah dan ini lebih sulit, diperlukan masa yang lebih lama satu atau lebih generasi ke depan. Pada tahun 2000 bangsa Papua memiliki pemimpin yang mampu mempersatukan seluruh bangsa Papua adalah Theys H. Eluay tetapi dia diculik dan dibunuh oleh kopasus di Hamadi, bangsa Papua telah kehilangan pemimpin pemersatu. Kemudian lahir organisasi-organisasi taktis dengan para pemimpin militan dan mempumi seperti almarhum Musa Mako Tabuni, tuan Buctar Tabuni dan teman-temannya. Di tingkat internasional dan juga nasional tuan Benny Wenda lahir sebagai pemimpin yang mempumi, tuan Octovianus Mote dan pemimpin ULMWP lain. Tetapi, Indonesia kembali membunuh tuan Musa Mako Tabuni, Martinus Yuhame, Hubertus Mabel dkk, sedang tuan Buctar Tabuni dimasukan sebagai daftar pencari orang (DPO), dengan demikian berusaha Komite Nasional Papua Barat dilumpuhkan. Tetapi, KNPB tetap eksis dan tampil dengan gagah dan terpimpin oleh para pemimpin muda secara berlapis dan berjiwa militansi dan ideologis.

Pada akhirnya, secara cerdas para pejuang bangsa Papua kembali bersatu dan dibentuk United Liberation Moverment for West Papua. Karena itu, strategi Indonesia sekarang untuk menghancurkan dan mengkriminalisasi United Liberation Moverment for West Papua dan para pemimpinnya.

Bila United Liberation Moverment for West Papua dibubarkan maka dukungan dan pengakuan internasional seperti yang kita semua tahu selama ini dan digambarkan di atas akan menerik semua dukungan maka bangsa Papua kehilangan momentum dan kepercayaan internasional. Karena membangun jaringan internasional tidak mudah dan dibutuhan tokoh-tokoh Papua yang mempunyai kemampuan khusus. Tidak semua diplomat bisa membangun jaringan internasional yang kuat untuk menggalang dukungan dan hanya orang-orang tertentu yang Tuhan pilih dalam misi ini.

Dengan wacana pembubaran ULMWP ini sedang membawa bangsa Papua ke titik nol atau kepada kehancuran karena ULMWP dibubarkan secara otomatis akan gugur keanggotaan dalam MSG sebagai observer, dukungan negara Vanuatu, Salomon, PCWP dan dukungan negara lain akan ditarik semua dan hal itu menjadi gambaran negatif bagi masyarakat internasional untuk memberikan dukungan kepada bangsa Papua di masa depan. Maka bangsa Papua akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan dukungan internasional. Hal inilah yang diinginkan dan didorong oleh pemerintah Indonesia melalui wacana pembubaran ULMWP, tidak didukung basis masa di Papua dan kelompok diaspora.

Setelah ULMWP maka Indonesia secara leluasa menguasai tanah Papua melalui berbagai kebijakan negara. Antara lain:

  1. Kebijakan migrasi secara besar-besaran yang membanjiri tanah Papua saat ini dan di masa depan; 
  2. Kebijakan membangun insfrastruktur pertahanan keamanan, pemekaran insfrastruktur militer dan mobilisasi militer di seluruh tanah Papua; 
  3. Pemekaran provinsi, kabupaten, distrik dan kampung; 
  4. Pembangunan insfrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara untuk mobilisasi migrasi, menguasasi kekayaan alam dan dimobilisasi sumber daya alam itu keluar melalui insfrastruktur itu; 
  5. Menguasai sentra-sentra ekonomi, sumber daya alam dan perdagangan; 
  6. Operasi militer, perang, pembunuhan, peniksaan, penangkapan dan pemenjaraan; 
  7. Penyebaran penyakit yang mematikan semisal HIV/AIDS karena penyakit ini dibawa secara perencana oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1992 di Agas Asmat, di mana empat orang nelayan Thailand sudah terkena penyakit dan sepuluh perempuan pekerja seks dari Jawa dibawa di sana dan penyakit HIV/AIDS itu berkembang dari sana sampai sekarang. Selain itu proses pembiaran kesehatan dan gizi buruk seperti di Korowai, Nduga, dan Asmat terakhir ini. 
  8. Program KB yang merupakan suatu kebijakan pemerintah secara sistematik untuk mempercepatkan kepunahan orang asli Papua, dan masih banyak kebijakan lain.

Kondisi ini dapat mengantarkan bangsa Papua kepada kepunahan dan genocide secara bertahap dan terustruktur. Di mana saat ini jumlah penduduk asli Papua 48% sedang migran sudah menjadi majoritas 52% dan presentase ini bisa dipertabatkan, dan menurut saya presentase penduduk asli Papua jauh lebih rendah dari jumlah tersebut. Karena angkat itu tidak berdasarkan sebuah sensus penduduk rial seperti negara-negara lain, tetapi berdasarkan angka statistik dari dinas kependudukan. Di mana mereka menambah penduduk setiap tahun menurut keinginan dan kepentingan politik mereka, dan seorang informan di dinas statistik dan kependudukan menjelaskan jumlah penduduk tiap tahun ditambah dengan menggunakan rumus tertentu. Ini sangat lucu angka penduduk dihitung pakai rumus dan bukan sensus riel di lapangen.

Baca beberapa postingan terkait Genosida, berikut ini:

  1. Astaga !!! Orang Papua sedang Menjadi Minoritas di Tanah Sendiri
  2. Populasi Orang Asli Papua “Darurat”, Siapa Peduli dan Apa Solusi Terbaik?
  3. Bersama Indonesia, Orang Asli Papua Sedang Manuju KEPUNAHAN

Sebagai contoh, jumlah penduduk rial di Kabupaten Yalimo tidak lebih dari 30 ribu tetapi angka statistik sudah mencapai 80 ribu lebih yang akan ikut pemulu tahun ini. Satu hal paling tidak logis adalah jumlah penduduk Kabupaten Jayawijya, di mana Kabupaten ini telah dimekarkan menjadi sembilan kabupaten baru. Tetapi jumlah penduduk bertambah dan bukan berkurang. Bila dilihat dari luas wilayah kabupaten ini sangat kecil di dalam lembah itu, dari Piramid sampai di Sokokma. Demikian juga di Kabupaten-Kabupaten lain di seluruh tanah Papua. Dari mana angka-angka puluhan/ratusan ribu itu? Angka itu adalah nama-nama fiktif, nama gunung, sungai, burung dan pohon-pohon. Angkat ini ditambah oleh dinas Statistik dan Kependudukan untuk kepentingan politik pemilu dengan tujuan untuk mendongrak suara para calon dewan, kepala daerah dan presiden.

Dalam beberapa penelitian kami di Kabupaten Jayawijya, Yalimo, Yahukimo, Tolikara dan Pegunungan Bintang, kami telah menemukan kasus-kasus ini. Di mana jumlah penduduk di setiap desa atau kampung tidak lebih dari 50 sampai 100 jiwa tetapi angka statistik yang ditemukan 400 sampai 500 penduduk tiap kampung. Ketika ditanya, jawaban yang diperoleh adalah angka itu diambil dari nama-nama orang mati, nama gunung, burung, sungai dan pohon-pohon. Hal itu fenomena umum di seluruh Papua dan ini suata kejahatan negara melalui dinas kependudukan di tanah Papua. Dengan demikian secara nyata jumlah penduduk asli Papua saat ini dibawah dari presentase itu, dan diprediksi 40 sampai 45% orang asli Papua sedang migran sudah mencapai 60% atau lebih, maka kepunahan bangsa Papua sudah di depan mata kita.

Salah satu hal yang menjadi bertebatan dan menjadikan dasar untuk dikembangkan wacana membubarkan ULMWP adalah konstitusi negara antara konstitusi 1971 dan konstitusi demokrasi kesukuaan yang digagas tuan Sem Karoba. Dalam banyak kasus di negara-negara yang baru merdeka suatu konstitusi secara permanan ditetapkan setelah negara itu sudah mencapai kemerdekaan. Di mana parlemen negara itu dibentuk dan ditetapkan dalam sidang paripurna, sedang konstitusi yang ditetapkan dalam perjuangan masih bersifat sementara dan belum final. Dia dilengkapi sebagai syarat dalam mendirikan suatu negara bangsa.

Di negara-negara yang sudah maju dan berkembang juga dapat melahirkan konstitusi baru bila kondisi sosial politik tertentu mendorong hal itu. Kasus Revolusi Prancis, Jerman dan banyak negara lain sudah menjadi contoh yang jelas dalam konteks ini. Di mana khusus kasus Jerman, konstitusi negara yang baru dikonstruksi pada tahun 1990 setelah Jerman Barat dan Timur bersatu kembali. Melalui peristiwa itu, konstitusi lama produk dari tahun 1952 digugurkan dan diganti dengan konstitusi baru sesuai dengan perkembangan politik negara itu. Konstitusi 1952 itu lahir untuk menggantikan konstitusi lama di bawa kekuasaan Adolf Hitler, maka sudah ada bergantikan beberapa kali. Lagu nasional Jerman diciptakan dan ditetapkan pada tahun 1952 setelah perang dunia dua dan semua perangkat negara yang lama digugurkan.

Di Indonesia sendiri kita saksikan selama ini banyak konstitusi negara sudah diamandeman atau dilakukan perubahan setelah reformasi Indonesia tahun 1998 lalu. Maka tidak ada yang konstitusi yang statis dan permanen. Maka para aktivis dan pejuang Papua tidak perlu menjadikan dasar argumentasi untuk hal itu dan menjadikan alasan untuk mengembangkan wacana membubarkan ULMWP. Maka alasan yang dipersoalkan mengenai konstitusi yang diadopsi oleh ULMWP bisa dibertebatkan dan tidak menjadi alasan yang kuat.

Hal lain yang diwacanakan para aktivis dan pejuang kita terakhir ini adalah mengenai ideologi politik tentang Sosialisme, Kapitalisme dan Demokrasi Kesukuan. Mengenai ideologi politik tidak ada yang salah dan tidak melarang, setiap orang bisa mengembangkan suatu ideologi tertentu yang dianggap mampu membangun kemakmuran dan kedamaian manusia di negara yang sudah didirikan itu. Ideologi politik itu bisa ditetapkan dalam suatu negara yang sudah merdeka dan berdaulat secara politik, di mana ideologi politik itu didorong ke dalam insfrastruktur negara yang disebut partai politik dan diproduksi menjadi suprastruktur negara disebut konstitusi. Di sana tempat untuk mendorong ideologi politik tersebut. Dalam masa perjuangan suatu bangsa untuk memperoleh kemerdekaan memang sangat penting melahirkan aktivis-aktivis militan yang berideologis tetapi ideologis untuk mencapai suatu kemerdekaan dan kedaulatan. Maka dalam perjuangan bangsa Papua kebutuhan yang mendesak saat ini adalah ideologi kemerdekaan nasional atau ideologi Papua merdeka.

Dalam proses perjuangan kita harus mempunyai strategi dan perhitungan yang tepat untuk memperoleh dukungan internasional. Secara presentase negara-negara yang menganut ideologis Sosialis sekarang ini tidak signifikan suara mereka di United Nations dan sampai saat ini pun masalah Papua belum mendapat perhatian dari negara-negara Sosialis ini. Pada satu sisi ideologi Sosialis dihubungkan dengan ideologi komunis dan keduanya berasal dari Karl Marx dan Engel temannya. Sosialisme secara teoritis adalah sebuah ideologis yang menurut Marx betul dan definitif.

Sedang komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis sejak revolusi Oktobert 1917 dibawah pimpinan Wladimir Ilyic Ulyanow, alias Lenin di Uni Soviet, kemudian menjadi kekuatan politis dan ideologi internasional. Ideologi komunisme itu dikonstruksi dan diterapkan oleh Lenin ketika ia berkuasa di Uni Soviet dan berkembang ke Cina, Korea Utara, Kuba dan negara-negara Amerika Lantin lain. Meskipun secara teoritis berbeda tetapi secara ideologis memiliki kesamaan dan jaringan khusus. Di mana Marxisme-Leninisme disebut juga sosialisme-komunisme” itu dibakukan oleh Lenin sebagai suatu ideologi politik. Sosialisme-Komunisme menjadi salah satu komponen dalam ideologi dan menjadikan gerakan revolusioner dan sistem kekuasaan totaliter di seluruh dunia. Tetapi negara-negara komunis seperti Cina mempunyai dua ideologis, secara politik menganut ideologis komunis tetapi secara ekonomi menganut ideologi kapitalis.

Di Indonesia Ideologi sosialsime-komunisme itu dikembangkan dalam Partai Komunis Indoinesia (PKI) tahun 1950 sampai 1960-an yang dibubarkan oleh milter Indonesia dengan suatu genocide besar-besaran. Sejak itu sosialisme-Komunisme dilarang di Indonesia dan para pihak yang ingin mengembangkan paham ini dihukum. Dalam masa perjuangan Timor-Timur (kini Timor-Leste), mereka konstruksi ideologis sosial demokratis yang kini muncul dalam bentuk negara bangsa. Ideologi sosialisme ini kemudian dikelola dan menjadi propaganda pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional. Di mana pemerintah Indonesia mengatakan, pejuang Fredelin atau Falentin adalah komunis dan harus dihancurkan, dengan alasan itu negara-negara sekutu Indonesia seperti Amerika, Australia, Selandia Baru dan Eropa suplai senjata dan amunisi untuk menghabisi para pejuang Timor-Leste yang dikategori sebagai penganut komunis-sosialis itu.

Dalam kasus Papua khususnya kebangkitan generasi muda Papua melalui media rakyat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang sering diwacanakan mengenai ideologi Sosialisme dan hal itu ditulis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Road Map jidil dua. Buku ini dibahas kebangkitan generasi muda Papua dan ideologi Sosialisme dan bagaimana diatasinya. Buku ini diterbitkan dalam dua bahasa, edisi bahasa Indonesia dan Inggris. Edisi bahasa Inggris sudah disebarkan di berbagai negara di dunia. Buku ini adalah salah satu petunjuk penting yang digunakan pemerintah dan agen-agen mereka untuk dilumpuhkan generasi muda Papua dan KNPB secara organisasi. Hal itu bisa kita lihat saat ini, secara langsung atau tidak generasi muda dan KNPB didorong ke arah itu.

Pada bulan Maret tahun 2018 suatu pertemuan yang diselengkarakan di Jerman Tengah melibatkan akademisi, gereja dan organisasi-organisasi internasional. Dalam pertemuan itu dibahas secara serius mengenai isi buku ini dan akibat yang akan ditimbulkannya. Dalam buku ini mengambarkan secara jelas, di mana generasi muda Papua dengan ideologis sosialisme, dan ideologi itu tentu dikaitkan dengan komunisme. Hal ini adalah signal bahwa perjuangan kemerdekaan Papua dikategorikan dengan ideologis sosialisme-komunisme oleh kolonial, dan buku itu memberikan legitimasi kepada pemerintah dan militer Indonesia untuk melakukan tindakan represif dengan alasan komunisme itu, karena pemerintah dan militer Indonesia belum bisa bedakan ideologi sosialisme dan komunisme secara ilmiah. Hal ini juga dikembangkan di negara-negara yang anti dengan komunis dan sosialis untuk menghambat dukungan mereka terhadap perjuangan bangsa Papua. Hal-hal seperti ini perlu dikritisi dan diantisipasi para aktivis Papua agar tidak masuk dalam strategi musuh.

Satu hal lain perlu dibandingkan adalah pembubaran Presidium Dewan Papua dan wacana pembubaran ULMWP terakhir ini. Di mana Tim sukses Otonomi Khusus Papua di masa itu dengan Jaringan Damai Papua masa kini. Di mana Tim Sukses Otonomi Khusus berusaha dorong Otonomi Khusus dan dilumpuhkan Presidium Dewan Papua. Tim Otsus ini juga melibatkan orang asli Papua maupun migran baik politisi, akademisi, tokoh gereja, unsur militer, para ahli dari beberapa universitas di Jawa dan migran di Papua dengan alasan hak asasi manusia, demokrasi dan akomodir kepentingan migran.

Model yang sama saat ini didorong oleh Jaringan Damai Papua yang melibatkan semua unsur-unsur seperti dalam tim otsus tersebut. Dulu Tim Otsus juga sudah mengganggu dan merusak PDP dan hal yang sama dilakukan oleh LIPI dan JDP mempengaruhi ke dalam struktut KNPB, TPN dan ULMWP dan menciptakan kontradiksi politik akhir-akhir ini. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bersama khususnya orang asli Papua yang menginginkan kemerdekaan secara politik. Dengan itu menentukan pilihan ke mana diarahkan perjuangan ini.

Tujuan akhir dari wacana ini adalah mendorong orang Papua dalam agenda dialog Jakarta-Papua yang menjadi agenda LIPI dan JDP selama ini. Karena itu, dalam berbagai media pihak-pihak yang ingin mendorong agenda dialog ini selalu mewacanakan hal itu. Untuk tujuan itu secara strategis mereka sedang melumpuhkan ULMWP, KNPB dan TPN-OPM, di mana KNPB dan TPN-OPM adalah basis dari ULMWP. Karena itu, target utama mereka sedang melumpuhkan organ-organ ini, dengan itu mereka akan menyatakan bahwa ULMWP di bawah kepemimpin periode kedua tidak berhasil atau gagal. Maka diwacanakan pembubaran ULMWP dan kemudian mendorong agenda dialog Jakarta-Papua atau perundingan dengan Jakarta yang sedang diwacanakan oleh beberapa diplomat dan para pejuang Papua saat ini. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak target dari wacana-wacana tersebut.

(Baca ini: Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP Dan Dukungan Internasional)

Dengan demikian wacana membubarkan United Liberation Moverment for West Papua, secara sadar atau tidak sedang mengarahkan untuk melumpuhkan perjuangan dan kehancuran bangsa Papua di masa depan. Kita secara sadar atau tidak sudah terjabak dalam strategi pihak musuh yang menginginkan dan mendorong hal itu terjadi.

Bersatu Dalam ULMWP dan Mobilisasi Umum

Berdasarkan sejarah perjuangan dan strategi-strategi politik pihak musuh digambarkan di atas menjadi refleksi dan gambaran bangsa Papua untuk mengambil keputusan. Di mana para aktivis, pejuang dan semua orang asli Papua bersatu dan membangun kekuatan nasional secara bersama-sama untuk mendorong United Liberation Moverment for West Papua. Perjuangan Papua merdeka diperlukan kesatuan bangsa dan masa rakyat yang terorganisir untuk melakukan mobilisasi umum.

Dalam bulan ini kita saksikan Indonesia telah menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan United Nations untuk dua tahun ke depan, hal itu merupakan hak negara Indonesia sebagai anggota United Nations. Di sini posisi Indonesia sebagai negara anggota tidak tetap DK-UN perlu dibuktikan dengan tindakan nyata dan tanggung jawab moral atas kejahatan mereka terhadap bangsa Papua, di mana mereka bunuh 500. Ribu lebih orang Papua sejak invasi tahun 1962. Bangsa Papua menuntut bertanggung jawaban itu hanya dengan satu cara yaitu membangun kesatuan nasional dan mobilisasi umum secara serentak di seluruh tanah Papua di bawah komando United Liberation Moverment for West Papua.

Dalam rangka mewujudkan kesatuan nasional dan mobilisasi umum perlu dibangun kesadaran secara progresif dan masif, menjelaskan secara baik proses perjuangan sudah berhasil dicapai dan arah perjuangan ke masa depan. Tanpa menjelaskan strategi politik, kebijakan dan prosedur-prosedur secara taktis. Kebangkitan generasi muda Papua yang terdidik, visioner dan stratak politik yang sudah dibangun dalam media KNPB, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Gempar dan mahasiswa selama ini telah membangun kesadaran dan perlu ditingkat lebih progresif dan masif ke dalam struktur basis. Dengan itu dibangun persatuan nasional masa rakyat di seluruh tanah Papua dan untuk mewujudkan itu perlu diperhatikan empat unsur penting dalam perjuangan nasional.

Pertama, Organisasi taktis dan masyarakat sipil dalam kota. Di mana organisasi-organisasi taktis yang ideologis, visioner dan militan diperkuat dan bangun persatuan nasional dengan mendorong satu agenda utama. Selain itu, lembaga-lembaga agama, lembaga swadaya masyarakat, perempuan, akademisi, orang Papua yang bekerja di pemerintahan, nelayan, tani, buruh dan basis masa di kampung-kampung perlu dibangun dalam suatu struktur gerakan nasional. Di mana setiap kelompok sampai struktur yang paling dasar digerakan oleh para revolusioner terdidik, berideologis dan militan.

Kedua, diplomasi internasional. Kita belajar dari berbagai perjuangan kemerdekaan di negara lain, mereka berkuat diplomasi internasional dalam suatu organisasi dan satu komando yang terorganisir. Dalam kasus Tomor-Leste, Ramos Horta adalah tokoh central yang mengorganisir dan memobilisasi diplomasi internasional. Tidak banyak faksi dan banyak komando, semua faksi bersatu dalam satu struktur, satu komando dan dorong satu agenda utama. Dengan itu dukungan internasional berkembang begitu cepat karena kepercayaan publik internasional. Bangsa Papua sudah mempunya organisasi politik representasi itu United Liberation Moverment for West Papua yang sudah didukung dan diakui secara interasional oleh negara-negara dan organisasi resmi internasional.

Ketiga, Pertahanan dan keamanan. Hal ini sangat penting karena tulang pungkung dari suatu perjuangan nasional adalah tentara pembebasan nasional harus kuat sebagai sayap militer. Bila suatu bangsa yang ingin merdeka dan berdaulat secara politik, kekuatan militer harus disatukan dalam suatu komando secara struktur dan disiplin. Hanya dengan itu memiliki kekuatan besar untuk mengalahkan musuh. Dalam suatu bangsa atau negara tidak bisa memiliki dua atau lebih organisasi dan tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Hal itu akan menciptakan kekalahan, diperpanjang penderitaan rakyat dan menciptakan peluang kepada musuh untuk menguasai dan mengalahkan mereka. Dalam kasus Papua kita mempunyai lebih dari satu faksi militer dan semua itu adalah aset bangsa kita, tetapi perlu dibangun kesatuan dalam suatu struktur secara nasional. Hanya dengan itu bisa mendapatkan pengakuan internasional sebagai sayap militer perjuangan bangsa Papua, dan dengan itu mudah digerakan bila diperlukan dalam waktu-waktu tertentu.

Keempat, Media masa. Media masa adalah salah satu pilar sangat penting dalam perjuangan dan persatuan nasional. Media masa yang visioner, terkordinir, revolusioner dan terdidik mempublikasi berita-berita secara militan, tepat sasaran, dan aktual. Media-media perjuangan yang terkordinir dengan media-media internasional lain. Menyampaikan informasi dan fakta-fakta aktual dengan bahasa yang bisa dimengerti dan terjankau pada semua lapisan masyarkat yang revolusioner dan basis masa rakyat. Baik itu media-media cetak, elekronik, media sosial, televisi, selebaran, plakar, karikatur dan flem-flem dokumenter. Satu hal penting yang diperhatikan adalah harus menyampaikan berita yang benar dan akurat, mengusung satu theme central agenda perjuangan dengan itu menciptakan kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan yang diperjuangkan.

Kelima, boikot agenda-agenda kolonial. Setelah poin satu dan empat di atas sudah terpenuhi dan menciptakan masyarakat revolusioner dan terstruktur, maka sangat mudah untuk mobilisasi dan boikot agenda-agenda kolonial yang merugikan bangsa terjajah. Maka dengan sendirinya, kolonial mengalami kesulitan dan kulung tikat. Misalnya agenda pemilu kolonial, bisa masyarakat revolusioner yang sadar, dengan kesadaran sendiri dan tanpa dipaksa orang lain tidak mengikuti pemulu. Hal itu tidak melanggar undang-undang kolonial karena asas lubes dalam politik Indonesia. Contoh lain, khusus daerah-daerah yang relatif masih kecil seperti kabupaten-kabupaten di pegunungan sangat mudah, di mana masyarakat revolusioner boikot membeli barang-barang milik para kolonial. Dengan syarat orang-orang asli Papua harus mengembangkan ekonomi, dagang dan dibangun kios-kios dan toko-tokoh kecil. Di mana para aktivis membangun kampanye bahwa rakyat asli Papua diinstruksikan untuk membeli barang-barang dari toko-toko orang asli Papua, boikot barang-barang milik kolonial. Dengan demikian, secara otomatis kolonial akan tutup centra usaha dan meninggalkan daerah itu.

Dengan itu melakukan mobilisasi umum masa rakyat secara serentak dan menduduki seluruh pusat-pusat kota di tanah Papua untuk mendorong United Liberation Moverment for West Papua dan agenda-agenda internasional sudah disepakati. Hanya dengan cara itu dunia akan mengadili posisi Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan United Nations saat ini dan Indonesia harus dipertanggung jawabkan secara moral mengenai kejahatan kemanusiaan mereka terhadap bangsa Papua selama ini. Maka sekali lagi persatuan nasional dalam United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) sangat penting dan mendesak untuk mendorong agenda nasional kepada tujuan.

)* Penulis adalah akademisi Uncen. Saat ini ia sebagai kandidat doktor dari salah satu universitas ternama di Jerman.


Catatan: 
(1). Tulisan ini dibangun berdasarkan kajian literatur, dokumen, interview, penelitian, pengamatan dan pengalaman sendiri.
(2). Bila data yang tidak tepat atau salah dalam tulisan ini silahkan kirim komentar melalui imbok alamat facebook penulis (Ibrahim Peyon).

Posted by: Admin
Copyright ©Tabloid WANI “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.