Dark
Light
Today: July 27, 2024
6 years ago
39 views

Protes Pengangkatan Kepala Suku untuk Pangdam Karena Tidak Mengerti Sejarah

Protes Pengangkatan Kepala Suku untuk Pangdam Karena Tidak Mengerti Sejarah
Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit (kri) dan Alex Doga (kanan).

Wamena — Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit dinobatkan sebagai kepala suku besar pegunungan tengah Papua, di Kabupaten Jayawijaya, pekan lalu.

Prosesi penobatan kepala suku besar ini dihadiri kurang lebih 40 kepala suku di wilayah pegunungan tengah Papua yang dipimpin Alex Doga, tokoh Pepera Silo Karno Doga. Selain itu hadir pula sejumlah perwakilan kepala suku dari wilayah pesisir pada acara tersebut.

Penobatan kepala suku besar tersebut, belakangan menuai protes dari sejumlah warga yang mengatasnamakan tokoh adat dan anggota DPR Papua. Dari sejumlah komentar yang beredar melalui pemberitaan ataupun komentar di media sosial menuding kepala suku telah menjual adat Papua dan sejumlah cara untuk menolak penobatan tersebut.

Menanggapi berbagai protes tersebut, Alex Doga hanya bereaksi santai dan tidak mau ambil pusing. Menurutnya, orang-orang yang berkomentar itu bukan kepala suku jadi tidak paham dengan adat kebiasaan suku-suku di pegunungan tengah Papua dan mereka juga tidak mengerti sejarah.

“Gelar kepala suku besar untuk Pangdam Cenderawasih adalah simbol persaudaraan dan kasih antara anak-anak adat pegunungan tengah dengan TNI. Bukan hanya Pangdam yang kami beri gelar kepala suku besar, tapi Presiden Sukarno juga diangkat kepala suku oleh orang tua kami dahulu,” kata Alex Doga di Wamena, Kabupaten Jayawijaya melalui telepon selulernya, Minggu (30/9/2018).

Alex Doga mengisahkan pengalaman orang tuanya Silo Doga bersama sejumlah kepala suku yang menjadi tokoh Pepera diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara. Pada saat itu, mereka melaksanakan sumpah setia sebagai saudara dan mengangkat Presiden Sukarno sebagai kepala suku besar pegunungan tengah Papua.

“Itu sebabnya, nama Silo Doga ditambah dengan nama Sukarno menjadi Silo Karno Doga sebagai simbol persaudaraan, kasih, dan kesetiaan,” ujar Alex Doga.

Jadi, kata Alex Doga, pemberian gelar kepala suku kepada Pangdam tidak berarti akan mengambil atau menghilangkan adat Papua. Justru adat Papua akan semakin besar sampai ke Jakarta, Sulawesi, atau kemanapun nanti Pangdam akan bertugas.

“Seperti Tuhan Yesus memberi mandat kepada murid-muridnya untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Injil diturunkan di Israel, tidak berarti dengan pengabaran itu maka Injil hilang dari Israel. Justru dengan begitu, kita orang Papua yang beda warna kulit dengan orang Israel bisa pegang Injil,” kata Alex Doga.

Menurut Alex Doga, meski beda warna kulit dengan Pangdam Cenderawasih tapi hati dan jiwa kami satu. Kami sama-sama ingin membangun negara dan membantu menyejahterakan masyarakat Papua.

Ini justru berbeda dari sekelompok orang asli Papua yang justru selalu membuat kegaduhan dan ingin terjadi kekacauan di Papua.

“Kami ini anak-anak adat Papua, tidak boleh durhaka pada leluhur yang sudah berjuang untuk NKRI dan mengikrarkan tali persaudaraan. Dulu di wilayah pegunungan tengah Papua tidak pemberontak, tidak ada angkat senjata. Saat ini ada karena pengaruh-pengaruh dari luar,” papar Alex Doga.

“Kita orang Papua yang mengaku pengikut Tuhan Yesus yang mengajarkan cinta kasih dan damai justru tidak mau menerima orang yang berbeda warga kulit dengan kalian. Ini yang menjadi masalah,” kata Alex Doga menambahkan.
Penyerahan Lahan untuk Kodam Cenderawasih

Mengenai hibah lahan seluas 90 hektare kepada Kodam Cenderawasih, kata Alex Doga, tidak perlu dipermasalahkan karena yang mereka serahkan adalah tanah ulayat mereka. Penyerahan lahan itu untuk kepentingan negara, membangun fasilitas TNI yang nantinya akan membantu menjaga keamanan di daerah tersebut.

“Warga di Distrik Silo Karno Doga ingin aman, ada pembangunan dan anggota TNI sudah terbukti banyak membantu masyarakat dengan membangun fasilitas umum seperti jalan, sekolah, gereja, serta membantu masyarakat bertani atau mengajar siswa di sekolah karena tidak ada guru,” kata Alex Doga.

“Yang ribut-ribut masalah tanah itu justru makan dari uang negara tapi tidak pernah membantu masyarakat. Mereka hanya bisa bikin ribut saja,” kata Alex Doga menambahkan.
Ajak Anggota OPM Turun Gunung Membangun Papua

Hal senada diungkapkan Habo Kalogo, salah seorang kepala suku yang mendampingi Alex Doga. Habo Kalogo yang pernah menghibahkan tanahnya kepada negara, oleh anggota Kodim kemudian mendirikan bangunan sekolah.

“Gedung sekolah sudah jadi dan anak-anak sekolah banyak, lebih dari 200 anak. Tapi gurunya sedikit, kadang hanya satu. Hanya adik-adik dari Koramil dan pembina desa yang sering bantu mengajar di sekolah. Mereka bukan hanya membantu mengajar tapi membagi buku gratis untuk anak-anak sekolah,” papar Habo.

Habo mengaku mendukung keputusan Alex Doga untuk menghibahkan tanahnya untuk TNI. “Anggota Kodim juga membantu membangun kantor desa dan gereja. Mereka tidak dibayar, bawa bahan makanan sendiri, dan tinggal dengan masyarakat di honai. Sebagian makanan mereka dibagi untuk masyarakat,” kata Habo.

Habo lalu mengisahkan pengalamannya pernah bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan sempat ikut lari ke Papua Nugini (PNG). Karena tak punya harapan bersama OPM, ia lalu memutuskan untuk kembali ke Papua.

“Apa yang saya dapat bergabung dengan OPM, omong kosong semua. Saya lebih baik di kampung, punya tanah ulayat luas yang bisa digarap. Saya pulang bertani, dan sekarang saya punya kebun luas, ada jeruk, nanas, hipere, macam-macam,” kata Habo.

Dari pengalamannya, ia mengajak saudara-saudaranya yang masih berada di hutan untuk turun gunung, meletakkan senjata, dan hidup tenang dengan bertani.

“Lebih baik ganti senjata itu dengan sekop dan linggis, itu membawa kehidupan. Senjata itu hanya membawa kematian. Orang lain mati, kamu juga mati karena senjata itu. Tuhan sudah menganugerahkan tanah subur untuk diolah,” ujarnya.

Iapun menitipkan harapannya agar pemerintah membantu membangun perumahan untuk guru-guru agar mau mengajar di kampung mereka.

“Nanti saya siapkan lahan supaya guru datang ajar anak-anak, biar mereka tidak bodoh. Percayakan saja pembangunannya ke adik-adik Kodim, karena mereka kerja tidak dibayar,” pungkas Habo.

Copyright ©Hai Papua “sumber”
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.