Penyerahan Petisi Referendum kepada Dewan Komite United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) oleh tim Nasional penggalangan Petisi Manual rakyat West Papua. Penyerahan aspirasi Referendum West Papua terjadi pada tanggal 8 Agustus 2017, di Jayapura, Papua. (Foto: Doc. Panitia petisi to www.tabloid-wani.com). |
Oleh: Ibrahim Peyon)*
Pengantar
Dalam tulisan saya tahun 2017 telah dibahas lebih jauh tentang mekanisme, dampak politik dan sikap pemerintah Indonesia terhadap petisi ini. Dalam tulisan ini lebih difokuskan posisi petisi referendum, sikap pro-kontra, reaksi Indonesia dan status masalah Papua saat itu.
Petisi Referendum Papua
Petisi Referendum West Papua ialah salah satu agenda dari Westminster Declaration for an Internationally Supervised Vote pada 3 Mei 2016 di Gedung Parlemen Inggris. Internationally Supervised Vote ini diinisiasi oleh Parlementarian Internasional untuk West Papua (IPWP) dan Pengacara Internasional untuk West Papua (ILWP). Dalam deklarasi Westminster ini dihadiri antara lain: Perdana Menteri Samuela ‘Akilisi Pohiva dari Tonga, Menteri Luar negeri Bruno Leignkone dari Vanuatu, Menteri tanah dan kekayaan alam Ralph Regenvanu (kini menteri luar Negeri) dari Vanuatu, Gubernur Gary Juffa dari PNG, Rex Horoi utusan khusus pemerintah Salomon untuk West Papua, pemimpin oposisi Parlemen Inggris Jeremy Corbyn, Octovinaus Mote Sekretaris Jenderal ULMWP, Rex Rumaikek anggota ULMWP dan Benny Wenda sendiri sebagai penyelenggara sekaligus juru bicara ULMWP.
Dalam pertemuan ini juga diikuti para anggota Parlemen, pengacara dan para pemimpin organisasi hak asasi manusia dari berbagai negara. Tujuan dari deklarasi ini adalah mengumpulkan suara dan dukungan internasional untuk kemerdekaan bangsa Papua. Dengan tujuan itu diagendakan pengumpulan suara rakyat melalui petisi secara online maupun manual di Papua. Agenda petisi itu kemudian diterima dan diadopsi menjadi agenda ULMWP dalam suatu pertemuan di Vanuatu. Maka dengen jelas Petisi Refrendum adalah agenda resmi United Liberation Movement for West Papua.
Karena itu ULMWP dalam negeri dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) fasilitasi rakyat untuk tanda tangan petisi ini. Dalam menanda tangani petisi ini, banyak aktivis dan pejuang Papua ditangkap, disiksa dan dipenjarah oleh militer dan Polisi Indonesia. Salah satu adalah Yanto Awerkion, wakil ketua KNPB Mimika, dia dihukum dan dipenjarah selama 10 bulan dengan tuduhan makar. Meskipun para pejuang menghadapi berbagai tantangan dan peniksaan, tetapi mereka tidak putus asa dan tidak menyerah. Mereka dengan sukses mengumpulkan suara 1.804.421 orang, terdiri dari 1.708.167 penduduk asli West Papua dan 96.254 migran Indonesia, maka secara presentase 70,88% dari total penduduk asli Papua.
Di mana angka ini telah memberikan legitimasi kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk memimpin perjuangan bangsa Papua. Orang Papua juga melalui penanda tanganan petisi ini menyatakan menolak pendudukan Indonesia dan mencabut legitimasi pemerintahan Indonesia di tanah Papua.
Pro-kontra orang Papua terhadap Petisi
Setelah Westminster Declaration for an Internationally Supervised Vote, salah satu agenda penting adalah mengumpulkan suara rakyat melalui tanda tangan petisi untuk menuntut referendum itu. Ketika direncakan pengumpulan suara di lapangen mulai muncul dengan sikap pro dan kontra terhadap agenda tersebut. Sikap kontra itu muncul dari Struktur United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sendiri dan kemudian dapat mempengaruhi kepada organ perjuangan lain.
Sikap kontra yang pertama adalah sekjen ULMWP saat itu, tuan Octovinaus Mote yang menolak agenda petisi referendum dengan argumentasi yang logis bahwa petisi itu tidak sesuai dengan mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ibu Leoni Tangahma, anggota ULMWP lain juga memiliki pandangan yang sama bahwa petisi itu tidak sesuai mekanisme Perserikatan bangsa-Bangsa, merusak reputasi perjuangan dan bahkan dituduh sebagai proyeknya tuan Benny Wenda.
Dalam artikelnya yang dimuat oleh suarapapua.com Leoni mengatakan empat hal: Pertama Petisi bukanlah mekanisme PBB yang tepat di komisi C.24 ketika Anda tidak berada dalam daftar mereka. Kedua, kedua tidak menggunakan mekanisme yang tepat ketika mengirimkan dokumen ke PBB dapat mengakibatkan „pengajuan vertikal“, yang dia maksud pengajuan vertikal disini adalah petisi itu dibuang ke tempat sampah. Ketiga, apakah petisi itu benar-benar dikirim? Atau apakah itu hanya aksi untuk merusak citra perjuangan bangsa Papua. Keempat dia mempertanyakan dari mana saran dan mengepa? Dalam tulisan ibu Leoni ini tidak menawarkan agenda alternatif bila dianggap petisi itu tidak sesuai mekanisme PBB dan dibuang di tempat sampah. Tidak ada agenda alternatif dalam tulisannya membuktikan bahwa si penulis tidak memiliki kreativitas dan agenda-agenda alternati untuk mendorong perjuangan ini.
Sikap politik ini dapat mempengaruhi ke dalam organ perjuangan lain di tanah Papua dan sebagian para pejuang menolak terlibat dalam pengumpulan suara rakyat tersebut. Beberapa wilayah yang menjadi basis individu-individu tertentu juga menolak untuk terlibat dalam pengumpulan suara. Bahkan agenda penyerahan petisi kepada ketua Komisi Tinggi HAM PBB tahun 2017 yang diagendakan secara resmi oleh pemerintah Solomon Island pun dapat dibatalkan beberapa jam sebelum petisi diserahkan.
Sikap penolakan terhadap petisi juga dimunculkan oleh beberapa orang Papua di Australia seperti Lewis Pray dan Dr. Henky Rumbewas pun mengatakan petisi referendum itu dinamakan buku Ensiklopedia. Alasan disebut Ensiklopedia itu tidak jelas karena secara subtansif petisi dengan Ensiklopedia sangat berbeda. Petisi adalah kumpulan suara yang ditanda tangani oleh rakyat untuk tujuan politik dan kebijakan tertentu. Sedangkan ensiklopedia adalah penjelasan dan ringkasan teori dalam suatu bidang kajian tertentu dalam ilmu pengetahuan.
Di Australia diluncurkan pengumpulan petisi dengan tujuan untuk mendorong ke Dewan Keamanan dan Sidang Umum PBB. Di mana petisi ini diprakarsai oleh Amilus Douw dan Lewis Pray. Sebagian aktivis menilai peluncuran petisi ini adalah sebagai tandingan dari petisi referendum manual yang diprakarsai tuan Benni Wenda ini. Sebenarnya peluncuran petisi-petisi itu dengan satu tujuan yang sama dan tidak saling bertentangan sangat positif dan diberi apresiasi. Tetapi, bila saling perlawanan dengan agenda utama dapat menjadi pertanyaan oleh banyak pihak apa misi dan ke mana arah perjuangannya.
Berbeda dengan sikap para aktivis dan pejuang pro petisi Referendum. Mereka bekerja dengan keyakinan penuh bahwa petisi adalah salah satu strategi untuk mengumpulkan suara rakyak dan petisi itu menjadi dasar untuk mempengaruhi publik dan dukungan internasional. Sekaligus petisi itu akan menjadi dasar untuk menggugat proses rekayasa Pepera tahun 1969 yang menjadi dasar pendudukan Indonesia di tanah Papua.
Mereka sadar dan tahu bahwa petisi bukan merupakan mekanisme resmi PBB, tetapi petisi adalah strategi kreatif dalam diplomasi perjuangan. Karena dalam perjuagan dan diplomasi diperlukan strategi-strategi kreatif untuk mendorong agenda utama perjuangan. Dengan strategi-strategi kreatif itu dapat menciptakan metode-metode baru untuk mendukung perjuangan. Mereka yang pro petisi juga berpandangan bahwa proses rekayasa Pepera yang hanya diikuti 1.025 orang dipilih pemerintah Indonesia saat itu. Proses itu tidak sesuai dengan mekanisme resmi PBB tetapi diterima dan dicatat dalam resolusi PBB dan Papua secara nyata melegalkan pendudukan Indonesia saat ini di Papua.
Sikap pro dan kontra adalah hal biasa dalam demokrasi dan perbedaan pandangan politik itu dikelola menjadi aset dalam perjuangan untuk mengakhiri penderita bangsa Papua saat ini. Proses penyatuan bangsa Papua dari beraneka etnik, bahasa dan budaya itu memiliki tantangan tersendiri. Selain itu, di daerah pendudukan di mana pun selalu menjadi tantangan tersendiri bila rakyat koloni itu berhadapan dengan kolonial yang didudukinya. Karena kolonial selalu diterapkan politik adu domba dan kuasi terhadap para koloni mereka.
Dalam kondisi demikian, perbedaan sikap dan pandangan adalah hal biasa dan perbedaan itu selalu ditemukan solusinya. Hal yang harus dicegah adalah mengganggu dan merusak agenda-agenda perjuangan. Karena itu, dalam tulisan-tulisan saya selalu menegaskan dan membela agenda-agenda perjuangan tanpa melihat sikap politik dan status individu dan kelompok tertentu dalam struktur perjuangan.
Petisi Referendum di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Benar bahwa petisi bukan merupakan mekanisme resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa tetapi petisi selalu menjadi mekanisme penjaluran aspirasi masyarakat untuk berbagai kepentingan di seluruh dunia. Petisi referendum Papua ialah suatu metode kreatif yang dibuat oleh para pejuang untuk mempengaruhi opini dan memperoleh dukungan internasional. Dalam sejarah perjuangan nasional dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa petisi referendum Papua telah mencetak sejarah baru bahwa rakyat yang ingin memerdekakan diri dapat mengajukan petisi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya secara pribadi yakin bahwa metode ini akan diikuti oleh daerah-daerah lain yang sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka dari kolonial sebagai metode alternatif untuk memperoleh dukungan internasional dan perhatian PBB.
Bila tidak ada sikap kontra maka petisi ini sudah diserahkan kepada Ketua Komisi Tinggi HAM PBB pada awal tahun 2017 lalu yang difasilitasi oleh pemerintah Salomon Island. Tetapi agenda resmi dari pemerintah Salomon Island itu dibatalkan dengan alasan tidak sesuai mekanisme resmi PBB. Bila proses penyerahan difasilitasi oleh negara resmi tertentu maka hal itu telah menjadi mekanisme resmi karena yang mempunyai tempat di dalam PBB adalah negara-negara resmi. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak bisa menolak dan tidak bisa menyangkal agenda yang diusulan oleh negara-negara anggotanya karena semua negara mempunyai kesamaan hak dan kewajiban.
Baca berikut ini:
- PBB Mengkonfirmasi Telah Menerima Petisi Referendum West Papu
- Anggota Parlemen Inggris Menyambut Baik Penyerahan Petisi Referendum Kepada Kepala HAM PBB
Meskipun agenda penyerahan itu dibatalkan, ketua Komisi Tinggi HAM, beberapa duta besar dan kesekretariatan sudah mengetahui secara tidak langsung tentang petisi tersebut. Karena pemimpin bangsa Papua tuan Benny Wenda sudah menyerahkan petisi itu kepada Duta Besar Salomon untuk PBB di Jenewa. Bertolak dari pengalaman kegagalan itu, juru bicara ULMWP saat itu tuan Benny Wenda bersama Dr. Rex Rumakiek dan Jeniver Robinso telah menyerahkan petisi referendum itu kepada Rafael Ramirez, ketua Komitee Dekolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York September 2017.
Penyerahan petisi ini dipublikasi secara luas dalam berbagai media di seluruh dunia, muncul reaksi keras dari pemerintah Indonesia. Dalam waktu 24 jam pemerintah Indonesia bekerja keras melalui Dian Triansyah Djani, Duta Besar Indonesia untuk PBB dan juga wakil ketuá Komite Dekolonisasi. Dian Triansyah Djani mendesak kepada Rafael Ramirez untuk mengeluarkan penyataan dan menyanggal menerima petisi referendum tersebut. Karena desakan itu, Rafael Ramirez menyangkal bahwa dia tidak menerima petisi tersebut.
Pemerintah Indonesia pun telah mengeluarkan pernyatakan yang saling bertolak belakang. Indonesia menuduh Benny Wenda sebagai pembohong dan mencari perhatian. Indonesia membangun propaganda bahwa petisi itu dilakukan di luar negeri dan bukan rakyat Papua. Hal itu dikatakan oleh Wiranto sebagai Menkopolhukam yang dimuat beberapa media Indonesia pada 29 September 2017.
Tetapi propaganda Indonesia itu telah dibantah pemimpin bangsa Papua tuan Benny Wenda pada 30 September dan 1 Oktober 2017 di berbagai media internasional. Wenda mengatakan, “saya secara pribadi sudah menyerahkan petisi yang ditandatangi 1,8 juta suara rakyat Papua kepada seorang perwakilan senior di PBB. Saya menyerahkan petisi itu didampingi oleh pimpinan ULMWP lain Dr. Rex Rumakiek bersama dengan pengacara saya dari Internasional Lawer for West Papua (ILWP). Saya juga sudah berkomunikasi dengan Sekretariat Komisi Dekolonisasi dan Komisi Khusus Politik dan Dekolonisasi (Panitia Keempat) di Majelis Umum PBB, dengan permintaan agar PBB meninjau kembali situasi West Papua”. Pada akhirnya Pemerintah Indonesia melalui Mekopolhukam, Wiranto telah mengakui bahwa petisi itu benar sudah diserahkan kepada ketua Dekolonisasi.
Benny Wenda tidak hanya mendapat tantangan dari Indonesia tetapi juga dari orang Papua sendiri yang sikap kontra dengan petisi tersebut. Benny diminta segera mencabut pernyataannya di berbagai media dan didesak untuk meminta maaf dalam waktu 24 jam dan harus dimuat dalam berbagai media, dan mendesak bahwa penyerahan petisi dilakukan atas nama Free West Papua Campaign dan bukan sebagai ULMWP. Dengan alasan mempermalukan dan merusak langkah-langkah diplomasi ULMWP di dunia internasional.
Setelah Rafael Ramirez ketua Komitee Dekolonisasi mengeluarkan penyataan dan menyangkal bahwa dia tidak menerima petisi referendum Papua dan tuan Benny memanipulasi namanya, maka banyak pihak di seluruh dunia meragukan pernyataan itu. Hal itu bisa dilihat sikap politik dari beberapa negara, misalnya Inggris. Di mana parlemen Inggris mendesak menteri luar negeri Inggris untuk mengecek posisi petisi itu di komisi Dekolonisasi. Desakan itu kemudian dijawab oleh pihak kementerian Luar negeri dalam sidang Parlemen Inggris atas pertanyaan dari enam anggota Parlemen. Dalam sidang itu, pemerintah Inggris mengatakan bahwa mereka sudah mendapat informasi dari pejabat komite Dekolonisasi PBB bahwa petisi referendum Papua sudah diterima.
Beberapa bulan kemudian Rafael Ramirez diganti dari posisinya sebagai ketua Komite Dekolonisasi dan proses pergantian ini mungkin ada alasan lain. Tetapi bila dikaitkan dengan peristiwa ini bisa dianggap sebagai korban dari petisi Referendum Papua tersebut.
Penyangkalan Rafael Ramirez ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, memenuhi keinginan pemerintah Indonesia seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena proses penyerahan petisi tidak difasilitasi secara resmi oleh delegasi negara pendukung tertentu. Sebenarnya sudah ada negara yang bersedia untuk fasilitasi proses itu dukungannya ditarik karena pengalaman buruk proses pembalatan penyerahan di Jenewa tersebut. *pembatalan dilakukan Petisi Referendum Papua di Jenewa 2017 itu dilakukan oleh Octovinaus Mote saat dirinya masih memimpin ULMWP sebagai Sekjen* (red).
(Simak ini: KNPB Bersama Rakyat Papua Merayakan Kemenangannya atas Petisi West Papua Tiba di C24 PBB)
Sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa september 2017 berbeda dari proses penyerahan petisi 25 Januari 2019 kepada ketua Komisi Tinggi HAM PBB. Proses penyerahan difasilatasi secara resmi oleh pemerintah Vanuatu dan tuan Benny Wenda menjadi anggota delegasi resmi. Setelah penyerahan petisi itu dipublikasi di berbagai media di seluruh dunia maka pemerintah Indonesia bereaksi kembali dengan bahasa yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian pihak PBB juga menyatakan telah menerima petisi secara resmi oleh delegasi pemerintah vanuatu. Benny Wenda salah satu anggota delegasi Vanuatu yang menyerahkan petisi kepada Michelle Bachelet, ketua Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa. Pengakuan ini menunjukkan bahwa petisi adalah bukan mekanisme resmi tetapi dilakukan dengan proses resmi dapat diterima dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Reaksi Indonesia dan respons Vanuatu
Reaksi Indonesia terhadap penyerahan petisi 25 Januari 2019 kepada Michelle Bachelet ketua Komisi Tinggi HAM PBB ini berbeda dari reaksi september 2017 lalu. Reaksi Indonesia saat ini dikategori menjadi tiga.
Pertama, kebingunan pemerintah Indonesia untuk menyikapi penyerahan petisi tersebut. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan menteri Pertahanan dan wakil presiden Yusuf Kalla. Menteri pertahanan mengatakan, bila tanda tangan petisi 1,8 maka yang sisanya dukung kita, sedang Yusuf Kalla mengatakan bila dialog ditolak maka senjat berbunyi Kedua pernyataan ini adalah sikap gugup, kehilangan akal sehat dan kebingungan. Akhirnya yang keluar adalah ancaman dan pernyataan-pernyataan tidak logis.
Kedua, upaya manipulasi. Pernyataan yang berusaha manipulasi ini dikeluarkan oleh Retno Marsuki, Menteri luar negeri dan Hasan Kleib Duta besar Indonesia untuk Komisi HAM PBB di Jenewa. Di mana Retno menunduh tuan Benny Wenda sebagai manipulatif dan duduh pemerintah Vanuatu diselundupkan Benny secara tidak resmi. Hal yang sama juga dikeluarkan oleh Hasan Kleib. Mereka juga menuduh pemerintah Vanuatu melanggar aturan PBB dan etika diplomasi saling menghargai. Retno kembangkan isu propaganda bahwa pembahasan Periodic Review Vanuatu tidak dibahas masalah Papua maka penyerahan petisi itu tidak ada buhubungan. Pernyataan kedua pejabatan Indonesia ini tidak masuk akal karena akses yang terkait dengan pelanggaran HAM ke kontor ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Setiap saat orang melaporkan situasi pelanggaran HAM tertentu termasuk penentuan asib sendiri. Manipulasi Pepera 1969 adalah pelanggaran hak penentuan nasib sendiri orang Papua maka secara otomasti bagian dari pelanggaran HAM.
Ketiga, Ancaman dan teror. Penyataan ancaman dan teror dikeluarkan oleh Yusuf Kalla yang menyatakan bila dialog ditolak maka senyata berbunyi. Ancaman dan teror macam ini bukan hal baru. Yusuf Kalla secara konsisten berbicara itu, dalam kasus Nduma misalnya. Sebelum Presiden keluarkan operasi militer, Yusuf Kalla orang pertama memerintahkan operasi militer besar-besaran di Nduga. Hal ini menunjukkan pemerintah Indonesia menempatkan orang Papua sebagai musuh negara yang harus dimusnahkan dari tanah mereka sendiri.
Keempat, Membohongi dan menghibur rakyat Indonesia. Dalam beberapa pernyataan mengatakan petisi referendum itu tidak akan ditinjak lanjuti dan tidak dibahas oleh PBB karena mereka menghargai pemerintah Indonesia. Duta Besar Indonesia untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib mengatakan tidak secara otomatis kantor KT HAM akan tindak lanjuti petisi itu karena petisinya sama sekali tidak terkait dengan isu HAM-seperti petisi terkait isu referendum yang sama sekali di luar mandat Kantor KT HAM. Hasan juga menganggap petisi yang diserahkan Benny pada pekan lalu itu bukan petisi baru, melainkan salinan dari petisi yang juga pernah dibuatnya pada 2017 lalu. Karena alasan itu, PBB akan menolak petisi tersebut. Bila dilihat dari pernyataan ini maka Hasan sebenarnya membela diri karena telah gagal mengatasi lolosnya petisi itu.
Simak berikut ini:
- Ketua ULMWP Bersama Vanuatu Masuk ke PBB, Indonesia Kecam
- Wiranto: Petisi Referendum Papua Itu Sensitif, Harus Hati-Hati dalam Menanggapinya
Hal yang sama dikemukakan oleh Meutya Hafid, Anggota Komisi I DPR -RI. Dia mengatakan PBB tidak meninjak lanjuti petisi itu karena ada etika penghormatan negara-negara anggota di PBB. Pandangan-pandangan seperti ini ialah untuk menghibur rakyat Indonesia khususnya para migran di Papua. Dengan maksud tidak mengimbulkan efek lain dalam masyarakat. Hal itu bisa dilihat pernyataan Wiranto Menkopolhukam. Wiranto mengatakan bahwa petisi referendum dilarang diekspos ke publik karena petisi itu sangat sensitif.
Kelima, pemerintah Indonesia mengakui secara tidak langsung dalam beberapa pernyataan. Menteri pertahanan misalnya mengatakan pengakuan keberadaan petisi dan tuntutan referendum oleh majoritas rakyat Papua. Bila mereka tanda tangan tuntut referendum 1,8 miliar maka masih ada sisa lain mendukung kita. Seorang anggota DPR-RI dari komisi A juga mengatakan bahwa pemerintah harus serius tanggapi penyerahan petisi itu. Menurutnya, PBB tidak secara langsung tindak lanjuti petisi itu tetapi PBB akan melibatkan pemerintah Indonesia dan ULMWP untuk verifikasi kebenaran petisi tersebut. Pengakuan Indonesia juga ditunjukkan dengan mengirimkan nota protes kepada pemerintah Vanuatu, pada satu sisi mereka mengatakan penyerahan petisi referendum tidak resmi dan manipulasi, dan di sisi lain indonesia mengajukan protes ke Vanuatu. Hal ini menunjukkan pengakuan bahwa pemerintah Vanuatu secara resmi fasilitasi proses penyerahan petisi itu.
Keenam, pemerintah Indonesia melalui Dubes Hasan bertemu ketua Komisi Tinggi HAM PBB dan menyatakan dalam waktu dekat akan mengundang Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua. Pernyataan Hasan ini terlihat sangat terburu-buru, tidak terkoordinatif dan sangat terdesak oleh penyerahan petisi tersebut. Pernyataan ini dikeluarkan untuk membendung tindak lanjut dari petisi itu. Karena tidak ada cara lain untuk menghentikan proses lanjut petisi itu di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena PBB sudah tahu bahwa Indonesia telah membohongi mereka dengan janji palsu akan diizinkan mengunjungi Papua. Tetapi, pemerintah Indonesia tidak mengizinkan mereka mengunjungi Papua untuk melihat kejahatan Indonesia di sana.
Berbagai pernyataan dan usaha-usaha manipulasi kepada Benny Wenda, pemerintah Vanuatu dan prosedur penyerahan petisi itu kemudian dibantah secara tegas oleh Vanuatu. Menteri luar negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu mengatakan tidak ada manupulasi proses penyerahan petisi tersebut. Benny Wenda adalah delegasi resmi dan teragredasi secara resmi dalam delegasi pemerintah Vanuatu. Pemerintah Vanuatu selalu berdiri dibelakang dan mendukung gerakan hak penentuan nasib sendiri West Papua. Vanuatu telah merayakan pembentukan ULMWP dan telah menyerahkan tanah dan kantor pusat ULMWP di Port-Vila. Pemerintah Vanuatu juga berusaha keras membantu rakyat Papua untuk mendekolonisasi dari pendudukan Indonesia. Karena PBB belum selesai dekolonisasi West Papua. Dengan pernyataan ini, telah dibantah semua pernyataan dan duduhan Indonesia. Maka Indoensia tidak mempunyai alasan lain untuk membantahnya.
Papua Kembali di Meja PBB
Petisi referendum kemerdekaan West Papua telah diserahkan di Komisi Dekolonisasi tahun 2017 dan di komisi Tinggi HAM 25 Januari 2019. Maka petisi Referendum Papua ditandatangani oleh 1.804.421 orang itu secara realita ada di dua Komisi PBB. Dengan keberadaan petisi ini menyatakan bahwa masalah West Papua telah dikembalikan ke meja PBB.
Dengan demikian Papua tidak lagi menjadi masalah Indonesia tetapi sudah menjadi masalah regional, internasional dan sudah menjadi masalah PBB. Kini petisi yang ditanda tangani oleh 1.804.421 juta atau 1,8 juta suara itu berhadapan dengan suara manipulasi 1,025 juta dalam proses Pepera 1969 di meja PBB. Petisi 1,8 juta itu juga akan mencabut Resolusi PBB 2504 yang menjadi dasar pendudukan Indonesia di tanah Papua itu.
Dengan keberadaan Petisi di PBB itu, maka agenda masalah Papua sudah menjadi jelas dan terarah. Di mana proses pembahasan Papua selanjutnya ada di meja PBB. Orang Papua melalui wadah pemersatu ULMWP dan pemerintah Indonesia duduk secara bersama-sama di meja PBB dan mengatur kemerdekaan West Papua secara damai dan bermartabat.
(Baca juga artikel ini: Petisi Referendum Delegitimasi Pendudukan Indonesia di Papua)
Realita politik ini menyatakan bahwa hanya satu jalan tol membawa bangsa Papua ke alam kemerdekaan dan kedamaian. Posisi petisi di PBB ini juga telah menutup semua pintu-pentu alternatif lain seperti Otonomi khusus, Dialog, Negoisasi dan Perundingan antara bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia. Karena itu, tugas rakyat Papua saat ini adalah mengawal agenda dan proses yang sedang berlangsung ini. Para pejuang juga harus meninggalkan sikap pro dan kontra, kepentingan individu dan kelompok, meninggalkan ego dan merendahkan diri untuk bersatu dan mendorong agenda secara bersama-sama.
Para pemimpin Papua juga harus menunjukan sikap rendah hati, saling menghormati dan membangun rasa bersama. Hanya dengan cara itu anda akan dihormati dan diterima dalam masyarakat. Hanya dengan cara itu anda akan membebaskan masyarakat yang tertindas selama 56 tahun ini.
___________
)* Penulis adalah akademisi Uncen. Saat ini ia sebagai kandidat doktor dari salah satu universitas ternama di Jerman.
Posted by: Admin
Copyright ©Tabloid WANI | Ibrahim Peyon “sumber”
Hubungi kami di E-Mail 📧: tabloid.wani@gmail.com