Artikel PAPUAPost | Edisi 18 Juli 2019
Dalam artikel sebelumnya Gen. WPRA Amnggut Tabi bicara tentang “Penonton dan Komentator Ikut Main dalam Lapangan Papua Merdeka“. Sekarang Gen. Tabi kembali menyinggung sisi lain dari permainan sepak bola, yaitu sebaliknya dari ini, “Apa yang terjadi kalau saling serang justru terjadi dalam satu tim, bukan satu tim melawan tim yang lain?“
Masalahnya lebih rumit, dan satu hal yang sangat pasti,
“Kemenangan TIDAK AKAN PERNAH tercapai! Pertama, karena pemain yang seharusnya mengejar bole sudah melupakan bola, yang terjadi malahan saling mengejar antara pemain. Kedua, kalaupun pemain masih membawa bola, maka bola tidak akan masuk ke gawan lawan, karena bola yang masih ada di kaki masih berputar-putar dengan teman satu tim sendiri.
Demikian sambutan singkat Gen. WPRA Amunggut Tabi di hadapan perwira West Papua Revolutionary Army di Markas Pusat Pertahanan (MPP) WPRA tepat tanggal 16 Juli 2019, seharus sebelum menyaksikan upacara bersejarah dalam kisah perjuangan bangsa Papua, yaitu penyerahan Hadiah “Freedom of Oxford” kepada Hon. Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang juga Sekretaris-Jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK).
Menurut Gen. Tabi, semua orang, baik anak kecil-pun akan membaca dengan jelas tanpa harus dijelaskan, bahwa pada saat satu pemain dalam satu tim menyerang sesama anggota tim sendiri, entah karena alasan apapun, maka pasti-lah pemain yang menyerang itu “tidak tahu main”, dan oleh karena itu “harus dikeluarkan dari lapangan”.
Walaupun begitu, dalam politik tidak persis sama. Cuman kalau ada teman menyerang teman di dalam politik, maka kesan semua orang di dunia ialah justru orang yang menyerang itu dianggap “belum tahu berpolitik” dan karena itu “harus belajar berpolitik”. Karena siapapun kita, baik orang Papua Indonesia maupun Orang PapuaMerdeka, kita semua punya nenek-moyang Orang Asli Papua (OAP), oleh karena itu harus ada garis etika perjuangan yang jelas. Sebagai pejuang harus punya etika berpikir, etika bertutur dan etika perilaku yang masuk norma umum. Salah satu norma yang umum ialah sesama pejuang tidak pernah saling menyerang. Kalau itu terjadi, semua orang pasti tahu, ada yang tidak beres dengan orang yang menyerang. Bukan sebaliknya.
Oleh karena itu Gen. Tabi menekankan entah kapan-pun, bagaimana-pun, semua pasukan West Papua Revolutionary Army (WPRA) tidak boleh mengambil tindakan apa-apa-pun terhadap siapa saja yang merongrong eksistensi WPRA, ULMWP, WPA atau eksistensi individu.
Kita semua harus belajar dari Tuhan Yesus, Tokoh Revolusioner Mahatinggi Sepanjang Masa, bahwa pada saat Dia disalibkan, justru Dia berdoa, “Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Itu bahasa orang-orang revolusioner! Itu nilai dan rasa manusia revolusioner. Revolusioner bukan gila-gilaan haus darah, marah-marah, gosip-gosipan, menyebar teror dan intimidasi kepada sesama pejuang, dan bukan pendendam.
Lanjut Gen. Tabi
Kita berjuang menentang NKRI (Negara Kolonial Republik Indonesia), . TITIK! Kita TIDAK menentang orang Indonesia, APALAGI Orang Asli Papua (OAP).
Kalau ada godaan iblis untuk berpikir sejenak atau berbicara sedikit saja menentang sesama pejuang Papua Merdeka, dan jangankan itu menentang sesama OAP sendiri, entah itu OAP Lukas Enembe dan jajarannya ataupun OAP Merah Putih seperti barisan Ramses Ohee, maka kita harus berdoa begitini:
“Dalam Nama Yesus Sang Revolusioner Mahatinggi Sepanjang Masa, Seantero Jagatraya, saya tengking dan tolak mentah-mentah pemikiran terkutuk ini. Saya berjuang untuk bangsa dan tanah airku. Segala bentuk pemikiran menentang orang-orang saya sendiri, entah apapun alasannya, entah mereka pelayan NKRI, mereka Merah-Putih Papua, atau juga sesama Papua Merdeka dengan posisi dan pendekatan yang tidak sama dengan saya, saya tetap tolak dan tengking DALAM NAYAM YESUS!”
Engkau Raja Damai, datanglah kerejaan-Mu, jadilah kedendak-Mu, dalam perjuangan ini, seperti di Sorga. Ampunilah dosa-dosaku, seperti aku juga mengampuni dosa-dosa semua orang, yang menyayangiku, yang melawanku, yang membenciku, dan yang merencanakan kejahatan terhadapku.
Dengarkanlah doa-ku ini. Aku berdoa dalam Nama Yesus, Sang Revolusioner Mahatinggi sejagat, dan Segala Abad, Raja Damai yang aladi. Amin! Amin! Amin!”
Dilanjutkan dalam sambutan ini bahwa
Siapapun yang tidak sanggup menerima dan mengampuni sesama OAP dan terutama sesama pejuang adalah orang yang gagal dalam perjuangan. Dan siapa saja yang selalu berpikir dan berbicara menentang sesama OAP dan sesama pejuang Papua Merdeka menandangan ketidak-matangan dan ketidak-dewaaan kita secara mental dan psikologis.
Nalar kita masih dalam kelas nalar anak-anak. Anak kecil selalu berpikir tentang apa yang dikerjakan teman lain, apa yang dimiliki teman lain, apa yang dilakukan terhadap teman lain dan dia selalu berusaha mentuntut hal yang sama seperti terjadi pada teman lain, memiliki apa yang dimiliki teman lain, melakukan apa yang dilakukan teman lain. Dia tidak punya rencana, dia bertindak dalam kerangka menyaingi temannya.
Di akhir sambutan ditutup dengan doa pengampunan dan doa berkat. Agar Tuhan Yesus Raja Damai yang mendamaikan manusia dengan Allah juga mendamaikan kita antar sesama bangsa dan sesama pejuang. Doa perlu dinaikkan dan selalu mengingat untuk mengampuni dan melupakan. Doa berkat disampaikan kepada Tuhan Yesus Pohon Berkat untuk mencurahkan berkat-berkat rohani dan jasmani sehingga kita semua menjalani hidup dan perjuangan ini di dalam berkat kasih karunia dan penggembalan-Nya.
Baca artikel PAPUAPost lain, berikut ini:
- Penonton dan Komentator Ikut Main dalam Lapangan Papua Merdeka, Akibatnya?
- Tiga Ciri Utama Pejuang Papua Merdeka
Copyright ©PAPUAPost “sumber”
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com