Pasukan kolonial Indonesia dari Korps Brimob di Sentani, Jayapura, Papua (9/09). |
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Pernyataan, 9 September 2019
Dalam proses memenangkan perjuangan kita melawan Indonesia. Secara politis, legal dan moral, argumentasi kita berhasil; 18 negara di kawasan Pasifik mengumumkan dukungan mereka untuk West Papua di Forum Kepulauan Pasifik (PIF).
Hanya satu taktik yang tersisa untuk Indonesia,yaitu: represi. Enam ribu tentara penjajahan baru dikerahkan di Papua sejak mulainya pergerakan bulan lalu, dan mereka melakukan penangkapan, pengacauan dan pembunuhan. Kita tahu bahwa militer Indonesia tidak berada di sana untuk melindungi rakyat West Papua, tapi untuk membawa kekerasan dan ketakutan ke rumah kita.
Rakyat Papua ketakutan. Kita masih trauma akibat operasi militer Indonesia seperti Operasi Trikora tahun 1963, operasi di dataran tinggi tahun 1977-1978 yang disebut oleh Asian Human Rights Commission sebagai ‘genosida yang tak dianggap’ dan operasi militer yang masih terus berlanjut di Nduga, yang sejauh ini sudah memaksa 35,000 orang untuk mengungsi. Pada tanggal Agustus 28, enam orang ditembak mati oleh tentara Indonesia di Deiyai saat melakukan aksi demonstrasi damai.
Puluhan aktivis damai sudah ditangkap. Kemarin, Buchtar Tabuni, Wakil Ketua Dewan Legislatif ULMWP, ditangkap. Polisi Indonesia menembaki rumah Buchtar di Kamwolker, Abepura sebanyak 60 kali sebelum menangkapnya. Mereka menembaki dan menangkapi aktivis-aktivis damai, yang menuntut diselenggarakannya referendum demokratik sesuai dengan mekanisme internasional.
Saya, Ketua ULMWP, menuntut Indonesia melepaskan semua tahanan politik, termasuk Buchtar Tabuni yang baru ditangkap, dan juga Bazoka Logo.
Karena pemblokiran internet oleh pihak Indonesia, kita tidak bisa memastikan apa yang sebetulnya terjadi di Papua Barat pada saat ini. Pemerintahan Indonesia takut kepada mereka yang mengadvokasi dan mengorganisir, jadi mereka membalasnya dengan kekerasan dan intimidasi.
Saat kita melakukan aksi damai di jalanan menuntut referendum, aparat Indonesia menangkap dan membunuh kita. Saat kita mengundang media internasional untuk mendengarkan cerita kita, pemerintah Indonesia melarang mereka masuk. Saat kita berusaha memberitahu dunia tentang apa yang terjadi melalui media sosial, Indonesia memblokir internet. Papua Barat seakan-akan menjadi penjara terbesar di dunia.
Pemerintah Indonesia tidak mau mengurus permasalahan sebenarnya: hak kita untuk menentukan nasib sendiri, dan tuntutan kita untuk referendum demokratis. Malahan, penjahat perang seperti Wiranto berusaha mengalihkan isu ini dengan menjadikannya ‘konspirasi’ ULMWP dan KNPB. Bukan kita yang melakukan tindak kekerasan: kita bekerja melalui forum internasional seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF) dan PBB. Indonesia adalah rekan MSG dan mitra dialog PIF. Kita sudah duduk semeja dengan Indonesia di forum internasional – mengapa Indonesia berusaha melabeli kita sebagai ‘kriminal’ dan ‘separatis?’
Indonesia wajib menghormati kita sebagai mitra yang setara dan memperbolehkan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM memasuki Papua Barat agar dunia bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya menyerukan agar seluruh dunia bertindak sekarang dan menuntut ditariknya 6,000 tentara dan polisi Indonesia dari Papua Barat serta dilepaskannya semua tahanan politik.
Di sepangjang Indonesia, dari Jakarta sampai Sulawesi, di mana 835 mahasiswa asal Papua Barat pulang kampung karena ancaman yang mereka terima, dan dari umpatan rasis sampai ular yang dilempar melalui jendela mereka. Mereka siap memilih di dalam referendum kemerdekaan. Sudah waktunya Indonesia memerbolehkan kita menentukan nasib dan takdir kita sendiri.
Benny Wenda
Ketua ULMWP
Posted by: Admin
Copyright ©The Official site “sumber”
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Amen, it,s right. Paul in Galatians wrote "Have I now become your enemy by telling the truth? Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?