Demo aktivis Papua Merdeka di patung kuda, Semarang. ©2017 merdeka.com/imam buhori |
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D
1. Legitimasi, dukungan dan pengakuan internasional
Disebut kesamaan posisi dalam topik tulisan ini ialah terkait dalam konteks konflik West Papua antara Indonesia dengan bangsa Papua. Kita harus akui bahwa Indonesia ialah negara berdaulat atas teritori Aceh sampai Maluku sesuai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Berbeda dengan West Papua. Tidak ada hukum internasional manapun yang mengakui bahwa West Papua bagian sah dari negara Indonesia. Karena itu, klaim Indonesia atas kekuasaannya di teritori West Papua adalah ilegal dan tidak sah secara hukum internasional.
Bagi bangsa Papua, pendudukan Indonesia di tanah Papua adalah tidak sah dan ilegal, sehingga ketika Indonesia hadir di Papua, rakyat West Papua terus melakukan berbagai perlawanan hingga sekarang. Berbagai organisasi perlawanan telah dibentuk dan berjuang, ratusan pejuang dan rakyat teleh gugur. Pada akhirnya, bangsa Papua bersatu dalam lembaga politik United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) pada Desember 2014 di Vanuatu. ULMWP pun segera mendapat legitimasi secara luas baik dari dalam negeri sendiri maupun di dunia internasional. ULMWP sendiri adalah persatuan dari tiga organisasi politik induk bangsa Papua yang memiliki basis sangat luas, maka segera diakui dan diterima bangsa Papua. Pada 2017 legitimasi bangsa Papua diwujudkan dalam sebuah petisi referendum yang bersejarah dan ambisius dengan tanda tangan 1,8 juta orang asli Papua dan para migran. Pada tahun 2019, empat gereja besar Papua yang berbasis orang asli Papua yakni: Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-TP), Gereja Kingmi di Tanah Papua, Gereja Baptis Papua dan Gereja GIDI Papua memberikan legitimasi secara penuh kepada ULMWP sebagai lembaga politik bangsa Papua. Pasca protes rasisme September 2019, para anggota dewan dari dua provinsi Papua – dan Papua Barat, kota dan kabupaten di seluruh Papua– memberikan legitimasi kepada ULMWP. Di mana para anggota dewan itu bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo beserta kabinetnya di Jakarta dan mereka mendesak Jakarta untuk harus dialog dengan ULMWP sebagai lembaga politik bangsa Papua. Pada 27 Februari 2020, dua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua dan Papua Barat – telah memberikan legitimasi kepada ULMWP secara resmi dalam sidang pleno luar biasa MRP di Jayapura. MRP mengakui ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua dan merekomendasikan Jakarta untuk harus berdialog dengan ULMWP secara damai. Jauh sebelumnya, Jaringan Damai Papua (JDP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan lembaga-lembaga LSM di Papua dan Jakarta mengakui ULMWP sebagai lembaga politik bangsa Papua dan Jakarta harus dialog dengan ULMWP secara damai. Dengan demikian seluruh elemen bangsa Papua termasuk DPR dan MRP sebagai lembaga resmi Indonesia di Papua resmi mengakui ULMWP sebagai otoritas atas kekuasaan dan kedaulatan teritorial dan bangsa Papua.
Demikian juga pengakuan dan legitimasi internasional terhadap ULMWP dan bangsa Papua. Dengan segera ULMWP diakui sebagai lembaga politik resmi bangsa West Papua di berbagai forum internasional. Dukungan negara dan pemerintah Vanuatu sebagai sponsor utama perjuangan West Papua ialah bentuk pengakuan resmi terhadap perjuangan bangsa Papua. Bahkan pemerintah Vanuatu telah menyerahkan tanah dan gedung sebagai kantor kedutaan besar bangsa Papua yang pertama di dunia. Maka ULMWP sebagai otoritas atas perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua telah diakui secara resmi oleh negara-negara berdaulat anggota Melanesian Spearheard Group (MSG) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Salomon Islands pada 2015. ULMWP diterima sebagai pengamat, sedangkan Indonesia diterima sebagai asosiasi. Posisi ULMWP sebagai pengamat dan Indonesia sebagai asosiasi ini adalah bentuk pengakuan resmi terhadap dua entitas negara yang berbeda dan berkonflik. MSG mengakui kedaulatan Indonesia atas Aceh sampai Maluku dibawah Lembaga palsu yang disebut Melanesia-Indonesia atau (Melindo), sedangkan bangsa Papua diakui melalui ULMWP sebagai otoritas kedaulatan resmi atas bangsa Papua. Maka posisi Indonesia dan ULMWP dalam Melanesian Spearheard Group (MSG) adalah setara dan sama.
(Simak beritanya, ini: 1 Juli 2019, ULMWP Resmi Umumkan Militer West Papua)
Sejak ULMWP resmi menjadi pengamat di Melanesian Spearheard Group, dengan segera Pacific Islands Forum (PIF) mengakui ULMWP sebagai sebuah entitas negara-bangsa. Secara teratur negara-negara Pasifik pertahankan agenda West Papua dan ULMWP selalu diundang untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kepulauan Pasifik (KTT-PIF). Sejak 2015, masalah West Papua tidak pernah absen dari agenda PIF dan Papua selalu menjadi agenda utama dalam tiap level pertemuan – pertemuan masyarakat, tingkat senior dan Menteri luar negeri sampai tingkat kepala negara. Para kepala negara PIF juga telah dibentuk Pacific Coalition for West Papua, di Mikronesia. Secara teratur para kepala negara Pasifik mengangkat masalah West Papua di komisi HAM dan sidang Umum PBB. 16 Agustus 2019 Pacific Islands Forum secara resmi menetapkan resolusi West Papua yang diajukan oleh pemerintah Vanuatu dan ULMWP, semua negara Pasifik pengecualian Australia telah adopsi resolusi Papua itu dengan suara bulat. Resolusi ini merupakan puncak kemenangan sekaligus pengakuan terhadap ULMWP dan West Papua sebagai entitas sebuah negara-bangsa di Pasifik Selatan.
Sejak ULMWP terbentuk, negara-negara Pasifik secara teratur membawa masalah Papua di berbagai forum internasional baik dalam kerja sama bilateral maupun multilateral. Dalam hubungan diplomatik bilateral beberapa negara seperti Vanuatu, Papua New Guinea, Salomon dan Tonga pernah bahas masalah Papua dengan negara lain misalnya pertemuan mantan perdana Menteri Peter O´Neil dengan perdana Menteri Jepang tahun 2016, pemerintah Vanuatu dengan Inggris, dan wakil presiden Selandia Baru, pemerintah Vanuatu dengan Sekjen PBB tahun 2019. Tiap tahun negara-negara Pasifik secara teratur bawa masalah Papua dalam pertemuan komisi HAM dan dalam Sidang Umum PBB. Pemerintah Vanuatu juga telah bawa masalah Papua dalam beberapa pertemuan multilateral semisal dalam pertemuan negara-negara anggota Non-Block tahun 2017, dan pertemuan negara-negara anggota persemakmuran tahun 2018 di Inggris.
Dalam berbagai pertemuan itu, para pemimpin ULMWP selalu menjadi bagian dari delegasi pemerintah Vanuatu dan beberapa negara Pasifik lain seperti Solomon Island dan Tonga. Pemimpin ULMWP, tuan Benny Wenda juga telah bertemu dengan para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa, sederet kepala negara, menteri dan pejabat diplomat lain. Pertemuan-pertemuan pada tingkat itu hanya bisa dilakukan oleh negara berdaulat dan bukan organisasi perjuangan. Tetapi, ULMWP telah mencapai pada tingkatan diplomati negara berdaulat, hal ini bertanda bahwa West Papua adalah sebuah entitas negara-bangsa. Tingkat-tingkat diplomasi itu adalah bentuk-bentuk dukungan dan pengakuan terhadap ULMWP dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.
Tahun 2019 adalah tahun dimana bangsa Papua telah mencapai kemenangan tertinggi dan sangat signifikan dalam sejarah perjuangan Papua Merdeka. Dalam tahun 2019 lalu, ULMWP telah mencapai kemenangan secara maraton, karena itu pemimpin ULMWP tuan Benny Wenda mengatakan tahun 2019 ialah tahun kemenangan maraton. Pada 26 Januari 2019, pemerintah Vanuatu sponsori pemimpin ULMWP dan telah menyerahkan petisi referendum 1,8 juta kepada Michelle Bachelet, ketua komisi HAM PBB di Jenewa.
Dua bulan kemudian masalah Papua masuk dalam agenda pertemuan negara-negara persemakmuran di Inggris, dimana para pemimpin ULMWP diundang secara resmi untuk menghadiri pertemuan itu. 18 Mei 2019 sekjen PBB, António Guterres mengunjungi Vanuatu dan salah satu agenda utama dalam pertemuan ini adalah masalah West Papua. Setelah pertemun itu, António Guterres mengatakan bahwa PBB adalah lembaga resmi yang memiliki prosedur untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia, dan masalah West Papua juga harus mengikuti prosedur tersebut. Maksud pernyataan itu ialah masalah Papua harus didorong ke komisi HAM PBB agar delegasi PBB mengunjungi Papua untuk melihat kondisi pelanggaran hak asasi manusia.
Tanggal 18 Juli 2019, ketua ULMWP telah menerima penghargaan Oxford Freedom of the City Award dari pemerintah kota Oxford. Penghargaan ini ialah bentuk pengakuan resmi pemerintah atas perjuangan tuan Benny Wenda secara individu dan pemimpin, sekaligus perjuangan bangsa Papua. Penghargaan ini merupakan satu bentuk pengakuan tertinggi demi perdamaian dunia dan tuan Benny Wenda masuk dalam daftar pemimpin dunia.
Seperti yang telah disebutkan, 16 Agustus 2019 satu hari sebelum perayaan proklamasi 17 Agustus, negara-negara Pasifik telah adopsi resolusi untuk West Papua dalam pertemuan Pacific Islands Forum di Tuvalu. Kemenangan ULMWP ini adalah sebuah kekalahan diplomasi bagi Indonesia pada hari kemerdekaan mereka. Sebagai reaksi atas kekalahan itu, gabungan tentara, polisi, kelompok reaksioner dan beberapa tokoh partai Gerindra di Surabaya mobilisasi gerakan rasisme, dengan meneriakan monyet dan kera terhadap mahasiswa Papua di Asrama Surabaya. Tindakan-tindakan rasisme ini telah ditanggapi serius, bangsa Papua bersatu dan mobilisasi masa serentak di seluruh Papua untuk protes rasisme itu, dengan suara bulat bangsa Papua menuntut agenda referendum kemerdekaan.
September 2019 dalam sidang Umum PBB di New York, ketua komisi HAM PBB Michelle Bachelet menetapkan bahwa status West Papua ditetapkan sebagai wilayah konflik dalam daftar Perserikatan Bangsa-bangsa. Hal ini sebagai sebuah langkah maju dan tambah daftar kemenangan bangsa Papua dalam forum perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak 2018, Benny Wenda telah mencapai lusinan keberhasilan diplomati di berbagai level yang tidak perlu disebut dalam tulisan ini. Puncak dari semua diplomasi ULMWP dibawah kepemimpinan Benny Wenda pada 9-10 Desember 2019, di mana 79 negara-negara anggota Africans, Caribbeans and Pacific (ACP) adopsi resolusi West Papua secara resmi dalam pertemuan ACP di Nairobi, Republik Kenye. Resolusi West Papua itu diadopsi oleh 79 Negara ACP secara resmi dengan suara bulat baik di tingkat Menteri Luar Negeri maupun di tingkat kepala negara. Adopsi resulusi baik di tingkat Forum Kepulauan Pasifik, maupun di tingkat ACP adalah puncak kemenangan bagi bangsa Papua selama 57 tahun dibawah pendudukan kolonial Indonesia. Adopsi resolusi oleh 18 negara di Pasifik maupun 79 negara ACP adalah dukungan dan pengakuan resmi terhadap ULMWP sebagai otoritas atas kedaulatan bangsa Papua, sekaligus pengakuan atas entitas negara-bangsa West Papua.
Dukungan 79 negara ACP ini bila secara matematika politik dengan 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, 40,9% negara anggota PBB adopsi resolusi West Papua. Dengan demikian diperlukan lebih dari 15% lagi untuk mendapatkan dukungan suara majoritas dalam sidang umum PBB. Di PBB sendiri terdiri dari sejumlah blok, maka ULMWP dan bangsa Papua telah mendapat dukungan dari tiga blok – Pasifik, Afrika dan Karibian – dan masih banyak blok lain yang harus dikerjakan semisal Uni-Eropa, Eropa Timur, Arabis, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Tentu saja masing-masing blok ini memiliki kepentingan sendiri terkait dengan masalah Papua. Tetapi, ULMWP telah mencapai tingkat maksimal, sehingga diharapkan bangsa Papua tetap konsisten mendukungan ULMWP sebagai otoritas entitas negara bangsa West Papua.
Dilihat dari progres itu, secara politik pemerintah Indonesia dan United Liberation Moverment for West Papua memiliki posisi setara dan sama. Kesamaan posisi itu ditandai dengan tingkat-tingkat diplomasi dilakukan ULMWP, mulai dari tingkat diplomat atau duta besar, tingkat menteri, kepala negara dan para pemimpin organisasi internasional. Baik organisasi tingkat regional seperti MSG, PIF sampai tingkat internasional seperti ACP, negara-negara Persemakmuran, Uni-Eropa sampai di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Maka posisi Indonesia dan ULMWP sama dan setara secara internasional.
2. Metode Diplomasi Indonesia
Sejak lama Indonesia berusaha redam dukungan politik internasional atas West Papua dengan sejumlah metode dibangun. Metode diplomatik yang sering digunakan pemerintah Indonesia terdiri: (1). Dalam berbagai forum internasional dan hubungan diplomatik selalu mengatakan bahwa masalah Papua ialah masalah internal Indonesia. Karena itu, negara manapun tidak berhak intervensi persoalan West Papua. (2). Para pejabat dan diplomat Indonesia selalu mengatakan bahwa persoalan West Papua sudah selesai dengan resolusi PBB 2405 di New York 1969, maka Papua resmi menjadi bagian integral Indonesia. (3). Tidak ada negara manapun di dunia ini mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.
(4). Pemerintah Indonesia menerapkan metode diplomasi ekonomi. Pendekatan diplomatik ekonomi ini diterapkan dengan cara: Pertama, buka akses kepada negara-negara lain untuk menanamkan investasi di tanah Papua, semisal LNG BP di Bintuni kepada Inggris, Freeport kepada Amerika dan 27 negara pemiliki saham lain di Freeport, multi perusahaan MIFFE di Merauke. Kedua, Indonesia melakukan berbagai perjanjian bilateral ekonomi dengan negara-negara lain seperti Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Fiji, dan Soloman Island. Ketiga, Indonesia bentuk organisasi diplomatik ekonomi seperti First Pacific Exposition Juni 2019 di Selandia Baru. Keempat, Inonesia rekrut para pemimpin dan diplomat negara-negara Pasifik dan sokong mereka dengan nilai uang tertentu. Seperti diakui oleh para diplomat negara-negara Melanesia yang diundang mengunjungi Papua 13-14 Januari 2014. Para delegasi negara-negara MSG mengakui, bahwa mereka telah diberikan amplop dari pemerintah Indonesia yang berisi nilai uang tertentu di sebuah Hotel di Jakarta.
(5). Indonesia bentuk forum-forum ekonomi, budaya dan politik dengan klaim-klaim politik tertentu, antara lain: Kelompok Melanesia-Indonesia (Melindo) tahun 2015, First Pacific Exposition tahun 2019, Regional Security Strategy (RSS) melibatkan negara-negara Melanesia. Kegiatan ini berlangsung 23 Oktober 2017 di hotel Sheraton Bandung dengan tema Working Group Meeting. Kegiatan ini diprakarsai Tito Karnavian kapolri saat itu. Kegiatan Festival Budaya Melanesia 2015 yang dilaksanakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. (6). Indonesia rekrut orang-orang Papua yang menjadi tameng diplomasi Indonesia di internasional, seperti contoh almarhum Franzalbert Yoku, Nicolas Meset, Michael Manufandu, Marinus Yaung, dll. (7). Indonesia dengan diplomatik ekonomi dan menyokong nilai uang tertentu di negara-negara tertentu agar mereka mendapat dukungan untuk menjadi anggota lembaga-lembaga internasional. Contoh Indonesia bayar Pemerintahan Peter O´Neil di Papua New Guinea dan Pemerintah Piji untuk menjadi anggota asosiasi di MSG, dengan metode yang sama Indonesia juga menjadi anggota Komisi Dekolonisasi atau anggota komisi (24), anggota Komisi Hak Asasi manusia, dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
(8). Indonesia tempatkan diplomat-diplomat murahan dan tidak berkualitas dalam sidang Umum PBB untuk memberikan hak jawab atas pidato para pemimpin Pasifik dalam berbagai forum PBB. Dimaksud murahan dan tidak berkualitas ialah diplomat yang tidak beretika, emosinal dan kasar. Dengan cara menyerang negara-negara lain dengan bukti yang tidak valid dan kredibel. Seperti kita saksikan pada sidang Umum PBB tahun 2015, 2016, 2017, 2018 dan 2019. Satu cara yang lucu ialah seperti terjadi tahun 2019, di mana Indonesia bawa seorang diplomat Indonesia dari Maluku karena ciri fenotipe berkulit gelap dan rambut bergelombang dan diplomat asal Maluku itu diklaim sebagai diplomat Orang asli Papua. (8). Pemerintah Indonesia rekrut para pemimpin Melanesia dan Pasifik dan dibiaya politik domestik mereka untuk menggulingkan pemerintah sah di negara-negara Pasifik yang mendukung perjuangan Papua Merdeka. Metode ini diterapkan dan berhasil menggulingkan pemerintah berkuasa seperti peristiwa tiga kali penggulingan di Vanuatu, penggulingkan perdana Menteri Sogavare di Solomon, dan penggulingan almarhum perdana Menteri ʻAkilisi Pohiva di Tonga.
(9). Pemerintah Indonesia selalu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang diskreditkan negara-negara Pasifik yang mendukung Papua Merdeka. Di sisi lain, Indonesia klaim diri sebagai negara demokrasi, negara maju secara ekonomi dan negara besar. Kemudian, negara-negara Pasifik ditempatkan sebagai negara-negara kecil, negara miskin dan tidak demokratis, maka Indonesia siap membangun negara-negara itu dengan milyaran rupiah. Karena itu, 23 Februari 2018 Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengajak 43 Kementerian dan Lembaga untuk membantu pembangunan negara-negara Pasifik Selatan dengan nilai milyaran rupiah.
Bila dilihat dari metode-metode diplomasi Indonesia dalam rangka menghadapi dukungan internasional atas perjuangan kemerdekaan bangsa Papua di atas, saling bertolak belakang antara satu pendekatan dengan pendekatan lain. Pertama, pada poin 1-3 di atas bertolak belakang dengan poin 4-9. Pada satu sisi, Indonesia selalu mengatakan masalah Papua telah selesai, Papua masalah internal Indonesia, dan tidak ada negara yang mendukung perjuangan Papua. Tetapi, bila dilihat dari metode-metode selanjutnya digambarkan diatas bahwa Indonesia dengan berbagai cara melobi dunia internasional untuk meredam dukungan atas West Papua. Hal ini membuktikan bahwa klaim Indonesia atas integrasi Papua ke dalam Indonesia itu sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, pernyataan 1-3 di atas telah gugur dengan sendirinya dengan alasan poin 1-9 di atas, maka pernyataan itu tidak perlu ditanggapi oleh bangsa Papua. Pernyataan semacam itu dianggap sebagai pernyataan “sampah“ yang tidak memiliki makna apapun dalam perjuangan bangsa Papua.
Kedua, metode 4-8 itu bertolak belakang dengan metode 9 di atas. Indonesia selalu mengatakan bahwa negara-negara pasifik itu, negara-negara kecil, tidak maju dan tertinggal, dan tidak demokrasi. Tidak satu level dengan Indonesia yang diklaim sudah maju, demokrasi dan terbuka. Tetapi mengapa Indonesia harus takut kepada negara-negara kecil itu? Karena ketakutan, mereka harus bawa milyaran rupiah dan suap para pemimpin negara-negara Pasifik itu. Maka pernyataan-pernyataan yang digambarkan pada poin 9 itu gugur dengan sendirinya, tidak berguna dan dianggap sebagai pernyataan “sampah“ tidak bermakna. Ketiga, Indonesia telah lupa ingatan bahwa negara-negara Pasifik itu ialah negara-negara berdaulat, memiliki posisi dan hak suara sama dengan Indonesia di PBB dan dunia internasional. Meskipun secara geografi dan penduduk relatif kecil, tetapi hal itu tidak menjadi dasar bagi mereka. Keempat, Indonesia juga lupa bahwa negara-negara Pasifik tidak memiliki regam jejak pelanggaran hak asasi manusia, mereka juga negara paling demokrasi dalam melakukan pemilihan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Satu hal paling demokrasi adalah negara-negara Pasifik melaksanakan referendum sebagai dasar dan demokrasi paling tinggi untuk penentuan nasib sendiri di beberapa wilayah. Bila Indonesia sebagai anggota asosiasi MSG, maka Indonesia harus mengikuti langkah pemerintah PNG yang menerepkan referendum di Bogenville, dan pemerintah Prancis di Kanaky. Indonesia sebagai anggota asosiasi MSG harus mengikuti langkah itu untuk menerapkan referendum di West Papua. Bila tidak mengikuti langkah itu, Indonesia maka klaim dirinya sebagai negara demokrasi itu harus dipertanyakan. Indonesia akan tetap selalu dipermalukan oleh negara-negara Melanesia dan Pasifik tentang klaim demokrasinya itu.
3. Diplomasi pembohongan.
Dalam diplomasi Indonesia dengan berbagai metode di atas dibangun dengan narasi-narasi pembohongan dan kemunafikan. Karakter pembohong dan munafik itu adalah struktur metal dari bangsa Indonesia sendiri. Hal ini sudah digambarkan oleh antropolog-antropolog asli Indonesia sendiri seperti Profesor Koentjaraningrat, Moctar Lubis dan lain-lain. Karakter mental ini terkonstruksi dalam sistem negara-bangsa, dan karakter mental itu ditampilkan oleh penyelenggaran negara Indonesia kini.
Pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Papua dan bernyanyi dihadapan bangsa Papua bahwa dalam waktu dekat akan menyelesaikan kasus Paniai berdarah. Janji Presiden Jokowi adalah satu kebohongan publik yang dilakukan oleh kepala negara. Pembohongan presiden Jokowi itu sudah genap lima tahun, dan 16 Februari 2020 kasus Paniai ditetapkan sebagai kategori pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS-HAM). Pada 2014 kepala Staf Presiden waktu itu, Luhut Binsar Panjaitan, ke Papua dan bertemu para pemimpin Gereja. Dalam pertemuan itu, Luhut berjanji akan selesaikan semua kasus pelanggaran HAM di Papua. Pembohongan dan rakayasa para pejabat Indonesia ini telah menjadi karakter dasar mereka. Kami selalu mendengar di berbagai media bahwa pejabat Indonesia selalu membangun pembohongan publik, rekayasa dan manipulasi dalam berbagai kasus di Papua. Hal ini tidak mengherankan, karena Indonesia menduduki Papua dengan cara itu. Indonesia aneksasi Papua dengan cara rekayasa, manipulasi dan pembohongan, maka karakter itu masih dipertahankan hingga kini. Para pejabat militer dan polisi di Papua dan Jakarta selalu tampil dengan narasi-narasi rekayasa dan pembohongan publik menjadi dasar kepribadian dan kebiasaan mereka.
Dalam minggu ini rekayasa dan pembohongan publik itu datang dari Menkopolhukam, Profesor Mahfud MD, ia mengatakan bahwa selama masa presiden Jokowi tidak ada pelangaran HAM di tanah Papua. Tetapi pernyataan Mahfud MD telah dipermalukan oleh KOMNAS HAM Republik Indonesia, di mana kasus Paniai 2014 ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat. Dalam minggu ini, Mahfud MD juga berbohong kepada publik bahwa data 57 tahanan politik Papua dan 243 korban kematian akibat operasi militer di Nduga tidak diterima presiden Jokowi, data sampah dan data orang yang tidak jelas. Tetapi, pengurus senat Mahasiswa Universitas Indonesia menyerahkan data itu secara langsung di tangan Mahfud. Hal ini merupakan staregi jitu, dengan cara itu profesor Mahfud MD dipermalukan di depan publik. Memang pantas, profesor rasis seperti ini pantas dipermalukan di depan publik dengan cara seperti dilakukan BEM UI itu.
Karakter pembohongan inilah diterapkan dalam diplomasi politik Indonesia di luar negeri dengan berbagai pendekatan telah digambarkan di atas. Diplomasi pembohongan itu dilakukan terutama di Australia, Selandia Baru dan di negara-negara Pasifik. Metode-metode pembohongan diplomasi antara lain: (1). Indonesia mengatakan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia di West Papua karena Indonesia ialah negara demokrasi terbesar di dunia. (2). Isu pelanggaran yang disuarakan orang Papua ialah kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. (3). Pemerintah Indonesia sudah memperbaiki pelanggaran hak asasi manusia dan pelaku pelanggaran sudah diproses hukum. (4). Pemerintah Indonesia sudah menerapkan demokrasi di tanah Papua maka orang Papua bebas menikmati demokrasi dan kedamaian. (5). Pemerintah Indonesia sudah memberikan otonomi khusus Papua dengan gucuran dana triliunan rupiah untuk dua provinsi Papua. (6). Pemerintah sedang membangun kesejahtraan orang Papua dan orang Papua sudah menjadi makmur. (7). Presiden Jokowi membangun infrastruktur untuk memajukan pembangunan dan kesejatraan bangsa Papua. (8). Perhatian presiden Jokowi sangat besar bagi Papua karena Jokowi telah mengunjungi tanah Papua berulang kali.
Delapan poin diatas selalu menjadi bahan diplomasi tentang West Papua di dunia internasional. Poin-poin sejenis itu selalu menjadi bahan diplomasi untuk meyakinan dunia internasional dalam menghadapi diplomasi ULMWP dan negara-negara pendukung perjuangan bangsa Papua maupun dalam berbagai forum internasional seperti di komisi HAM dan sidang Umum PBB.
Pada sisi lain, Indonesia klaim melakukan berbagai perubahan dan kemajuan di tanah Papua, tetapi, Indonesia sendiri tidak terbuka untuk menerima kunjungan pihak internasional untuk akses ke West Papua untuk semua perubahan itu. Indonesia melarang kunjungan media asing, pengamat internasional, delegasi MSG, dan delegasi pencari fakta PIF dan kunjungan Komisi HAM PBB. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa mereka bisa dan mampu untuk membohongi dunia internasional dengan cara-cara tidak beretika dan tidak bermoral itu. Dunia internasional tidak buta atas diplomasi pembohongan ini, dunia saat ini sudah terbuka, dan mata dunia sedang menonton Indonesia.
Masa pembohongan publik pemerintah Indonesia tidak bertahan lama, masa pembohongan publik akan segera berakhir. Indonesia akan diadili dan dipermalukan dunia internasional. Hati ini adalam masa dimana Indonesia dipermalukan di publik internasional. Hari ini adalah masa revolusi bagi bangsa Papua. Masa revolusi dari kolonialisme Indonesia. Masa di mana Indonesia harus dihukum dan dipermalukan. Hal itu telah dimulai dari Pacific islands Forum di Tuvalu dan Africans, Caribbeans and Pacific di Nairobi, Republic Kenye, Afrika Timur. Minggu lalu presiden Jokowi dipermalukan di gedung parlemen Australia, di depan publik dan dari pemimpin nasional Australia. Pemerintah Australia dan Parlemen Nasional Australia sudah tidak percaya terhadap janji-janji palsu dan pembohongan publik pemerintah Indonesia. Memang sangat pantas dan layak, presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia pantas dan layak dipermalukan oleh publik nasional dan internasional atas masalah West Papua. Kepala negara dipermalukan di depan publik, digedung parlemen nasional adalah menghancurkan martabat negara dan kekalahan diplomasi internasional.
4. Kekalahan diplomasi Indonesia
Telah dijelaskan bahwa metode diplomasi internasional atas West Papua kontrovesi satu pendekatan dengan lainya. Metode-metode itu pun berbasis pada rekayasa dan pembohongan. Pada sisi lain, dunia internasional sudah tahu bahwa aneksasi Papua tidak sah secara hukum internasional karena tidak ada hukum internasional manapun yang mengakui West Papua sebagai bagian dari negara Indonesia. Publik internasional tidak tahu proses sejarah itu, tetapi seiring perkembangan perjuangan nasional bangsa Papua, para pejuang Papua telah berhasil membangun kesadaran masyarakat internasional. Kesadaran publik internasional ini secara masif dibangun setelah Free West Papua Campaign didirikan oleh Benny Wenda tahun 2003 di Inggris kemudian diluncurkan Internasional Parlementarian for West Papua (IPWP), dan Internasional Lawyers for West Papua (ILWP). Seiring dengan itu, perjuangan tokoh-tokoh Papua lain di Australia, Pasifik dan Amerika membangun kesadaran internasional.
Kampanye faksi-faksi perjuangan politik itu diperkuat dengan lembaga-lembaga hak asasi manusia dan lembaga-lembaga gereja di tanah Papua, lembaga lembaga HAM di Indonesia dan internasional. Khusus lembaga-lembaga HAM internasional itu telah bersatu dalam satu wadah koordinatif disebut International Coalition for Papua (ICP) yang berkantor pusat di Jerman. Lembaga-lembaga HAM ini advokasi dan dokumentasi data kejahatan militer dan pemerintah Indonesia. Dokumen-dokumen kejahatan itu telah memberikan konstribusi dalam membangan kesadaran internasional.
ULMWP terbentuk, agenda diplomasi bangsa Papua dijalankan secara sistematis, terstruktur dan terpimpin, ULMWP diakui secara resmi oleh berbagai organisasi internasional dan negara-negara berdaulat. Dalam posisi itu, para pemimpin ULMWP hadir sebagai representasi resmi bangsa Papua dan sekaligus sebagai otoritas atas entitas negara-bangsa West Papua. Dalam posisi ini, ULMWP dilihat sebagai pemerintahan transisi yang memiliki otoritas kekuasaan atas bangsa dan negara Papua yang akan segera dibentuk. Maka, diplomasi pembohongan Indonesia telah dibuka dan diketahui pihak internasional.
Lebih dari 57 tahun Indonesia berhasil bangun diplomasi pembohongan di berbagai negara dan organisasi internasional dengan pendekatan diplomatik telah digambarkan di atas. Tantangan berat yang telah dilalui ULMWP adalah diplomasi aduh domba Indonesia dengan pendekatan ekonomi di negara-negara Pasifik. Indonesia terapkan diplomasi adu domba dengan tiga cara: Pertama, pemerintah Indonesia dekati para pemimpin oposisi di negara-negara Pasifik dan mendorong mereka dengan biaya untuk menggulingkan pemerintah berkuasa yang mendukung perjuangan bangsa Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia melobi pemerintah berkuasa di negara-negara itu dengan tawaran kerja sama ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan pertahanan keamanan. Ketiga, pemerintah Indonesia membentuk blok antara negara di Pasifik, misalnya Indonesia kerja sama dengan PNG dan Fiji agar negara-negara itu berhadapan dengan Vanuatu dan Salomon islands di forum MSG. Tetapi masa itu sudah terlewati, negara-negara MSG sudah ambil kendali sendiri.
Salah satu anggota DPR paling vokal tentang diplomasi Pasifik waktu itu adalah Tantowi Yahya. Tahun 2017, Tantowi Yahya ditunjuk sebagai duta besar di Selandia Baru dengan misi khusus menghadapi diplomasi kemerdekaan Papua di Pasifik. Dalam rangka itu, ia sangat aktif melakukan berbagai kegiatan dan propaganda untuk menghadapi dukungan kemerdekaan Papua di negara-negara Pasifik itu.
Pada 2017 Tantowi Yahya menggagas bahwa DPR bentuk Kaukus Papua dan berkunjung ke negara-negara di Pasifik untuk merangkul mereka dan mengcounter berbagai isu terkait Papua. Forum itu kemudian dibentuk dengan nama Forum Parlemen Indonesia-Pasifik, atau Pacific Parliamentary Partnership dan kegiatan pertama dilakukan 23 Juli 2018 di Grand Hyatt, Jakarta. Acara ini dibuka ketua DPR Bambang Soesatjo dan kegiatan ini melibatkan para pemimpin dan anggota Parlemen dari sebelas negara Pasifik yakni: Mikronesia, Fiji, Kribati, Nauru, Maschall islands, Salomon Islands, Tonga, Francis Polinesia, Cook Islands, Papua New Guinea dan kaledonia Baru.
Sejak 2011 para pemimpin dan diplomasi Indonesia secara aktif melakukan diplomasi di negara-negara Pasifik, pada 17-19 Juni 2014 presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Fiji untuk meredam masalah Papua. Februari 2015 Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengunjungi Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Fiji dalam upaya untuk meredam dukungan terhadap West Papua. Mei 2015 Presiden Jokowi dan rombongan mengunjungi PNG dan Fiji, dalam kunjungan itu presiden Jokowi memberikan tekanan kepada kedua negara itu, dan perpecahan diantara para pemimpin negara-negara Melanesia terhadap dukunga tentang isu Papua. Salah satu buah dari Kunjungan itu ialah Indonesia diterima sebagai anggota asosiasi MSG Juni 2015 di Salomon. Pemerintahan PNG dalam kepemimpinan Peter O` Neil dan pemerintahan Frank Bainimarama di Fiji menjadi sponsor utama terima Indonesia menjadi anggota asosiasi. Maret 2016 Menkopolhukam Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan mengunjungi Fiji atas dukungan terhadap West Papua. Luhut mengakui bahwa ia sedang bawa surat dari Presiden Jokowi untuk Bainimarama, perdana Menteri Fiji, dan meminta dukungan atas masalah West Papua. 8 Desember 2017 presiden Joko Widodo mengundang Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa ke Istana negara di Jakarta. Presiden Baron Divavesi Waq diundang ke Jakarta untuk meredam dukungan terhadap perjuangan bangsa Papua. Karena Baron Divavesi Waq dalam pidatonya di sidang Majelis Umum PBB tahun 2016 yang menyatakan dukungan untuk kemerdekaan bangsa Papua.
Pada 17 Nopember 2017 Presiden Joko Widodo kembali mengunjungi Papua New Guinea, ia disambut oleh Peter O`Neil. Rombongan Jokowi terdiri dari Menteri luar negeri Indonesia Retno Marsudi, menkopolhukam, dan para pejabat militer lainnya. Dalam kunjungan ini, pemerintah Peter O`Neil dan Jokowi sepakati dukungan atas pendudukan Indonesia di West Papua. Pada hari jumat 4 Mei 2018, Presiden Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla pimpin rapat kabinet untuk kerja sama dengan negara-negara Pasifik. Menurut Jokowi Indonesia harus meningkatkan diplomasi politik dan ekonomi dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan, seperti Nauru, Vanuatu, Tuvalu, Fiji, PNG (Papua Nugini), Solomon Island, Samoa, Tonga. Ia berpendat bahwa dengan pendekatan itu isu Papua bisa diredam demi kepentingan nasional kita.
Pada 18-19 Maret 2018 Presiden Jokowi dan rombongannya ke Selandia Baru dengan agenda utama kerja sama ekonomi dan perdagangan, dan meminta dukungan Selandia baru untuk meredahkan masalah West Papua di Pasifik. Dalam kunjungan ini, 19 Maret 2018 presiden Jokowi bertemu dengan pemimpin adat Maori disebut kaumātua, Piri Sciascia, Kaumātua sebagai pendekatan budaya untuk meredam meningkatnya dukungan orang-orang Maori terhadap perjuangan bangsa Papua. Tanggal 18 Oktober 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan pendirian Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) atau Indonesian Agency for International Development (Indonesian AID) di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Ada empat kementerian terlibat dalam program ini: Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dalam badan AID ini disalurkan USD 212 juta atau setara dengan Rp 2,5 triliun dan dana itu disalurkan pada lima negara Pasifik yaitu: Fiji, Solomon Islands, Nauru, Tuvalu, dan Kiribati. Tujuan utama bantuan Indonesia ini adalah meredam dukungan kemerdekaan Papua di Pasifik.
Pada 6 November 2018 Tantowi Yahya juga telah dilaksanakan kampanye konser musik dengan tema Symphony of Friendship di Selandia Baru. Tantowi klaim Indonesia merupakan bagian dari negeri-negara Pasifik dan pada konser itu ditampilkan musik dari Indonesia Timur. Menurutnya, dengan pendekatan musik dapat melemahkan dukungan Pasifik terhadap perjuangan bangsa Papua. Musik dan budaya ialah ciri khas orang Pasifik untuk menyampaikan pesan politik dan protes atas berbagai tindakan ketidak adilan dan kejahatan. Karena itu, Indonesia menerapkan model pendekatan itu untuk mempengaruhi dukungan negara-negara Pasifik.
Pada 5 September 2018, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan mengajukan tambahan anggaran Rp 60 miliar. Menkopolhukam Wiranto mengatakan, anggaran ini digunakan untuk melakukan soft diplomasi untuk Papua di Pasifik. Di Pasifik Selatan ada 13 negara dan 7 di antaranya mendukung kemerdekaan Papua. Masing-masing mempunyai pengaruh di PBB dan kita secara intens melakukan soft diplomasi. Pada 23 Januari 2018, Menkopolhukam, Wiranto dan Menlu, Retno Marsudi mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia akan digerakan 43 kementerian dan badan untuk membantu pembangunan negara-negara Pasifik Selatan. Rapat ini merupakan tindak lanjut dari Kunjungan Wiranto ke Republik Nauru sebagai langkah diplomatik untuk meredam dukungan terhadap Papua Merdeka. Wiranto mengatakan melalui keterlibatan 43 kementerian untuk membantu pembangunan di Pasifik Selatan ini mengalihkan dukungan kepada Indonesia tentang masalah Papua.
Pada 21 Maret 2019 Menlu Indonesia Retno Marsudi buka forum kerja sama ekonomi yang diselenggarakan di gedung pancasila kementerian luar negeri Jakarta. Kamis 23 Maret 2019 pemerintah Indonesia menanda tangani perjanjian kerja sama ekonomi dengan negara-negara Pasifik Selatan di Jakarta. Perjanjian ini diberi nama Preferential Rrade Agreement (PTA) yang terdiri Papua New Guinea, Fiji dan Indonesia South Pacific Forum (ISPF). Perjanjian ditanda tangani masing-masing Menteri luar negeri, menlu Indonesia Retno marsudi, menlu Papua New Guinea Rumbink Pato dan beberapa pejabat lain. Rumbin Pato ialah tokoh central pro Indonesia pada masa pemerintahan Peter O`Neil di Papua New Guinea.
Maret 2019 Presiden Joko Widodo dan rombongannya ke Australia dan Selandia Baru untuk minta dukungan mengenai masalah Papua di forum Pasifik. Presiden Jokowi minta kepada pemerintah Australia dan Selandia Baru untuk menekan negara-negara Pasifik dalam pertemuan Pacific Island Forum di Tuvalu tahun 2019 atas dukungan kemerdekaan Papua.
Pada 12-24 Juli 2019 Pemerintah Indonesia diselenggarakan Pacific Exposition I di Auckland Selandia Baru. Kegiatan ini diprakarsai oleh Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya. Dalam pertemuan Pacific Exposition I dihadirkan 20 negara Pasifik Selatan, antara lain: Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, French Polynesia, Indonesia, Kiribati, Marshall Island, Nauru, New Zaeland, Niue, Palau, Papua New Guinea, Samoa, Solomon Island, Timor Leste, Tuvalu, Vanuatu, dan New Caledonia. Tujuan kegiatan ini adalah untuk merangkul negara-negara di Pasifik Selatan untuk meredam dukungan atas kemerdekaan Papua. Delegasi Indonesia yang hadir dalam kegiatan ini adalah lima Provinsi wilayah Timur, diklaim sebagai provinsi-provinsi Melanesia-Indonesia (Melindo). Delagasi dua provinsi Papua sebanyak 20 orang dipimpin Gubernur Lukas Enembe. Delegasi yang ikut dalam pertemuan ini mengatakan semua biaya untuk para delegasi dari 20 negara itu seluruhnya didanai oleh pemerintah Indonesia. Menurut sumber itu, biaya untuk kegiatan ini mencapai ratusan milyar bila dikalkulasi dengan jumlah delegasi dari 20 negara tersebut.
Tujuan utama kegiatan ini adalah menggagalkan dukungan negara-negara Pasifik terhadap Resolusi West Papua yang didorong oleh pemerintah Vanuatu. Karena pertemuan Pacific Exposition I ini dilaksanakan satu bulan sebelum pelaksanaan pertemuan PIF pada 13-16 Agustus 2019 di Tuvalu. Karena dalam pertemuan para menteri luar negeri PIF sudah diadopsi resolusi untuk West Papua secara bulat pengecualian Australia. Sebelum pertemuan PIF tahun 2019, negara-negara Pasifik mengajukan sebuah resolusi di PBB dan resolusi kerja sama dengan Pasifik itu telah diadopsi oleh PBB dengan dukungan 137 negara, sementara Indonesia abstain. Resolusi kerja sama dengan Pasifik ini dianggap sebagai landasan hukum untuk advokasi masalah West Papua.
(Baca juga, ini: Kapitalisme, Sosialisme versus Trias Melanesia)
Menjelang pertemuan PIF 13-16 Agustus di Tuvalu, para penyelanggaran pertemuan Pacific Islands Forum mencarter pesawat milik militer Australia dan pesawat milik perusahaan pemerintah Selandia Baru, dan Fiji Air layn. Pesawat-pesawat itu membawa delegasi ke negara tuan rumah KTT PIF di Tuvalu. Momendum ini dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Australia dan Selandia Baru. Ketiga negara itu blokir semua rencana penerbangan tuan Benny Wenda, pemimpin bangsa Papua. Penerbangan-penerbangan ini tidak mengizinkan tuan Benny Wenda ikut ke Tuvalu. Meskipun tuan Benny Wenda adalah delegasi resmi yang diundang dalam pertemuan PIF itu. Pemimpin ULMWP, tuan Benny Wenda diundang delegasi resmi KTT PIF ialah sejarah pertama 57 tahun perjuangan bangsa Papua. Tuan Benny Wenda tertahan satu hari di Fiji, dan pada hari kedua tiba di Tuvalu. Permainan Indonesia itu telah mendapat protes keras dari sekretaris Jenderal PIF Dame Meg Taylor dan presiden Tuvalu. Mereka mengatakan bahwa kami bangsa Pasifik tidak melarang siapa pun delegasi yang kami undang secara resmi untuk datang ke Tuvalu, dan kami menekankan bahwa tidak boleh negara lain dari luar Pasifik dan intervensi kegiatan kami. Kami adalah tuan rumah dan kami terima semua delegasi di sini. Kami negara-negara berdaulat, dan negara lain dari luar Pasifik tidak boleh mengatur rumah tangga kami dan tidak boleh intervensi urusan rumah tangga kami.
Protes negara-negara Pasifik itu dapat dipermalukan intervensi Indonesia terhadap negara-negara itu. Dalam pertemuan PIF 13-16 agustus 2019 di Tuvalu, resolusi West Papua diadopsi secara bulat oleh 17 negara anggota Pacific islands Forum pengecualian Australia. Adopsi resolusi Papua ini merupakan puncak dari perjuangan bangsa Papua melalui ULMWP selama ini secara khusus di Pasifik. Dalam pertemuan ini, Indonesia kirim delegasi lebih dari 10 orang. Sedang delegasi ULMWP terdiri dari dua orang yaitu: Presiden ULMWP, tuan Benny Wenda dan Juru Bicara ULMWP tuan Jacob Rumbiak. Kedua pemimpin bangsa Papua ini berhadapan dengan jumlah besar delegasi Indonesia dan segala sumber daya yang dimiliknya. Ini ibarat Daud melawan Goliat dalam sejarah Alkitab.
Pertemuan PIF 13-16 Agustus di Tuvalu adalah puncak kemenangan ULMWP dan bangsa Papua di Pasifik. ULMWP dengan sumber daya terbatas tetapi berpegang pada kebenaran mampu menghancurkan diplomasi Indonesia di Pasifik. Dalam selisi tiga bulan, ULMWP kembali mencapai puncak kemenangan dalam forum Africans, Caribians and Pacific (ACP). Pertemuan ACP 7-8 Desember tingkat Menteri luar negeri, dan dilanjutkan dengan pertemuan tingkat kepala negara 9-10 desember 2019 di Airobi, Republik Kenye. 79 negara ACP secara resmi adopsi resolusi West Papua itu.
Dalam pertemuan tingkat Menteri luar negeri MSG di Fiji 12 Februari 2020 ini Indonesia kembali kirim delegasi 12 anggota, sedang pihak ULMWP dihadiri tiga orang – tuan Benny Wenda, tuan Rex Rumakiek, dan nyonya Paula Makabori. Tuan Presiden ULMWP menyampaikan pidato dengan judul „tidak ada masa depan orang Papua dalam Indonesia“ ialah pidato yang sangat fenomenal, persejarah dan tegas. Delegasi Indonesia tidak mampu menghadapi atas data-data yang disampaikan dalam pidato presiden ULMWP itu. Delegasi Indonesia hanya mampu menyampaikan kerja sama ekonomi, budaya dan pariwisata.
Indonesia dipermalukan dalam berbagai forum internasional atas kejahatan dan diplomasi pembohongan publik mereka sendiri. Minggu lalu presiden Jokowi dipermalukan di depan publik di Parlemen Australia atas kejahatan dan kebohongannya, menkopolhukam Mahfud MD juga dipermalukan pengurus BEM Universitas Indonesia atas pernyataan-pernyataannye sendiri. Melihat berbagai perubahan yang digambarkan itu, pemerintah Indonesia sudah kalah diplomasi Politik Internasional atas masalah Papua.
5. Reaksi Indonesia Setelah Kekalahan Diplomasi.
Kekalahan diplomasi politik dan diplomasi ekonomi Indonesia memberikan tekanan psikologi yang serius dan signifikan terhadap pemerintah Indonesia di Jakarta. Kerena kerugian tenaga dan materi tidak sedikit untuk menyongkong negara-negara Pasifik termasuk Australia dan Selandia Baru. Bagi Jakarta ULMWP hanya kelompok kecil yang tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi dunia internasional, ULMWP juga tidak memiliki sumber daya untuk mobilisasi diplomasi seperti yang dimiliki Indonesia. Indonesia anggap diri sebagai negara besar, negara demokrasi, dan maju dalam pembangunan ekonomi. Di sini Indonesia terjebak dalam pandanganya sendiri. Pada satu sisi, Indonesia menghina, mendiskretitkan, tidak menghargai dan tidak mau kerja sama negara-negara Pasifik tentang masalah Papua. Di sisi lain, Indonesia melakukan pendekatan diplomasi politik dan ekonomi kepada negara-negara Pasifik untuk mencari dukungan mereka. Diplomasi kesombonganan ini mendorong negara-negara Pasifik mengambil sikap politik tegas dan adopsi resolusi ULMWP secara resmi dalam PIF 13-16 Agustus 2019.
(Baca juga, artikel ini: Persatuan Kunci Kemerdekaan Papua)
Kemenangan ULMWP secara marathon ini bertepatan dengan peringatan 15 Agustus New York Agreement 1962 untuk aneksasi West Papua, sedang pada sisi lain sebagai hadiah ulang tahun 17 Agustus 1945 bagi Indonesia. 16 Agustus 2019 adalah tanggal yang tepat dan tanggal itulah adopsi resolusi bagi West Papua, karena bertepatan dengan peringatan 15 Agustus New York Agreement dan 17 Agustus Proklamasi 1945. Kekalahan ini menjadi pukulan berat bagi diplomasi Indonesia, karena tekanan psikologis itu telah disikapi dengan tindakan-tindakan kejahatan.
- Tindakan rasisme yang menyerang mahasiswa Papua di Surabaya. Gabungan tentara, polisi, kelompok reaksioner dan tokoh partai Gerindra yang menyerang mahasiswa Papua secara rasis di Asrama Surabaya 17 Agustus 2019 adalah bentuk kekecewaan atas kekalahan diplomasi politik dalam Pacific island Forum di Tuvalu. Resolusi Papua diadopsi dan diumumkan 16 Agustus, satu hari kemudian Indonesia mobilisasi masa untuk menyerang mahasiswa secara rasial di Surabaya. Kaum rasialis Indonesia teriakan monyet, kera dan sejenis hewan lain kepada mahasiswa Papua. Target mereka mobilisasi rasisme adalah mendorong mobilisasi militer untuk operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua. Sikap dan teriakan rasisme itu disikapi bangsa Papua dengan mobilisasi masa besar-besaran di seluruh tanah Papua. Mobilisasi masa yang protes rasisme itu disikapi dengan keras oleh pemerintah dan militer Indonesia.
- Mobilisasi militer dan Polisi ke tanah Papua. Tujuan dari mobilisasi militer ini adalah untuk teror, indimitasi, penangkap dan penindasan dan pembunuhan terhadap bangsa Papua. Inilah target utama teriakan rasisme di Surabaya itu. Mobilisasi militer itu masih terjadi hingga kini. Berbagai operasi militer dilakukan seperti Nduga, Intan Jaya, Wamena, Jayapura, Timika, Paniai dan banyak tempat lain.
- Mobilisasi milisi Migran dan kelompok merah putih. Pada waktu yang sama menkopolhukam Wiranto, Kapolri Tito karnavian, Panglima TNI, dan sejumlah menteri dan pejabat militer ke Papua. Kemudian mereka mobilisasi kelompok-kelompok milisi di Sorong, Fakfak, Manokwari, dan Jayapura. Para milisi itu terdiri kelompok migran dan orang asli Papua pro Indonesia. Milisi-milisi itu didukung secara terang-terang oleh tentara dan polisi Indonesia, di mana milisi itu menyerang orang asli Papua di beberapa daerah. Di Fakfak gabungan militer dan milisi itu menyerang orang asli Papua yang berkumpul di halaman kantor Dewan Adat Papua (DAP), satu orang dibunuh, beberapa orang dilukai dan kantor DAP dibakar. Di Sorong dan Manokwari para milisi itu deklarasi Indonesia harga mati didukung pemda, pejabat militer dan polisi. Kepala mereka diikat dengan bendera merah putih dan dinyatakan setia pada NKRI. Di Jayapura, para milisi didukung militer Indonesia menyerang asrama Nayak di Kamkei dan dibunuh Ferry Kareth, seorang mahasiswa Universitas Cenderawasih. Di daerah Expo Waena, para mahasiswa yang melakukan demonstrasi diserang oleh kelompok milisi migran dan didukung militer dan polisi. Dalam serangan ini gabungan militer, Polisi dan milisi bunuh tiga mahasiswa eksodus Papua dan dilukai beberapa mahasiswa lain.
- Penangkapan tokoh-tokoh nasionalis. Protes bangsa Papua terhadap rasisme itu dijadikan alasan bagi Indonesia untuk menangkap para pemimpin bangsa Papua. Pemimpin legislatif ULMWP tuan Buctar Tabuni, ketua Komite Nasional West Papua, tuan Agus Kosay, ketua KNPB Timika tuan Steven Itlay, ketua BEM Uncen, dan presiden mahasiswa USTJ, sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap. Mereka kemudian dijerat dengan pasal makar, bukan pasal kriminal seperti diduduh waktu penangkapan. Enam orang pemimpin nasionalis diculik oleh polda Papua dan dikirim ke Kalimantan Timur, mereka ditahan dan diadili di sana. Tujuan dari penculikan dan pengasingan para pemimpin nasionalis bangsa Papau ini adalah ketakuan kolonial, bila para pemimpin itu masih di Papua akan mobilisasi masa yang lebih besar dan masif lagi. Karena itu, mereka diasingkan dari basis masa bangsa Papua.
Empat poin di atas adalah reaksi atas kegagalan diplomasi Indonesia di Pasifik dan internasional, di mana diplomasi dimenangkan oleh ULMWP dan bangsa Papua. Bangsa Papua telah mencapai puncak tertinggi, perjuangan bangsa Papua didukung dan diakui 79 negara anggota ACP atau 40,9 persen negara anggota PBB. Indonesia telah kehilangan kendali dan tidak bisa terkontrol emosi mereka. Ekspresi kekalahan itu ditampilkan dengan serangan-serangan rasis yang dilakukan para pejabat Indonesia kepada bangsa Papua. Bangsa Papua disebut monyet dan kera di surabaya, tikus-tikus hutan oleh Henro Priyono, sampah dan manusia tidak jelas oleh profesor rasis mahfud MD dan masih banyak deretan rasis lain.
6. Fokus Bangsa Papua Pada Agenda.
Hari ini ULMWP dibawah kepemimpinan tuan Benny Wenda telah membawa bangsa Papua pada akhir perjuangan, bangsa Papua mencapai pada puncak kemenangan. Karena itu, bangsa Papua tidak perlu menanggapi reaksi kekalahan Indonesia yang sudah digambarkan di atas. Fokus bangsa Papua hari ini adalah: Pertama, selalu menjaga persatuan nasional yang sudah dibangun selama ini, memastikan dalam tiap tingkatan agar kolonial tidak masuk dan tidak merusak. Kedua, bangsa Papua harus berani dan tegak menghadapi berbagai teror, Indimitasi, pembunuhan melalui berbagai operasi militer. Ketiga, mendukung dan mengkawal agenda ULMWP yang sudah ditetapkan. Mendorong ULMWP untuk membawa agenda bangsa Papua sampai di tempat tujuan. Keempat, menolak semua bentuk tawaran oleh kolonial Indonesia antara lain: Pemekaran Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh tanah Papua. Menolak agenda dialog Indonesia dan Papua versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua (JDP). Tolak Otonomi khusus Papua dan ide negara federasi yang digagas Universitas Cenderawasih. Kelima, Bangsa Papua konsisten berjuang dan dipertahan tuntutan referendum kemerdekaan sebagai solusi damai dan bermartabat dibawah pengawasan PBB, dan atau pengakuan kedaulatan bangsa Papua melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bangsa Papua harus tegas, disiplin dan konsisten pada agenda referendum dan kedaulatan nasional.
*)Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih.
Posted by: Admin
Copyright ©Ibrahim Peyon “sumber”
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
memangnya polisi ULMWP ada?,negara ULMWP itu dimana ya,di Timur Tengah kah atau di Kutub Utara,capek cari cari di peta dunia,nggak ketemu