No. 1 PAPUA Merdeka News
| Portal
Oleh: Ibrahim Peyon, Ph.D
1. Pengantar
Tulisan ini membahas secara singkat ras Hitam (Black Race) yang tersebar dari Andama sampai ke Maluku, dan Filipina. Bagaimana ras-ras hitam mendiami sebagai ras asli dan pemilik sah daerah kepulauan ini, dan bagaimana mereka dimusnahkan oleh migrasi ras-ras Asia masuk dan rampas tanah dari orang-orang kulit hitam dan rambut keriting itu. Ras-ras manusia dengan ciri kulit hitam dan rambut keriting disebut Negrito itu tersebar mulai dari kepulauan Andama hingga di Maluku dan Filipina di bagian utara. Wilayah yang saat ini dikuasai oleh mayoritas ras Melayu sebagaimana telah dideskripsikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Divisi-divisi ras hitam ini terbagi ke dalam enam kelompok berdasarkan distribusi geografis sebagai berikut: 1). Divisi Negritos di Andama. 2). Divisi Negritos di Semenanjung Malaya. 3). Negritos Sumatra dan Jawa. 4). Divisi Negrito Selebes dan Borneo. 5). Divisi Malay-Austro di kepulauan Maluku dan Timor. Divisi-divisi ras hitam itu dapat dideskripsikan secara garis besar.
2. Divisi Andama
Kepulauan Andaman adalah bagian dari rangkaian pulau yang membentang dari Tanjung Negrais di Burma hingga Achin Head di Sumatera. Garis pulau-pulau ini membentuk satu sistem geografis, seolah-olah merupakan rangkaian pegunungan bawah laut, titik-titik tertinggi muncul di sana-sini di atas permukaan laut. Andama terdiri atas serangkaian pulau-pulau, seperti Preparis, dan kepulauan Cocos, dan cocos dapat dianggap sebagai bagian dari Andaman Grup. Andama Grup sendiri terdiri dari Andaman Besar dan Andaman Kecil dengan pulau-pulau terluarnya, pulau Landfal berada di titik paling utara dari kepulauan Andama, dan kepulauan Nicobar terletak di bagian selatan.
Sampai abad kesembilan belas Kepulauan Cocos tidak berpenghuni. Andaman dan Nicobar selama berabad-abad telah dihuni oleh dua ras yang sama sekali berbeda. Orang Andaman termasuk dalam cabang spesies manusia yang dikenal oleh para antropolog sebagai ras Negrito. Ciri mereka bertubuh pendek dengan kulit hitam dan rambut keriting. Sedang orang Nicobar di pulau Nicobar dihuni ras lain, mereka adalah ras Indo-Cina dan Malaya, ciri mereka memiliki kulit coklat dan rambut lurus (Radcliffe-Brown, 1922: 2). Tentang asal-usul orang Negritos sebagai ras asli di kepualauan Andama, antropolog ternama Radcliffe-Brown menjelaskan bahwa “penduduk asli kepulauan Andama telah berada di sini selama berabad-abad. Tidak bisa dipastikan kapan mereka pertama kali mencapai pulau-pulau ini. Bukti geologi dan lainnya menunjukkan Andama pernah bersatu dengan daratan di sepanjang garis lipatan Arakan di zaman Tersier. Leluhur orang Negritos Andama telah mencapai pulau-pulau ini di masa itu, Ketika pulau-pulau ini masih tersambung dengan daratan Asia dan benua Sunda di zaman itu.
Edward Horace Man menjelaskan bahwa ras berwarna kulit hitam dan rambut keriting di kepulauan Andama adalah ras Negritos, dan mereka tidak bisa dikategori sebagai ras Papua. Orang Negrito di Andama memiliki relasi dengan orang Semang di semenanjung Malaysia dan orang Aeta di Filipina. Orang Negrito Andama sebagai ras asli ditempati di daerah itu, mereka mendiami Andama pada masa perihistori (Horace Man, 1885: 2). Pada 1779, angka populasi Negritos mencapai 10.000 jiwa, dan pada tahun 1858 telah terjadi penurunan angka penduduk sangat drastis terjadi, dan pada tahun 1971 jumlah mereka berkurang drastis tersisa 500 orang. Tren penurunan drastis ini menunjukkan negritos akan segera punah dalam waktu dekat (Dutta, 1973: 3).
Ras Negritos Andama dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tempat tinggal dengan variasi cultur dan linguistik yang berbeda. Pratap Dutta kelompokkan, ras Negritos ke dalam enam kelompok dan masih-masing kelompok dibagi ke dalam etnik-etnik kecil. Enam kelompok itu yakni: Andaman besar, Jarawa, Sentinelese, dan Onge. Populasi mereka tahun 1858 etnik Andama besar 3.500 orang dan tahun 1971 tersisa hanya 24 orang. Populasi etnik Jarawa tahun 1858 600 orang, dan tahun 1971 hanya 300 orang. Populasi etnik Sentinelese tahun 1901 117 orang dan tahun 1971 tersisa hanya 100 orang. Sementara populasi etnik Onge tahun 1858 ada 800 orang dan tahun 1971 tinggal tersisa 112 orang.
Ras negrito tersebut dibagi ke dalam sepuluh etnik kecil. Etnik-etnik yang menempati di bagian utara adalah Aka-Cari, Aka-Kora, Aka-Bo dan Aka-Jeru, sedang etnik-etnik yang mendiami di bagian selatan adalah Aka-Kede, Aka-Kol, Oko-Juwoi, A-Pucikwar, Akar-Bale, dan Aka-Bea. Suku-suku yang disebutkan di atas tidak semuanya sekarang terwakili dalam komposisi komunitas Andaman saat ini karena beberapa suku mereka telah punah sama sekali seperti suku Kede, Kol, Juwoi, Pucikwar dan Bea. Populasi negrito Andama sekarang sudah menjadi kurang dan sebagian besar sudah punah (Dutta 1973: 4-5).
Pemusnahan ras Negrito di Andaman ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, kehadiran migran Asia baik Melayu dan Indo-Cina, dan Eropa di pulau-pulau Andama dan memusnahkan ras Negritos dengan senjata dan operasi militer. Dalam operasi militer Asia dan Eropa itu telah bunuh banyak populasi Negrito dan populasi mereka berkurang dan musnah. Kedua, para migran-migran itu telah membawa penyakit dan menyebarkan kepada penduduk asli Negrito seperti penyakit sipilis, TBC, dan penyakit menyular lainya.
3. Divisi Negrito di Semenanjung Malaya
Divisi Negrito semenanjung Malaya terdiri atas semenanjung Malaysia dan Thailand. Ras Negrito adalah ras asli yang mendiami wilayah ini senelum kedatangan divisi-divisi ras Asia, Indo-Cina, Sam-Sam, dan Melayu. Etnolog terkenal bernama Keane mengambarkan bahwa selain Cina dan Kling (India) dan pemukim baru lainnya, penduduk Semenanjung terbagi dalam tiga kelompok ras yang berbeda: Negrito, Thai atau Siam, dan Melayu. Orang Negrito adalah ras yang paling tertua dan ras asli jutaan tahun tempati semenanjung ini.
Orang Negrito terbagi dalam beberapa kelompok kecil yang tersebar di bagian pedalaman yang lebih sulit dijangkau. Mereka mewakili elemen asli yang sebenarnya, dan tampaknya termasuk dalam tipe primitif yang sama dengan apa yang disebut “Mincopies” dari Kepulauan Andaman, dan orang Aeta dari Kepulauan Filipina. Di sebelah utara Perak mereka dikenal dengan nama Semang (Samaiig), di selatan sungai itu dengan nama Sakei, dan di selatan Malaka sebagai Orang Benda, atau “Manusia Tanah”. Kedua ras itu telah berhubungan selama berabad-abad, sebagian besar telah berbaur dan berasimilasi dalam penampilan, adat istiadat, dan bahkan dalam berbicara. Keane mengatakan, ia telah identifikasi elemen Melanesia (Negrito), sisa-sisa ras asli, yang melalui percampuran dengan orang Melayu semakin digantikan ciri keasliannya. Di pegunungan Pahang dan Kelantan, sejauh Senggsra dan Ligor, saya telah menemukan populasi Melanesia. Orang-orang ini tidak diragukan lagi termasuk dalam stok Melanesia” (Keane, 1887: 7).
Divisi Negrito, Senoi, dan Proto-Malay di Tailand Selatan dan Semenanjung Malaysia telah intermediasi secara linguistik dan asimilasi perkawinan yang telah terbentuk keturunan campuran dan asimilasi budaya. Orang Semang atau Negrito dikenal sebagai suku Orang Asli yang paling di tempati Semenanjung Malaysia. Menurut teori evolusi manusia ala Darwin orang Semang migrasi dari Afrika 25.000 tahun yang lalu. Menurut orang Semang/Negrito sendiri, mereka berasal dari dalam tanah di wilayah itu, karena itu orang Semang sebut diri mereka sebagai Manusia Tanah. Suku Orang Asli ini juga memiliki populasi paling sedikit di antara ketiga kelompok Orang Asli lainya – Senoi dan proto-Melay – pemukiman mereka terisolir dan tersebar. Sebagian besar orang Negrito tersebar di bagian utara dan tengah Semenanjung Malaysia (Macaulay, et. al. 2005).
Berdasarkan sensus tahun 2010 populasi mereka menjadi 5% dari total populasi tiga kelompok orang asli tersebut, dan populasi Melayu menjadi kelompok dominan dengan 55%, sedang ras Senoi 42%. Senoi adalah kelompok ras Mongoloid dengan ciri-ciri mirip dengan orang Cina dan Tibet. Kelompok negrito terbagi dalam dua kelompok, kelompok utara disebut Semang, dan kelompok Selatan disebut Sakhai, istilah Sakhai mengandung makna hinaan. Negritos Semang dan Sakhai terbagi ke dalam enam sub-kelompok yang berbeda yaitu; (1) suku Kensiu (Timur Laut Kedah), (2) Kintak (perbatasan Kedah-Perak), (3) Jahai (Perak Timur Laut dan Kelantan Barat), (4) Lanoh (Perak Tengah Utara), (5) Mendriq (Kelantan Tenggara), dan (6) Bateq (Barat Laut Terengganu, Pahang Timur Laut dan Kelantan Selatan) (Tarmiji Masron, et. al. 2015: 84-88).
Populasi Negrito Semang dan Sakhai mengalami kepunahan karena serangan kelompok migran Melayu, Cina dan India yang ekspansi dan ambil alih tanah mereka. Ras Negrito dibunuh dan dimusnahkan sebagian besar populasi dan mereka diusir ke pedalaman dan pegunungan, dimana saat ini mereka tinggal. Para kolonial Asia dan Eropa juga telah menyebarkan virus seperti sipilis, TBC, dan penyakit menular lain di kalangan orang Negrito untuk memusnahkan mereka.
4. Divisi Negritos di Sumatra dan Jawa
Di bagian ini dibahas distribusi orang-orang Negritos di empat pulau utama Indonesia yakni: Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam berbagai studi-studi antropologi klasik menjelaskan bahwa kantong-kantong orang Negritos telah ditemukan di banyak tempat di pulau-pulau itu. Distribusi mereka merata mulai dari Sumatra hingga Sulawesi dan Kalimantan, dan bangsa-bangsa Negritos itu adalah penduduk asli di kepulauan ini. Ras Negritos menurut para ahli telah menempati kawasan ini 40.000 tahun lalu, sebelum migran Melayu dari daratan Asia datang mencaplok dan menduduki kepulauan Indonesia 4.000-7.000 tahun lalu.
Dalam literatur-literatur klasik menjelaskan sisa-sisa elemen Negrito telah ditemukan di sejumlah tempat di Sumatra, seperti di kepulauan Nias, Padang, Engano, Biliton dan Banka. Distribusi elemen-elemen Negritos di wilayah ini adalah sisa-sisa ras Negrito yang telah punah dari daerah mereka karena invasi bangsa Melayu. Van Hasselt (1882) melaporkan bahwa di dataran tinggi Padang ia sering menemukan individu-individu tertentu dengan ciri rambut keriting panjang dan hidung bengkok, yang sangat mirip dengan ciri orang Yahudi. Di mana ciri-ciri ini adalah sisa terakhir dari elemen orang Negrito yang telah mengalami bercampuran dengan orang Melayu. Meyer dalam penelitiannya juga melaporkan bahwa “kami memiliki informasi di tangan tentang Sumatera yang mungkin mengakui pada kesimpulan bahwa ada unsur negro yang menyerupai orang Papua ditemukan di sana (Meyer, 1899: 44).
Dalam laporan T. Ned Indie 1853 mendeskripsikan telah ditemukan orang-orang dengan ciri-ciri fisik rambut keriting panjang dan hitam, bahu lebar, berotot, dan humoris di Biliton, Banka dan sekitarnya. Orang-orang dengan ciri ini kontras dengan ciri orang Melayu yang warna kulit sawo matang, rambut lurus, kurus dan lemah. Akan tetapi, ciri-ciri orang-orang itu menunjukkan mereka tidak seluruhnya orang Negritos dan tidak seluruhnya juga orang Melayu. Mereka adalah migran dari Sulawesi yang pindah pada abad ke-7 dan mengaku diri mereka sebagai orang Sekah dan orang Badjos. Di mana orang Badjos terkait dengan Badjos di Sulawesi, sedang orang Sekah bukan orang Melayu, mereka sama sekali berbeda. Mereka berbicara dengan bahasa mereka sama sekali berbeda, tetapi juga pria dan wanita berambut keriting, pria dan wanita, tipe asli Papua.
Penelitian lebih dalam dilakukan Adolf Riedel menjelaskan bahwa ada hubungan asli tertentu antara Sekah Biliton dan Badjos di Sulawesi, dan bahwa Sekah terkait dengan orang Papua atau suku tetangga lainnya di bagian Timur Sulawesi, atau mungkin memiliki beberapa Sampai batas tertentu kawin campur (Riedel, 1881: 264). Beberapa ahli lain berpendapat bahwa penduduk dengan ciri elemen-elemen Negritos itu sebagai elemen campuran akibat kawin campur dengan orang Melayu dan Negritos.” Penyelidikan yang lebih teliti telah menunjukkan hasil yang berbeda. Kaum Solfah bukanlah orang Malaj dalam arti kata yang lebih terbatas, tetapi mereka juga bukan orang Papua. Memang benar bahwa orang-orang dengan rambut keriting sampai batas tertentu ditemukan di antara mereka, tetapi rambut seperti itu tidak memiliki kerenyahan khas orang Papua; tidak lurus, tetapi tidak berciri khas Papua; juga tidak menyerupai rambut persilangan antara orang Papua dengan orang Seram, Keis, Bugis, Tionghoa dan lain-lain” (Meyer, 1899: 47).
Baca juga: Papua Dari Stigma ke Stigma – Bagian II
Beberapa antropolog berpendapat bahwa orang-orang dengan ciri tersebut adalah kelompok intermediasi melalui kawin campur antara unsur Melayu dan Negrito dari Malaka karena letak geografis Malaka lebih dekat dengan orang Biliton dan Banka melalui hubungan laut. Para antropolog beranggapan bahwa orang dengan ciri Negritos yang ditemukan di Biliton dan Banka di pantai utara Sumatra tersebut sebagai satu cabang Negrito Malaka telah mengalami intermediasi dengan elemen Melayu.
Orang-orang dengan ciri elemen Negritos juga ditemukan di pulau Engano dan Nias pantai Selatan dari Sumatra. Antropolog dengan variasi pendapat terhadap orang-orang dengan ciri elemen Negritos di daerah itu. Menurut Rosenberg penduduk di pulau Engano termasuk ras Negrito. tetapi ia menyebut rambut mereka sedikit garing; laki-laki memakainya sampai ke leher mereka, dan perempuan menggantung di atas bahu mereka, dan rambut orang Engan lebih keriting, tidak seperti rambut orang Melayu (Rosenberg, 1855: 374). Kemudian Junghuhn ahli lain (1847: 306) beranggapan bahwa mereka sebagai orang Batta-nya, dan bukan orang Negrito. Beberapa antropolog seperti Danielli dan Zuckerkandl mengatakan bahwa penduduk di pulau Nias adalah persilangan antara Battas dan Negritos. Oleh karena itu, Meyer mengusulkan bahwa “ Bahkan itu adalah tugas kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang elemen di Sumatera dan pulau-pulau tetangga yang tidak murni Melayu; apakah itu Negritic akan membuktikan di masa depan” (Meyer, 1899: 48).
Leopoldina dalam karyanya yang dipublikasi tahun 1877 mengatakan bahwa kemungkinan sisa-sisa ras Negrito masih ada di kampung Kalang di Jawa. Ia mengatakan “ Ini terjadi setelah salah satu penguasa terbaik di negeri ini (van Musschenbroek) menarik perhatian saya pada foto seorang Kalang di Buitenzorg; laki-laki itu memang memiliki kepala yang dicukur, tetapi van Musschenbroek menyatakan bahwa orang-orang Kalang ini berambut keriting dan berkulit hitam. Saya jauh dari menunjuk mereka pada saat itu sebagai Negritos, tetapi hanya ingin membuat penyelidikan yang masih tertunda” (dlm Meyer, 1899: 40). Pada bulan Juli 1877 Leopoldina mengirimkan daftar pertanyaan tentang keberadaan orang Negrito di Kalang tersebut, namun mendapat reaksi menentang bahwa di daerah tersebut tidak ada ras Negritos.
Ketjen dalam Kajiannya tentang Kalang Pekalongan, bahwa mereka tidak berbeda secara fisik dari Jawa, dan tradisi mereka menunjukkan bahwa mereka telah berlayar ke Jawa ketika pulau itu sudah berpenghuni, dan karena itu mungkin ada hubungan antara mereka dan orang Biduanda Kallang (Ketjen, 1877: 421- 424).
Beberapa antropolog seperti Schaaffhausen berpendapat bahwa pulau Jawa adalah satu-satunya pulau besar di wilayah yang luas ini tidak memiliki jejak Negritos kecuali beberapa persilangan yang masih meragukan, dan beberapa sisa-sisa industri yang tampaknya tidak melampaui Zaman Batu. “Saya harus menekankan bahwa, sejauh ini mengacu pada Jawa, persilangan dari sana tidak diketahui, dan tidak ada alasan sedikit pun untuk menghubungkan kapak batu ditemukan di Jawa untuk orang Negrito daripada penduduk Melayu. Seperti pada abad ini kita menemukan Melanesia, Polinesia dan orang-orang lain yang hidup di Zaman Batu. Tidak menutup kemungkinan bahwa pada waktu orang Jawa datang, mereka menemukan populasi Negrito di sana pada Zaman Batu, yang kemudian mereka musnahkan” (in Meyer, 1899: 41).
Beberapa penelitian seperti Sivaving temukan bukti-bukti penggunaan kapak batu dalam masyarakat Jawa, kapak batu dan palu digunakan dalam pekerjaan tertentu. Pada tahun 1850 Logan menegaskan bahwa kapak batu dari Jawa menunjukkan pada zaman dahulu, pulau itu telah didiami oleh suku-suku keturunan Afrika atau Indo-Afrika.
Dalam pandangan yang sama dengan Logan, George Windsor Earl mengatakan bahwa di banyak bagian Jawa telah ditemukan bukti-bukti peninggalan suatu bangsa, yang dianggap sebagai ras yang lebih tua dari penduduk sekarang. Deskripsi beberapa spesimen instrumen kuno, disertai dengan gambar, ditunjukkan dalam “Natuurkundige Tijdschrift voor Nederlandsch” tahun 1850.
Beberapa dari angka-angka ini mewakili bentuk yang tepat dari batu tulis tombak dan batu pasir kering yang umum digunakan di antara penduduk asli bagian utara Australia, dan dibuat oleh penduduk asli pedalaman, yang memahami seni membelah mereka dari potongan-potongan kasar dengan beberapa pukulan kapak atau palu batu hijau. Ditemukannya peralatan batu yang masih umum digunakan di antara suku-suku Papua dan Australia (Earl, 1853: 175). Bukti-bukti material historis ini menunjukkan jejak kehidupan bangsa Negrito yang pernah mendiami Jawa dan sekitarnya sebelum ras Melayu invasi dan menduduki Jawa dan sekitarnya.
5. Divisi Negritos di Celebes dan Borneo
Kemungkinan keberadaan orang dengan ciri Negritos di Kalimantan telah ditulis oleh penjelajah dan antropolog pada dua abad lalu. George Windsor Earl dalam kunjungannya ke Borneo/Kalimantan pada tahun 1834, telah diberitahu oleh beberapa orang penduduk asli yang lebih cerdas, bahwa ada orang-orang liar, berambut seperti bulu wol di pedalaman Bornoe. Windsor Earl memperoleh berita tentang orang Papua di Borneo itu juga disampaikan oleh seorang Kapten Kapal laut, bernama Brownrigg bahwa penduduk asli, orang pedalaman yang tinggal di sekitar gunung Thabor dihuni oleh penduduk dengan ciri orang Papua. Windsor Earl tulis; “penduduk di sekitar gunung Thabor yang bertubuh pendek tapi kekar, berkulit hitam pekat, dengan rambut yang sangat pendek dan keriting, sehingga kepalanya tampak ditutupi dengan kenop-kenop kecil, ini sangat sesuai dengan penampilan umum rambut orang Papua yang merawat kepalanya dengan dicukur, dan saya tidak ragu sedikit pun bahwa mereka adalah orang Papua yang tidak bercampur. Dia juga menggambarkan kulit dada dan bahu yang tampaknya mirip dengan beberapa suku di New Guinea” (Earl, 1853: 146).
Penjelasan selanjutnya, Earl mengutip tulisan Dalton, yang pernah tinggal 11 bulan di Sungai Coti, di Burn Selatan pada tahun 1827-1828. Makalah Dalton itu awalnya diterbitkan oleh “Singapore Chronicl, dan kemudian dipublikasi ulang dalam “Notices of the Indian Archipelago”. Dalam tulisan ini, Dalton deskripsikan orang-orang liar yang dianggap sebagai orang Papua disamakan dengan monyet, hidup dibawah pohon, tidak berbudaya, hubungan intim secara liar di hutan. Mereka diburu oleh orang Dayak seperti layaknya hewan buruan, para laki-laki dipenggal dan perempuan yang sudah tua dibunuh, sedang perempuan yang masih muda dibawa sebagai istri orang Dayak.
Earl sendiri tidak melihat orang Papua di Borneo tersebut, ia tulis itu berdasarkan keterangan yang diperoleh dari beberapa penduduk setempat dan keterangan dari Kapten Brownrigg. Oleh karena itu, Waitz-Gerland berkomentar sebagai berikut: “Laporan lama menyebutkan telah ditemukan orang Papua di pedalaman Kalimantan, tetapi Earl menyatakan dengan sangat tepat bahwa tidak ada pengelana yang pernah melihatnya sendiri (Waitz-Gerland, 1865: 256). Schivaner meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun ras Papua di sana kecuali beberapa orang Papua di Timur Laut wilayah itu, yang diperkenalkan dari Kepulauan Suki (Schivaner, 1853: 164). Seorang ahli lain, Zannetti yang telah memperoleh sebuah tengkorak orang Dayak dari Beccari, dan mengatakan tengkorak itu adalah milik seorang Negrito di Borneo (Tannetti 1872: 159 in Roth, 1896: 295). Antropolog lain, Hamy (1879) mengatakan bahwa deskripsi sebuah tengkorak yang dilakukan oleh Jourdan di Museum Lyon sebagai keberadaan Negrito di bagian pedalaman Borneo. Pendapat yang sama dikemukakan oleh profesor William Flowers bahwa tengkorak yang disimpan di Catalogue, Royal College di Surgeon tentang tengkorak No. 745: dikatakan sebagai tengkorak Negrito itu ialah tengkorak seorang Dayak, tetapi tengkorak itu lebih banyak memiliki ciri-ciri orang Melanesia dari pada Melayu, tengkorak itu mungkin milik seorang Papua, karena orang Papua sering dibawa ke Borneo sebagai budak (Flowers in Roth, 1896: 301).
Meyer berkomentar bahwa Earl di sini hanya mereproduksi pernyataan Dalton yang menghormati suku-suku tertentu di Borneo Utara, yang mana Earl mengatakan bahwa mereka mungkin terkait dengan penangkap laut yang disebutkan Negrito di atas, meskipun Dalton sendiri menyebut mereka “Dayak liar”, untuk mengubah orang Dayaknya menjadi orang Negrito. Apa yang ditambahkan Earl ke dalam catatan Dalton membuatnya tampak hampir mustahil bahwa orang-orang itu adalah orang Negrito. Meyer dalam kesimpulannya mengatakan bahwa semua ini membawa saya pada kesimpulan bahwa keberadaan Negritos di Kalimantan belum terbukti; namun kita tidak bisa menilai dengan pasti sampai interiornya dieksplorasi secara menyeluruh (Meyer, 1899: 30). Charles Hose dan William McDougall , mengatakan bahwa: “bukan tidak mungkin bahwa Kalimantan pada suatu waktu telah dihuni oleh orang-orang dari ras Negrito, sisa-sisa kecil ras tersebut masih dapat ditemukan di pulau-pulau yang berdekatan dengan pantai-pantai di seluruh Kalimantan dan juga di Semenanjung Malaya. Pada saat ini tidak ada komunitas ras ini di pulau itu; tetapi di antara orang-orang di distrik utara, kadang-kadang ditemui orang-orang dengan karakter rambut dan wajah yang sangat menyarankan dengan campuran darah Negrito atau negroid (Hose and McDougall, 1912: 28).
Haddon dalam tulisannya sebagai lampiran yang diterbitkan oleh Charles Hose dan William McDougall mengatakan bahwa: orang akan berharap untuk menemukan Negritos di pedalaman Kalimantan, karena pigmi hitam berambut lingkar (wol) ini mendiami Andaman, bagian dari Semenanjung Malaya, Sumatra, Filipina, New Guinea, dan Melanesia. Tidak ada bukti resmi tentang kemunculan mereka di Kalimantan, dan salah satu sawo dengan yakin menyatakan bahwa tidak ada orang Negrito di Sarawak. Juga tidak ada jejak orang Melanesia (Haddon in Hose and McDougall 1912: 28). Haddon melakukan klasifikasi orang-orang di Sarawak menjadi enam kelompok dan lima puluh etnik, dimana semua etnik-etnik itu tidak menunjukkan dengan ciri orang Negrito, atau dengan ciri-ciri orang Papua. Studi-studi antropologi selanjutnya pasca masa kolonial pun belum ditemukan bukti yang meyakinkan tentang jejak dan eksistensi orang Negrito dan Papua di daerah itu. Bukti prasejarah masih kurang untuk menelusuri jejak orang Negrito. Keberadaan Negrito di Kalimantan baik di masa lalu maupun di masa sekarang belum tersedia. Tetapi, banyak antropolog menyatakan bahwa orang Negrito pernah mendiami pulau itu, dan pandangan itu diperkuat dengan studi arkeologi, dimana penemuan tengkorak ras negrito di Gua Niah di Sarawak yang berusia 45-50.000 tahun.
Tentang Sulawesi, Meyer mengatakan jejak orang Negrito di Sulawesi pengaruh dari kesultanan Ternate yang telah menguasai sebagian wilayah Sulawesi di bagian timur. Demikian pendapat Meyer, “bagian Sulawesi ini dulunya berada di bawah kekuasaan Ternate (sebagian kecil dari pantai Timur masih menjadi milik Ternate), dapat dipastikan bahwa orang-orang Papua dulunya datang ke sana sebagai budak, sebagaimana mereka ditahan sebagai budak di Minahasa. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa orang-orang Papua ini telah menjalankan pengaruh fisik tertentu di sana-sini pada individu dan keluarga, sehingga ada orang yang rambutnya yang kurang lurus dan lebih keriting mungkin dipengaruhi oleh mereka. Tapi ini tidak akan menjadi jejak populasi Negrito asli di Sulawesi” (Meyer, 1899: 32).
Pendapat yang berbeda dikemukan oleh Adolf Riedel, (1871: 301) ia mengatakan: “Pertanyaan apakah Sulawesi Utara dulunya tidak dihuni oleh suku lain keturunan Afrika atau Indo-Afrika, yang sama dengan penduduk Papua, Fiji, dan pulau-pulau lain, tidak dapat dijawab dengan pasti. Meskipun pendapat seperti itu diadvokasi oleh para etnolog yang berbeda mengenai seluruh Kepulauan Hindia pada umumnya, tidak tampak dari tradisi mana pun yang dianut oleh penduduk saat itu bahwa nenek moyang mereka menemukan populasi berambut keriting pada saat kedatangan mereka dan kelompok Negrito itu telah mengusir atau dimusnahkan.
Teori yang berbeda dikemukakan oleh Raymond Kennedy (1943) bahwa orang-orang yang ditemukan dengan ciri kulit agak kuning, lemah dan rambut gelombang hingga keriting, dagu menyusut yang tinggal di sejumlah pulau lain di Indonesia disebut ras Veddoid. Tampaknya ras Veddoid dari produk hibrida kerdil antara Melayu dan Australoid. Sisa-sisa ras Veddoid mendiami rawa-rawa Sumatra timur, sebagian Kalimantan dan Sulawesi, dan pulau-pulau tertentu di Indonesia timur, terutama Seram. Orang-orang Veddoid lainnya ditemukan di Ceylon, Malaya, Sulawesi, Seram dan Filipina.
Raymond Kennedy (1943) mengklasifikasi orang-orang di Sulawesi ke dalam enam kelompok berdasarkan area kultural dan diklasifikasi menjadi tujuh kompleks etnik. (1). Kelompok Minahasa-Grondalo; (2) Kelompok Toraja; (3) Kelompok Loinang; (4) Kelompok Sadang; (5) Kelompok Mori-Laki; dan (6) Kelompok Makasar-Bugis. Salah satu suku primitive yang kecil tahun 1940-an adalah suku Toala, waktu itu mereka tinggal di gua-gua dan gubuk-gubuk kecil di lembah pegunungan terpencil di barat daya Sulawesi, dan mereka memiliki ciri-ciri ras campuran antara Melayu dan Austronaid disebut Veddoid tadi. Kelompok Loinang terdiri atas etnik Loinang, Wana, Banggai, dll, mereka memiliki budaya yang saling terkait dan mewariskan elemen ras Proto-Melayu dan dengan unsur-unsur Veddoid muncul terutama di antara kelompok Loinang dan Mori-Laki. Negrito yang telah tenggelam terutama suku-suku Toraja barat tertentu (Kennedy, 1943: 19), karena sisa-sisa elemen Negrito nampaknya ditemukan di sana.
Penemuan tengkorak dari studi-studi arkeologi di Gua Niah Serawak di Pulau Borneo yang berukuran kecil, dan menampilkan morfologi yang halus dengan ciri-ciri tengkorak Negrito, fosil dengan Spesimen yang berumur 40.000–50.000 tahun ini diidentifikasi sebagai milik tengkorak Negrito yang pernah hidup 45.000 tahun lalu sebelum ras-ras Melayu menguasai pulau itu. Peneliti menimbulkan bahwa tengkorak-tengkorak ini nilainya direkonstruksi berada di luar kisaran sampel Pleistosen tua/Holosen Awal Asia Tenggara dan Australia, dianggap lebih tua dari masa Pleistosen. Tengkoran orang Negrito dengan ukuran yang sama telah ditemukan di Filipina yang berumur lebih dari 45.000 tahun, dan bukti-bukti penemuan tengkorak ini menunjukkan ras Negritos sebagai penduduk asli di kedua kepulauan itu. Penemuan tengkorak yang berusia 45.000-50.000 tahun itu jelas tidak berkaitan dengan kesultanan Tidore yang pernah menjual budak orang Papua ke Sulawesi dan Borneo sebagaimana telah disebutkan oleh Meyer di atas. Karena, kesultanan-kesultanan itu berusia relatif masih baru setelah migrasi ras-ras Melayu dan Polinesia mencapai daerah ini 3.000 tahun lalu.
Dalam studi-studi itu para antropolog tersebut belum dapat menimbulkan bahwa elemen-elemen Negritos yang ditemukan di Borneo dan Celebes itu sebagai sisa-sisa Negritos yang pernah menghuni pulau-pulau itu, kemudian mereka dimusnahkan oleh gelombang migrasi proto-Melayu dan Deusto-Melayu di kedua daerah itu. Tidak ada temuan pasti dalam studi-studi itu tentang keberadaan ras Negrito. Berbagai studi antropologi tersebut dapat menimbulkan tiga teori tentang penemuan elemen-elemen Negrito atau Papua di Borneo dan Celebes tersebut. Pertama, orang-orang dengan ciri-ciri Negrito yang telah ditemukan di Borneo dan Celebes tersebut sebagai produk hibridasi antara budak orang Papua yang dibawa ke sana dan ras Melayu. Kedua, produk hibridasi antara Proto-Melayu dengan Austroid yang menurunkan ciri-ciri campuran yang disebut ras Veddoid. Ketiga, beberapa antropolog berpendapat bahwa elemen-elemen Negritos ditemukan di daerah-daerah itu sebagai sisa-sisa ras Negrito yang pernah tinggal sebelum invasi ras Melayu dan ras Negrito itu dimusnahkan oleh ras Melayu.
6. Negritos di Austro-Melayu
Studi geografis dan antropologis di kawasan Austro-Melayu ditempatkan wilayah transisi yang penting yang memisahkan Asia dengan Pasifik. Posisi transisi itu dapat digambarkan dengan kondisi kontras-kontras geografis, biologis sosial budaya dan kontras ciri-ciri ras manusia. Secara geografis dan etnologis daerah transisi ini diklasifikasi dalam dua kelompok kepulauan yaitu kelompok kepulauan Timor dan kelompok kepulauan Maluku. Dalam bagian ini dibahas beberapa sub tema sebagai berikut. (1). Kontras demargasi. (2). Kelompok kepulauan Timor. (3). Kelompok kepulauan Maluku. (4). Intermediasi Linguistik. (5). Intermediasi Genetik. Lima sub tema itu dapat digambarkan secara ringkas dalam uraian selanjutnya.
(1). Kontras demargasi
Kelompok Austro-Melayan dalam diskusi ini secara geografis dan antropologis terletak di antara transisi pada dua kawasan yang memisahkan Asia dengan Pasifik. Alfred Russel Wallace dalam studi klasiknya telah memisahkan kawasan ini sebagai kawasan transisi antara Asia dengan Pasifik, di mana laut antara Bali dengan Lombok berlanjut ke laut Celebes hingga Filipina sebagai batas pemisah kedua kawasan itu. Berdasarkan ciri-ciri geografis, zoologis, dan etnologis telah diklasikasi menjadi lima kelompok kawasan. (1). Indo-Malay Islands, terdiri dari Semenanjung Malaya dan Singapura, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. (2). Kelompok Timor, terdiri dari pulau Timor, Flores, Sumbawa, dan Lombok, dengan beberapa pulau yang lebih kecil. (3). Celebes, terdiri dari Kepulauan Sula dan Bouton. (4). Kelompok Maluku, yang terdiri dari Bouru, Seram, Batcliian, Gilolo, dan Morty dengan pulau-pulau yang lebih kecil; Ternate, Tidore, Makian, Kaida, Amboyna, Banda, Goram, dan Matabello. (5). Kelompok Papua, terdiri dari pulau New Guinea, dengan Kepulauan Aru, Misol, Salwatty, Waigio, dan beberapa lainnya. Kepulauan Key secara etnologi termasuk dalam kelompok ini, meskipun secara zoologi dan geografis termasuk Maluku (Wallace, 1890: x). Klasifikasi ini menjadi dasar dalam menentukan orientasi teori yang dibangunnya di kawasan ini.
Berdasarkan garis demargasi yang ditentukannya itu dapat memisahkan Asia dengan Pasifik. Pemisahan antara Asia dan Pasifik ditentukan berdasarkan perbedaan geologis dan biologis pada kedua kawasan itu. Kondisi.kondisi kontradiksi yang ditemukannya itu telah meyakinkannya bahwa kedua kawasan itu secara alamiah dapat memisahkan antara satu dengan yang lain. Kondisi-kndisi kontradiksi alami yang ditemukannya itu dapat dikelompokan menjadi lima konstras.
(1). Kontras Geologis, di mana pulau-pulau di wilayah-wilayah yang diklasifikan di atas terdiri dari pulau-pulau vulkanik dan non-vulkanik. (2). Kontras Vegetasi, dimana ia menemukan bahwa terdapat banyak vegetasi yang kontras antara Asia dan Pasifik dari batas demargasi itu. (3). Kontras ke dalaman laut, dimana Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau di sekitarnya dengan Asia dihubungkan oleh laut dangkal. Di sisi lain, New Guinea, beberapa pulau berdekatan dengan Australia dicirikan dengan adanya marcupial. Berdasarkan tiga ciri kontras petunjuk di atas, Wallace sampai pada kesimpulan, “di sini kita memiliki petunjuk tentang perbedaan yang paling radikal di kepulauan ini, dengan mengikutinya secara rinci, saya telah sampai pada kesimpulan bahwa kita dapat menarik garis di antara pulau-pulau itu, dan yang akan dibagi mereka sehingga setengahnya menjadi bagian Asia, sementara yang lain pasti akan bersekutu dengan Australia. Saya menyebut kedua divisi kepulauan ini masing-masing divisi Indo-Melayu, dan divisi Austro-Melayu. (4). Kontras dalam produksi alami, dengan bergerakan geologis memisahkan pulau-pulau dalam jarak tertentu dapat memproduksi flora dan fauna yang berbeda. Pemisahan Indo-Melayu dan Austro-Melayu dari batas demarkasi itu dapat produksi alami dari spesies flora dan fauna yang berbeda dari kedua wilayah itu. (5). Kontras Ras, dimana ras Melayu sangat kontras dengan ras Papua, ras-ras ini tidak mempunyai afinitas, dan ras-ras itu terpisah satu dengan lain. Wallace mengatakan bahwa orang Melayu dan Papua berbeda secara radikal dalam setiap karakter fisik, mental, dan moral (Wallace, 1890: 3-15).
Perbedaan grologis dan biologis itu telah dibagi menjadi dua wilayah utama dan saluran perantara yang lebih kecil. Wilayah barat merupakan bagian dari benua Asia yang sebagian terendam. Wilayah timur juga terkait dengan benua Australia. Dalam setiap kasus ada sebuah batas besar yang tertutup, hanya ditutupi oleh lapisan laut yang dangkal. Paparan Asiatic atau Sunda membawa pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Australia atau Sahul membawa New Guinea dan Tasmania. Begitu dangkalnya rak-rak laut ini sehingga kenaikan dasar laut sejauh 150 kaki dapat menyatukan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan dengan Asia, dan kenaikan hanya 65 kaki yang menyatuhkan New Guinea, Tasmania dengan Australia. Pada periode geologis di masa lalu, elevasi kecil seperti itu telah berulang kali terjadi, atau permukaan laut cukup rendah untuk membangun hubungan. Hasilnya adalah hewan dan tumbuhan di sebelah Barat dari batas itu adalah Asia; dan di bagian timur adalah New Guinea, Australia. Di Sumatera dan Kalimantan terdapat bentuk-bentuk gajah, badak, tapir, harimau, dan orang utan, ciri khas Asia. Australia mengkhususkan diri pada kanguru dan mamalia berkantung lainnya, dan di New Guinea terdapat burung cendrawasih, dan burung nuri.
Akan tetapi, di antara dua wilayah kontinental itu, terbentang suatu wilayah yang bagi para ahli geologi merupakan suatu antitesis; daerah cekungan dan palung laut dalam dengan pegunungan yang berbatasan, beberapa di antaranya naik di atas laut sebagai pulau; daerah ini juga blok ketidakstabilan yang tidak biasa naik dan turun. Daerah transisi ini batas barat garis Wallace dan batas timur garis Lyddeker. Daerah ini meliputi Filipina, Sulawesi, Maluku, Timor, dan banyak pulau-pulau kecil lain. Daerah ini mungkin pada masa lalu telah berhubungan dengan massa benua Asia dan Australia, atau telah menerima bentuk hewan dan tumbuhan dari kedua kontinental itu. Fauna dan flora di daerah transisi ini tidak khas Asia atau Australia, tetapi transisi. Kehidupan di daerah transisi ini tidak mengandung unsur Asia yang agak lebih besar daripada mengandung unsur Australia atau Nugini. Tetapi semua mamalia besar seperti di Kalimantan dan Sumatera tidak ada. Maka jelas bahwa kepulauan ini adalah pari dari daerah transisi (Kroeber, 1828: 24). Karena itu, daerah intermediasi luas antara dua continental, Asia dan Pasifik ini disebut di visi Austro-Melayu.
Divisi Austro-Melayu mencakup dua kelompok kepulauan yang sudah diklasikasi di atas. Pertama, kelompok kepulauan Timor dan pulau-pulau ini sering disebut juga kepulauan Sunda Kecil. Kedua, kelompok kepulauan Maluku yang terletak antara laut Timor dan Sulawesi di barat dan New Guinea di sebelah timur. Divisi Austro-Melayu dalam studi ini dikaji secara etnologis, batas sebelah barat pulau Lombok dari kelompok kepulauan Timur, ke timur mengikuti laut Flores, dan kemudian belok ke utara mengikuti laut Banda, melewati sebelah barat pulau Taliabu, masuk ke laut Maluku sampai di pulau Morotai. Di sisi timur mulai dari laut Arafuru, mengikuti laut batas New Guinea dengan kepulauan Aru, ke lepas pantai Misool dan Kofiau dan pulau sekitarnya terus ke utara. Singkatnya, Pulau-pulau ini menempati laut antara Sulawesi dan Timor di barat dan New Guinea di timur. Daerah transisi ini telah terjadi intermediasi secara etnologis yang dibentuk oleh ras-ras manusia yang berbeda. Elemen-elemen ras di daerah transisi disebut Austro-Melayu ini telah diidentifikasi elemen ras Australoid, Negrito, Papua, Melayu, Polinesia, Veddoid, dan Alfurou. Ciri etnologis yang kompleks dan khas itu bentuk kelompok ras hibridasi di daerah Austro-Melayu tersebut.
Ras Australoid adalah suatu ras kuno dengan ciri-ciri fitur kasar, alis kumbang, dan tubuh berbulu, sisa-sisa ada di pulau-pulau dekat Australia, seperti Timor, Alor, dan sekitarnya. Kemudian ras Papua adalah produk hibridas antara Australoid dan Negroid Melanesia, yang dicirikan oleh tubuh kurus dan berkaki panjang, kulit gelap, dan wajah sempit dan bersudut, dengan bibir tipis dan hidung panjang, yang terakhir sering berdaging penuh dan bengkok di ujungnya. Tubuh berbulu, wajah sering berjanggut, dan rambut kepala keriting. Ras Alfuro atau Alfurou adalah jenis ras percampuran antara Papua dan proto-Melayu, yang bercirikan dengan perawakan sedang hingga tinggi, fisik ramping, kulit sedang hingga coklat tua, rambut lurus hingga bergelombang, relatif tubuh berbulu, dan ciri-ciri yang bervariasi dari norma proto-Melayu berwajah lebar dan berhidung pesek hingga konformasi Papua berhidung “semitik” yang berwajah sempit. Ras Veddoid adalah produk hibrida kerdil antara Melayu dan Australoid. ciri-ciri Veddoid ialah kulit cokelat, rambut bergelombang, dan wajah prognathous dengan dagu yang menyusut. (Kennedy, 1943: 6).
Antropolog seperti Prichard, Blumenbach, dan Cuvier Freycinet berpendapat bahwa penduduk di kepulauan Maluku dan Timor adalah transisi luas secara geografis, morfologis dan antropologis. Ciri-ciri manusia di wilayah itu terbentuk oleh proses hibriditas dari dua kelompok ras yang kontras, ras kulit hitam dan kuning. Quoy dan Gaimard juga mencatat bahwa kelompok ras mirip dengan orang-orang di Afrika Selatan terdampar di tengah-tengah ras Melayu yang mendiami kepulauan seperti Sunda, Kalimantan, dan Maluku. Kelompok ini melakukan kawin silang dengan Melayu dan melahirkan keturunan dengan ciri berbeda. Penduduk dengan ciri ini ditemukan di Gilolo, Aru dan Timor, ciri mereka sama sekali berbeda dengan negro asli (Douglas 2008).
Etnolog terkenal Robert Gordon Latham, menetapkan penduduk di Gilolo merupakan bukti untuk orang Papua dalam bentuk suatu populasi menengah antara orang Papua di New Guinea dan Melayu (Latham, 1850: 211). Freycinet mengatakan di Guebe ditempati orang-orang dengan ciri memiliki hidung oesek dan bibir menonjol, dengan warna kulit gelap, dan sisi wajah lebih tinggi dari ras Negrito. Crawford mengadopsi ciri-ciri itu dan mengatakan ciri ras Melayu sebagai deskriptif variasi kedua dari tipe Melayu yang asli, dan menunjukkan kemungkinan adanya ras perantara antara rambut panjang dan berambut lingkar (Latham, 1850: 212). Ketika dua ras besar ini langsung mengalami modifikasi satu dari yang lain akan menemukan ras-ras asli di daerah transisi ini dengan karakter-karakter menengahnya (Wallace, 1880a: 529). Karena itu, seperti disebutkan di atas kepada mereka diberikan nama ras negro-malay dan Alfuro.
(2). Kelompok kepulauan Timor
Kelompok kepulauan Timor atau sering disebut juga kepulauan Sunda Kecil, terdiri dari pulau Timor, Flores, Sumbawa, Lombok dan pulau-pulau di sekitarnya. Berkaitan dengan ras manusia di daerah ini dicirikan dengan ras campuran yang ada di sini. Berbagai studi mengambarkan bahwa di kawasan ini telah representasikan berbagai ras manusia di wilayah Asia dan Pasifik. Meyer mengatakan bahwa di kepulauan ini hidup ras campuran orang Papua dan Melayu, di pesisir lebih mirip dengan ras yang terakhir, di pedalaman hidup ras yang pertama. Ia mengutip tulisan Forbes (1885) bahwa di Timor telah ditemukan orang-orang dengan semua corak kulit menengah, dari kuning tua hingga hitam atau cokelat, dan rambut dari merah, dan lurus ke rambut pendek dan berbulu dengan ciri orang Papua. Warna kulit, bentuk kepala, fitur wajah, karakter dan distribusi rambut yang ia ketemu di setiap tempat adalah bervariasi dan jumlah ras-ram campuran ada di mana-mana (Meyer, 1899: 3-4).
Variasi ras manusia di kelompok kepulauan Timor ini telah digambarkan oleh Wallace bahwa, “di pulau-pulau sebelah barat Timor, sampai Flores dan Pulau Candawood, ditemukan ras yang sangat mirip ke timur sampai di Timor-laut, di situ ditemukan ras asli Papua. Pulau-pulau kecil Sabu dan Rotti, di sebelah barat Timor terdapat ras yang berbeda. Orang-orang ini tampan, dengan beberapa ciri yang baik dan ciri terlihat sebagai ras campuran antara orang Hindu atau Arab dengan orang Melayu. Mereka tentu saja berbeda dari ras Timor atau Papua, dan harus digolongkan ke dalam divisi etnologis bagian barat daripada bagian timur dari kepulauan ini (Wallace, 1869: 451).
Proposi variasi campuran ini berkonstribusi pada variasi etnik dan budaya di antara ras-ras yang berbeda itu. Dalam batas tertentu, komposisi perbedaan itu terlihat juga pada distribusi geografis dari ras-ras yang berbeda, karena terkait kekuasaan dan akses terhadap tanah dan sumber daya alam. Berdasarkan ciri geografis dan etnologis tersebut, Raymond Kennedy (1943) klasifikasi kelompok kepulauan Timor ke dalam dua belas kelompok etnik dan budaya yang berbeda.
Di pulau Lombok ditempati tiga etnik, di pesisir barat diduduki orang Bali, sedikit berbeda dengan kerabat mereka di seberang Selat Lombok. Selebih dari pulau itu dihuni etnik Sesak dan beberapa ribu Bodha. Ketiga kelompok ini sebagian besar adalah proto-Melayu, diantara mereka ditemukan ciri-ciri ras Veddoid muncul di antara Sasak dan Bodha. Di pulau Sumbawa dibagi menjadi empat kelompok budaya, Sumbawa, Sanggau, Dompo, dan Bima, semua penduduk dengan Stok rasial yang dominan adalah proto-Melayu. Tiga daerah budaya lain adalah pulau Sumba, Sabu dan Roti yang ditempati oleh orang-orang yang seluruhnya ras proto-Melayu.
Di pulau Flores dapat dibagi menjadi lima bagian etnik: Manggarai, Ngada, Sika, Ende, dan Larantuka. Di bagian barat pulau itu, sebagian besar penghuninya adalah dengan ciri proto-Melayu; tetapi bergerak ke arah timur ditemukan orang-orang dengan beberapa tipe ras, proto-Melayu, Negroid Melanesia, Papua, dan Australoid terlihat jelas. Dengan ciri fisik mereka hidung lebar, kulit gelap, dan rambut berbulu halus mendominasi di antara orang-orang Flores timur. Di Pulau Timor dapat diklasifikasi menjadi tiga daerah kebudayaan; Kupang di bagian barat, Atnoni di Tengah dan Belu di bagian Timur. Tiga daerah budaya ini melingkupi sejumlah etnik dan bahasa yang berbeda satu dengan lain. Komposisi rasial penduduk Timor adalah yang paling beragam. Selain unsur proto dan deutero-Melayu, dihuni jenis Melanesia Negroid, Papua, Negrito, dan Australoid semuanya terdapat di sini, dalam proporsi yang berbeda-beda di tiga wilayah budaya tersebut. Hampir setiap ras yang pernah hidup di kepulauan Asia-Pasifik ini terwakili di pulau satu ini. Kepulauan Alor-Solor, Adonara, Lomblem, Pantar, dan Alor, elemen-elemen ras utama adalah yang dihuni adalah Negroid Melanesia dan Papua; tetapi di Pantar didiami oleh populasi dengan ciri-ciri ras Australoid, sementara di Alor timur ada beberapa suku yang tampaknya murni keturunan Negrito.
(3). Kelompok kepulauan Maluku
Kelompok kepulauan Maluku, terdiri dari Godji, Halmahera, Ternate, Tidore, Kepala Labuha, Bouru, Banda, Maluku, Tual, Seram, Batcliian, Gilolo, Morotai, Makian, Kaida, Goram, dan Matabello, Kei, Aru, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kepulauan Maluku, terdiri dari dua pulau besar, Seram dan Halmahera, ada beberapa berukuran sedang dan ratusan pulau kecil.
Pulau Wetar di lepas pantai utara Timor, yang dihuni stok rasial populasi asli adalah campuran proto-Melayu dan Papua. Di sebelah timur Wetar adalah pulau Kisar, dan penduduk asli Kisar adalah keturunan proto-Melayu dan satu distrik dihuni oleh kelompok campuran. Tiga pulau lain di sebelah timur Kisar adalah Leti, Moar dan Lakor, dan penduduk aslinya adalah proto-Melayu. Pulau Luang dan Sermata terletak di bagian timur dari Leti, dimana majoritas penduduk asli dihuni ras proto-Melayu. Kepulauan Babar, ada enam pulau kecil dan terletak di sebelah timur Liang, Penduduk asli kepulauan Babar adalah tipe fisik hibrida Alfuro, intermediasi proto-Melayu dan Papua. Kepulauan Roma (Roma dan Damar) terletak di utara Babar, stok rasial penduduknya adalah kelompok hibrida Alfuro. Kepulauan Nila (Nila, Teun, dan Serua) membentang di timur laut Damar ke perairan terbuka Laut Banda, dan penduduk aslinya dengan tipe fisik Alfuro. Kepulauan Tanimbar, dengan luas 2.150 mil persegi, berjumlah 66, tetapi hanya tujuh yang berpenghuni. penduduk asli adalah jenis Alfuro campuran, dengan karakteristik dominan Papua, termasuk kulit gelap dan rambut keriting. Kepulauan Kei, di timur laut Tanimbar, di bawah pantai New Guinea, memiliki luas 575 mil persegi yang tersebar di tiga pulau besar dan banyak pulau kecil lainnya. Majoritas populasi adalah Alfuro dalam tipe fisik mereka (Kennedy 1943: 26).
Kepulauan Aru, jauh di timur, terletak dekat dengan New Guinea. Seluruhnya pulaunya berjumlah lebih dari seratus, tetapi hanya lima yang besar. Penduduk asli adalah stok Alfuro campuran, mirip dengan orang Tanimbar. Kepulauan Watubela, enam jumlahnya, terletak di barat laut Kei, dan penduduk asli ialah tipe Alfuro (Kennedy 1943: 27). Di mana orang-orangnya jelas merupakan ras campuran, akibat alami dari orang-orang asing dari barat telah menikah dan menetap di antara mereka selama suatu masa (Earl 1859: 95). Selanjutnya adalah kepulauan Goram, sebelah utara Watubela, dengan luas sekitar 200 mil persegi, total enam pulau, tetapi hanya tiga yang berpenghuni, dan total penduduk aslinya adalah ras hibridasi Alfuro. Di ujung tenggara Seram terletak kepulauan Seramlaut dengan total 12 pulau dan 6 di antaranya berpenghuni. Penduduk di pulau-pulau itu adalah orang asing, Cina, Arab dan Indonesia dari bagian lain. Di tengah Laut Banda, selatan Seram terletak kepulauan Banda dengan 11 pulau, memiliki luas 100 mil persegi. Kesebelas pulau tersebut telah kehilangan penduduk asli dan kini dihuni oleh penduduk campuran, orang Jawa, Bugis, Makasar, dan pendatang lainnya (Kennedy, 1943: 26).
Kepulauan Ambon adalah pulau penting dan utara, pusat perdagangan dan administrasi, terdiri dari 300 pulau lain, penduduk asli ras campuran Alfuro. Seram adalah pulau terbesar di Maluku, memiliki luas 6.700 mil persegi. Penduduk di daerah Maluku ditempati oleh orang-orang yang berbeda ras dengan berbeda etnik dan kultur yang membentuk intermediasi.
Wallace, mendeskripsikan bahwa “Pulau Obi, Batchian, dan tiga semenanjung selatan Gilolo, tidak ada penduduk asli; tetapi di semenanjung utara dihuni oleh ras asli, yang disebut Alfuroos dari Sahoe dan Galela. Orang-orang ini cukup berbeda dari orang Melayu, dan hampir sama dengan orang Papua. Mereka tinggi dan rapi, ciri khas Papua, dan rambut keriting; mereka berjenggot dan berbulu di tubuh, tapi warnanya cukup terang seperti orang Melayu. Di pulau besar Seram juga ada ras asli yang sangat mirip dengan Gilolo Utara. Bouru tampaknya terdiri dari dua ras yang berbeda, orang yang lebih pendek, berwajah bulat, dengan ciri Melayu, yang mungkin datang dari Sulawesi melalui pulau-pulau Sula; dan ras lain berjanggut lebih tinggi, dan mereka mirip dengan ras Seram” (Wallace, 1869: 443).
Orang-orang pegunungan di Seram bagian barat adalah orang-orang Papua dan Negroid Melanesia dengan postur tubuh tinggi, bersemangat, berkulit gelap. Mereka adalah salah satu pemburu kepala yang paling ganas, dan aktivitas mereka yang suka berperang. Mereka dikenal sebagai Patasiwa Hitam. Di bagian tengah dihuni oleh ras Alfuro campuran, dengan watak yang lebih damai: Patasiwa Putih, Patalima, dan Seti. Perbukitan dan rawa-rawa di Seram timur mendiami oleh orang-orang Veddoid, dan Bonfia, yang pemalu. Pulau Bum, di sebelah barat Seram, penduduk asli sebagian besar keturunan proto-Melayu, dan orang campuran dari daerah pesisir. Kepulauan Sula yang terletak di antara Buru dan Sulawesi memiliki luas sekitar 5.000 mil persegi. Ada tiga pulau besar dan pulau kecil yang tak terhitung banyaknya. Populasi terutama dari stok proto-Melayu, dengan majoritas ras Papua dan sedikit ras Veddoid (Kennedy, 1943: 29).
Halmahera adalah pulau terbesar di Maluku Utara, Penduduk asli, dulu banyak dari mereka nomaden, dan mereka keturunan ras Alfuro hibrida. Mereka dikelompokkan dalam lebih dari 30 suku yang berbeda. Ternate, di lepas pantai barat Halmahera, adalah sebuah pulau kecil. Populasi asli pada dasarnya adalah stok Alfuro, tetapi begitu banyak percampuran dengan orang luar telah terjadi sehingga jenis aslinya telah dikaburkan. Tidore, satu mil di selatan Ternate, juga merupakan pulau kecil. Penduduk asli, yang berasal dari stok Alfuro, telah banyak kawin campur dengan orang asing maka ras asli mengalami kehilangan. Di sebelah selatan Tidore terletak kepulauan Makian, terdiri dari pulau Moti, Makian, dan Kayoa. Penduduk asli seluruhnya stok ras Alfuro. Kepulauan Batjan, di lepas pantai barat daya Halmahera, berjumlah sekitar 80 pulau, tetapi hanya 3 yang berukuran besar, dengan penduduk asli ras Alfuro. Terakhir adalah Kepulauan Obi, terletak di selatan Batjan dengan enam pulau, tetapi hanya satu yang besar. Penduduk asli telah punah dan penduduk saat ini berasal dari luar.
(4). Intermediasi Linguistik
Intermediasi dibentuk oleh biogeografi dan sosiogeografi di kawasan ini. Intermediasi karena human relasi, perubahan budaya mereka dalam waktu, inovasi dan interes dengan orang-orang lain disekitar. Kontak interregional dan interaksi dengan Melayu, Melanesia dan sebaran budaya neolitik dari kompleks budaya Lapindo. Kontak interregional dan interaksi sosiogeografi itu membentuk intermediasi budaya di daerah ini. Bentuk-bentuk perdagangan, budaya materi, sosial politik dan sistem kerajaan yang tersebar di kawasan itu. Kontak interregional dan interaski dengan New Guinea terlihat bentuk perdagangan di pantai utara dan sebaran kerajaan dari Raja Ampat ke Kaimana. Berbeda dengan tipe politik BigMan dan ke-ondoafi-an merupakan ciri khas Melanesia. Biogeografi kawasan ini berada dalam dua batasan alam Indo-Pasifik regional yang terkadang mengambil peran.
Intermediasi dalam linguistik diklasifikasi bahwa penduduk di Maluku dan Timor adalah penutur Austronesia dan Non-Austronesia atau Papua. Sebaran bahasa di Nusa Tenggara (Nusa Tenggaran Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste) diklasifikasi ada 80 bahasa, dimana 22 bahasa masuk Non-Austronesia, seperti bahasa Abui, Tareweng, Sawila dan Lamma di Nusa Tenggara Timur. Bahasa Atabe, Bunak, Makasae dan Mambae di Timor Leste, dan Nusa Tenggara Barat absen bahasa Non-Austronesia. Sementara itu, 68 bahasa di kawasan itu masuk keluarga Central Melayu-Polinesia (CMP) dan Western Melayu-Polinesia (WMP) keduanya turunan bahasa Austronesia (Grimes, et. al. 1997). Bahasa Non-Austronesia di Timor memiliki hubungan khusus dengan penutur bahasa Non-Austronesia di Maluku.
Dalam studi Blust (1998), mencatat penduduk Maluku adalah penutur bahasa Central Melayu-Polinesia (CMP) dan Eastern Malayu-Polynesia (EMP). Penutur EMP ditemukan di selatan Halmahera sekeluarga dengan bahasa-bahasa di Melanesia, Polinesia dan Mikronesia (Spriggs,1998:8). Populasi penutur bahasa CMP tersebar mulai dari Tanimbar ke semenanjung Bomberai di New Guinea (Blust, 1993: 278), keduanya keluarga bahasa Austronesia. Populasi penutur bahasa Non-Austronesia di Halmahera utara dan Morotai dari keluarga Western New Guinea (Spriggs,1998:8). Studi linguistik dilakukan Mark Taber di Maluku Tenggara diklasifikasi 24 bahasa, dan 23 bahasa termasuk Central Melayu Polinesia (CMP). Hanya bahasa Oirata diklasifikasi satu-satunya dalam keluarga bahasa Non-Austronesia dari keluarga Timor-Alor-Pantar. Penutur bahasa Oirata 1.200 orang tersebar di dua kampung kecil dan leluhur mereka bemigrasi dari pulau Timor ke Kisar ratusan tahun lalu (Taber 1992: 8). Penutur bahasa Non-Austronesia di Maluku terhubung dengan penutur Non-Austronesia di pulau Timor karena proses migrasi itu. Bahasa Oirata misalnya masih terhubung dengan bahasa Makasae di Timor Leste (Grimes 1992 dan Taber 1992). Bahasa Non-Austronesia di Maluku dan Timor diklasifikasi dalam keluarga Timor-Alor-Pantar dari West New guinea fhylum. Pada sisi lain, dalam kajian-kajian itu tidak menemukan bukti kuat bahwa leluhur orang Maluku dan Timor bermigrasi dari dataran New Guinea dan Melanesia lain.
(5). Intermediasi Genetik
Hasil penelitian DNA menunjukkan kontribusi yang signifikan untuk menentukan genetik historis manusia di daerah-daerah itu. Studi-studi itu memilih sampel di Adonara, Alor, Lembata, Flores dan Solor. Sampel dipilih pada populasi di desa-desa penutur bahasa Central Melayu-Polinesia (CMP) dan desa-desa penutur bahasa Non-Austronesia. Dalam penelitian itu diidentifikasi DNA Q1 dan Q2 adalah komponen-komponen Melanesia yang berkontribusi hanya 3% dari total. Kontribusi populasi 3,3% penutur bahasa Austronesia dan 1,8% penutur bahasa Non-Austronesia (Mona dan Grunz, et. al. 2009). Dalam waktu yang sama tipe DNA Ela, Elb dan B2 adalah motif Polinesia dengan frekuensi signifikan 26.7% dari total. Dimana 27,7% distribusi penutur bahasa Austronesia dan 24,6% penutur bahasa Non-Austronesia. Sementara, DNA tipe B dan D dengan lineage semisal B4a, B4b1, B5a dan B5b, lineage D semisal D5dl, lineage Fla, Fla1, M7b, R9c diidentifikasi motif Asia Tenggara dengan frekuensi 43% dari total. Kontribusi dari populasi penutur bahasa Austronesia dan Non-Austronesia (Mona dan Grunz, et. al. 2009; Richards, et. al. 1998; Trejaut, et. al. 2005). Sedangkan frekuensi 0,4% diidentifikasi motif DNA Australia dari penutur bahasa Austronesia dan sisanya tidak teridentifikasi.
Data-data itu mengantarkan pada kompleks genetik historis di kawasan itu, dengan komponen yang berkontribusi penutur bahasa Austronesia bermigrasi dari Asia Timur. Migran Asia ini berkontribusi komponen genetik dengan frekuensi tertinggi. Komponen genesis kedua ditempati tipe Polinesia dengan frekuensi signifikan. Komponen ketiga yang terendah ditempati tipe Melanesia dan paling terendah tipe Australia (Mona dan Grunz dkk 2009: 1875). Bukti-bukti itu mengantarkan kepada kesimpulan bahwa penduduk di kepulauan Timor dan Maluku terbentuk proses intermediasi: Australia, Melayu, Polinesia dan Melanesia dengan ciri khusus.
7. Negritos di Filipina
Filipina adalah lebih dari empat ratus pulau besar dan sekitar enam ribu pulau yang lebih kecil, yang dipisahkan satu sama lain oleh saluran selat sempit. Total luas daratan berjumlah 115.000 mil persegi. Pulau terbesar adalah Luzon di utara, dan Mindanao di selatan. Secara geografis, kedua pulau ini adalah yang terpenting di kepulauan Filipina, dan kedua pulau itu menjadi dua pertiga dari seluruh daratan wilayah ini. Di antara itu, terdapat tujuh pulau berukuran sedang: Panay, Xegros, Cebu, Boliol, Leyte, Samar, dan Masbate, dan diselingi banyak pulau kecil di antara tujuh pulau berukuran sedang tersebut (Kroeber, 1923: 21). Secara geologis dan biologis, kepulauan Filipina dibentuk menjadi perantara antara continental Sunda yang dipersatukan Asia dengan continental Sahul yang membentuk New Guinea, Australia dan Tasmania. Kepulauan Filipina terbentuk menjadi daerah intermediasi sama dengan Lombok, dan Sulawesi, dan sekitarnya.
Secara rasial dan historis, distribusi cenderung mengikuti wilayah dan garis yang sama. Pulau-pulau yang secara geologis termasuk Asia, dan pulau-pulau di daerah peralihan ini dihuni oleh orang-orang berambut cokelat lurus, yang disebut ras Malaya, terutama ras Mongoloid dan Asiatik (Kroeber, 1923: 25). Secara kultur kepulauan ini dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, India dan Melayu dari Asia Tenggara. Kebudayaan India masuk melalui Asia Timur dan Tenggara, di mana budaya India menguasai Asia Tenggara melalui beberapa kebudayaan seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam periode kekuasaan dua kerajaan kuno Melayu itu, orang Melayu ekspansi keluar menduduki pulau-pulau di Nusantara, Malaysia, dan Filipina, memperluas pengaruh kekuasaannya dan pendudukan di wilayah lain.
Daerah intermediasi secara geologis dan biologis, di kepulauan ini ditemukan hewan-hewan yang ditempati pada dua kontinental tersebut. Hewan-hewan ciri Asia ditemukan beberapa jenis hewan yang berukuran kecil, hewan-hewan jenis besar seperti Gaja, dan Harimau tidak ditemukan di sini. Hewan-hewan lain yang dengan ciri Australia ditemukan di sini seperti beberapa kanguru, babi, dan beberapa jenis burung. Intermediasi secara ras di Filipina ditemukan tiga ras manusia yang berbeda, Mongoloid, Melayu dan Negritos.
Mongoloid atau ras coklat adalah ras berkulit warna coklat, berambut lurus dengan janggut tipis dan kulit halus, tinggi rata-rata dengan ukuran bentuk kepala delicate, dan dengan kerangka yang sangat ramping dan anggun yang di sekitar tulang halus dan sedikit ciri kaukasia. Mereka sedikit kemiripan dengan Cina, tetapi mereka bukan Mongolia, melainkan Mengoloid yang menurunkan semua ras Asia. orang Mongoloid yang merangkul semua bangsa di Asia Timur dan penduduk asli Amerika dan banyak di antara bangsa Oseania. Kelompok ras lain adalah Melayu, seperti telah disebutkan bahwa ras ini diklasifikasi ke dalam dua kelompok: Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. Tipe Proper-Melayu atau Deutero Melayu dicikan dengan kepala bulat dan memiliki hidung lebar sedang. Sub tipe Proto-Melayu dengan ciri rata-rata tingginya beberapa sentimeter lebih rendah. Kepala terlihat lebih sempit, hidung jauh lebih lebar, tubuh lebih kekar, kakinya pendek dan kokoh (Kroeber, 1923: 47-49).
Asal usul dua jenis ras manusia yang sama berdampingan di Filipina, mereka datang ke Filipina dalam dua gelombang atau periode imigrasi yang terpisah, orang Melayu Indonesia tiba lebih dulu dan merampas sebagian besar wilayah penduduk asli Negrito, setidaknya di daerah pesisir dan dataran rendah, tetapi ketika gelombang kedua migrasi Mongoloid dan menguasai dataran rendah, pada gilirannya memadati perbukitan dan menguasai tanah-tanah dari penduduk asli Negrito. Ras Negrito adalah penduduk asli Filipina, mereka menguasai seluruh tanah, hidup dengan berburu dan beramu berbagai jenis makanan.
Baca juga:
Keragaman penduduk Filipina dengan referensi khusus ke Negrito telah diamati oleh sejumlah penulis, dengan karya pada abad kedua belas oleh Chao Ju Kua (Hirth dan Rockhill 1970) mungkin merupakan catatan tertulis paling awal tentang ras yang menghuni bagian dalam lembah. Penjelajah Spanyol Antonio Pigafetta dan Magellan pada tahun 1521 melihat ada “orang kulit hitam seperti orang-orang di Etiopia” yang tinggal di pulau Panilongon (Panglao). Pulau Buglas di sebelah barat Cebu dinamai Negros oleh orang Spanyol. Pada tahun 1582, penakluk Spanyol Miguel de Loarca melaporkan bahwa orang-orang di Mindoro tinggal di pegunungan. Boxer Codex tahun 1590 memuat ilustrasi Negrito dan melaporkan bahwa di Provinsi Cagayan, “terisolasi oleh sungai-sungai di pegunungan yang keras, hidup sejumlah orang Negro.” Pedro Chirino Yesuit menceritakan bahwa beberapa orang kulit hitam tinggal di antara orang Bisaya. Mereka adalah orang-orang yang “tidak terlalu gelap atau jelek seperti penduduk asli Guinea, tubuh mereka sangat kecil dan lemah,” dan rambut serta janggut mereka terlihat sangat mirip (Padilla, 2013: 212). Penduduk asli Filipina yang secara pigmentasi melanian ini secara kolektif disebut orang Aeta atau Ita, yang dalam bahasa Tagala berarti “hitam”, atau Hetam Melayu.
Pada abad ke sembilan belas para etnolog terlibat dalam perdebatan ilmiah yang sengit tentang evolusi sosial dan difusi ras manusia dengan minat baru etnologi tentang Negritos. Ketertarikan pada asal usul penduduk Negrito Filipina dikobarkan oleh para sarjana Eropa terkemuka, di antara mereka adalah Carl Semper, Joseph Montano, Ferdinand Blumentritt, Adolf Bernhard Meyer, dan Rudolf Virchow, yang melakukan kerja lapangan etnografi dan mengumpulkan bahan arkeologi dan budaya, serta sisa-sisa tulang manusia, saat menjelajahi Filipina. Isu ras murni versus ras campuran atau blasteran juga mendominasi karya mereka.
Semper dalam bukunya “Die Philippinen und ihre Bewohner” (1869) menulis seluruh bab tentang Negrito yang mencakup topik-topik seperti distribusi mereka di Mindanao, Negros, Pulau Alabat di Luzon, di pegunungan Mariveles, Pegunungan Zambales, dan pantai timur Luzon dekat Baler hingga Tanjung Engao. Joseph Montano (1886) yang mengumpulkan tulang-tulang manusia dan bahan-bahan budaya, telah mempelajari Negritos di Sierra de Mariveles di Bataan, Luzon, yang “hidup selaras dengan Tagalog”. Dia menekankan bahwa “dari sudut pandang antropologis orang Negritos sangat layak mendapat perhatian” karena mereka adalah penduduk asli negara itu. Ia mengatakan bahwa Negrito Bataan sangat mirip dengan orang negro Afrika dan orang New Guinea dan penampilan mereka tidak menjijikkan dan tidak berbeda dengan penduduk asli semenanjung Malaka. Di Davao, Montano bertemu dengan Ata, sebutan orang Bisaya untuk Negritos. Dia melakukan perjalanan ke Agusan, Surigao, dan Danau Mainit, di mana dia belajar tentang Tagabawa, Guianga, Samal, Tagasawolo, Mandaya, dan Manobo dan permusuhan mereka dengan Spanyol dan Moro, serta keberadaan blasteran (Padilla, 2013: 212).
Seorang Etnolog lain, Blumentritt dalam bukunya An Attempt at Writing a Philippine Ethnography (1890), berpendapat bahwa Negritos adalah penduduk asli Filipina dan didorong ke pedalaman oleh tiga invasi migrasi Melayu berturut-turut. Dia mengemukakan bahwa suku-suku yang mendiami wilayah pegunungan Luzon Utara dan Tengah adalah keturunan gelombang pertama yang kawin campur dengan penduduk asli, sedangkan penduduk pesisir yang mencakup Tagalog, Bisaya, dan Ilocano merupakan gelombang kedua yang menggantikan gelombang pertama. Gelombang ketiga orang Melayu yang menyebarkan Islam di Moro.
Adolf Bernhard Meyer dalam karyanya “The Distribution of the Negritos in the Phllirrine Islands and Elsewhere” (1899), merupakan evaluasi dari 21 karya Blumentritt. Meyer dalam bukunya identifikasi distribusi Negritos dalam tujuh kelompok yang tersebar di tujuh daerah: Luzon dan sejumlah pulau-pulau kecil di sekitarnya, Mindoro, Panay, Negros, Bohol, Mindanao, dan Palawan. Meyer dalam kesimpulanya mengatakan bahwa dengan pasti orang Negritos ditemukan d Luzon, Alabat, Corrigitor, Panay, Tablas adalah sebuah pulau dibagian utara Panay, Negros, Cebu, Timur laut Mindanau, dan Palawan. Lalua ia mengatakan, bahwa patut dipertanyakan apakah mereka juga ada di Guimaras (sebuah pulau di selatan Panay), Mindoro, dan juga ada di gugusan kepulauan Calamianes dan kelompok pulau-pulau di barat daya Mindoro karena informasi dari Blumentritt belum diverifikasi (Meyer, 1899: 11-19). Berdasarkan peta etnologi yang dibuat oleh Algue dan Blumentritt (1900) tentang persebaran kelompok etnik Negritos bervariasi. Algue klasifikasi Negritos ke dalam 29 kelompok etnik yang tersebar di seluruh kepulauan Filipinan yang terdiri atas: di Lizon 18 etnik, Mindoro 3 etnik, Masbate 1 etnik, Tikao 1 etnik, Tablas 1 etnik, Mindoro 2 etnik, Palawan 1 etnik, Negros 1 etnik, dan Mindanao 2 etnik. Sementara itu, identifikasi oleh Blumentritt (1890) dapat dikelompok ke dalam 46 kelompok etnik orang Negritos di seluruh Kepulauan Filipina, di Luzon terdapat 36 etnik, Mindoro 1 etnik, Panay 1 etnik, Negros 5 etnik, Cebu 1 etnik, dan Mindanao 1 etnik.
Negritos adalah penduduk asli telah ditempati kepulauan Filipina puluhan ribu tahun lalu. Berdasar studi arkeologi menunjukkan penemuan benda-benda tembikar di gua Tabon usia lebih dari 15. 000 tahun lalu, pada periode budaya Neolitik dan zaman logam akhir. Studi tentang fosil manusia di Gua Tabon ditemukan usia antara 22.000 hingga 24.000 tahun yang lalu. Di Borneo, pada periode Pleistosen Atas telah ditemukan sisa-sisa sapiens awal di goa Niah, adalah bagian dari Sundalandia dan dengan demikian melekat pada daratan selama permukaan laut rendah. Berbeda dengan pulau Luzon dan Palawan. Kehadiran fosil manusia Pleistosen Atas di pulau-pulau Filipina tersebut jelas menunjukkan kemampuan penyeberangan laut bagi kelompok manusia yang menetap di daerah tersebut. Ini juga mungkin menyiratkan keterasingan yang cukup kuat dari kelompok-kelompok awal tersebut, dan ada kemungkinan bahwa sejumlah endemisme pulau tertentu dapat memainkan peran penting dalam susunan populasi manusia purba tersebut. Pengamatan lebih dekat pada pengaturan biogeografis menunjukkan situasi yang kontras untuk kedua pulau: Palawan secara geografis sangat dekat dengan Borneo dan faunanya masing-masing sangat mirip, sedangkan Luzon lebih terpencil dan menyajikan fauna yang sangat endemik (Heaney, 1998; Heaney, et. al. 2011 in Détroit, et. Al. 2013: 59).
Menurut hasil analisis yang dilakukan pada fosil Callao, yang usianya mencapai lebih dari 60 kya dapat menunjukkan bahwa jenis Homo sapiens milik Negrito yang cukup tua. Mengenai Gua Tabon, perlu dilanjutkan analisis antropologis terhadap seluruh kumpulan tulang manusia dan melanjutkan pekerjaan kronologis tentang pekerjaan manusia di dalam gua. Dengan hasil saat ini, tampaknya masuk akal bahwa dua populasi manusia yang berbeda secara morfologis hidup di Titik Lipuun selama periode waktu Pleistosen Atas. Pengamatan ini dapat diakomodasi dalam salah satu dari dua model untuk asal Negritos Filipina: baik asal yang berbeda untuk Negritos dan non-Negritos. Tengkorak di Gua Niah di Pulau Borneo berukuran kecil dan menampilkan morfologi yang halus. Fosil Spesimen yang berumur 45.000–39.000 (Barker, et. al. 2007) ini menunjukkan kemiripan yang sama dengan morfotipe gracile yang diamati di Gua Tabon. Dengan demikian, sisa-sisa manusia yang hampir sezaman yang ditemukan dari Niah dan Tabon mungkin menunjukkan adanya populasi manusia dengan ukuran tubuh kecil selama bagian dari periode waktu Pleistosen Atas di Borneo dan Palawan (Détroit, et. al. 2013: 60).
Studi genetik yang dilakukan diantara dua populasi Aeta dan dua Agta menunjukkan tingkat diferensiasi yang tinggi antara Aeta dan Agta. Populasi Negrito lebih tersebar daripada non-Negrito, menegaskan diferensiasi genetik yang lebih besar di antara mereka. Studi genetik yang dilakukan oleh Heyer dan teman-temannya ditemukan, “dua haplogroup mtDNA yang paling umum, B4b1 dan P9, hadir di keempat populasi Negrito dan merupakan 45% dari semua garis keturunan yang ditemukan. P9 (sebelumnya disebut P8) telah ditemukan pada frekuensi yang sangat rendah di antara populasi umum provinsi Luzon dan Visaya, dan bersama-sama dengan P10, ini telah diusulkan sebagai garis keturunan asli. B4b1 secara keseluruhan mewakili lebih dari 20% dari garis keturunan ibu Negrito, dibandingkan dengan sekitar 7% dari populasi umum Filipina (Heyer, et. Al. 2013: 202).
Berbagai studi-studi ini menunjukkan ras Negritos di kepulauan Filipinan tersebar secara merata di seluruh kepulauan kawasan tersebut. Studi-studi arkeologi dan genetik dapat menjelaskan bahwa orang Negritos merupakan penduduk asli di kepulauan Filipina, mereka mendiami pulau-pulau itu sebelum orang-orang Asia bermigrasi dan menduduki di wilayah mereka.
8. Negrito di Formosa, Jepang dan Cina
Keberadaan ras Negrito di benua Asia, Cina, Formosa, hingga Jepang telah ditemukan oleh para ilmuwan alam dan antropologi sejak abad ke-17 yang telah melakukan perjalanan, sebagai petugas pemerintah bahkan melalui studi ilmiah di daerah sekitarnya. Dalam diskusi selanjutnya membahas secara garis besar tentang keberadaan orang Negrito di daerah-daerah tersebut.
Keberadaan orang Negritos di Formosa telah dilaporkan oleh naturalis dan etnolog sejak abad ke tujuh belas dan delapan belas. Seorang naturalis bernama Valentyn pada tahun 1726 menjelaskan tentang keberadaan orang Negritos di pedalaman Formosa sebagai penduduk asli daerah itu. Seorang ilmuwan Prancis, Hombron yang telah melakukan studi tentang Formosa pernah menulis tentang keberadaan orang Negrito di Filipina, Jepang dan Cina. Ia berpendapat bahwa keberadaan orang Negritos di Formosa Taiwan, memiliki hubungan dengan orang Negrito di Filipina dan Cina. Menurut Hombron bahwa orang Negrito ditemukan Formosa dan Filipina yang sebelumnya mereka tinggal di daratan Cina kemudian bermigrasi ke Jepang dan Filipina karena tekanan migrasi ras Mongolia yang kini menduduki Cina. “Hal ini sangat mungkin bahwa orang kulit hitam, yang kita temukan di Formosa dan di seluruh Filipina, adalah yang pertama mendiami wilayah Cina (Hombron 1846: 204 in Meyer, 1899: 4).
Dalam laporan seorang Inggris bernama Switihoe pada tahun 1865 mendeskripsikan tentang pendapat yang kurang lebih sama tentang penduduk asli di Formasi. Pendapat itu dilaporkan dalam sebuah tulisan singkat dengan judul, “Notes on the Aborigines of Formosa,”. Switihoe berpendapat bahwa: “ada sedikit ruang untuk meragukan bahwa suku Kalee berasal dari Tagal; tetapi ada suku-suku lain yang tinggal di pegunungan Formosa dengan ras yang cukup berbeda, yang paling liar dari mereka bertubuh kerdil, dan mungkin bersekutu ke Negi’itos di Kepulauan Andaman; penulis, bagaimanapun, belum memiliki kesempatan untuk melihat mereka.” (in Meyer, 1899: 4). Seorang Etnolog Inggris, professor Keane juga tulis tentang keberadaan Negritos di Formosa, menurutnya bahwa eksplorasi lebih lanjut dapat mengungkapkan keberadaan suku Negrito sejati di Sulawesi, Jilolo, Timor, dan Kalimantan, dan Formosa, meskipun sekarang tampaknya tidak ada yang bertahan di Formosa, di mana keberadaan mereka telah lama diduga (Keane, 1887: 121). Sebaran ras Negritos telah ditemukan juga di sejumlah daratan Asia lain, seperti di Cina, Taiwan, India, dan Perso-Afganistan. De Quatrefages menemukan jejak elemen Negrito di India Selatan, di lereng Himalaya, dan sejauh barat hingga di Sistan di daerah perbatasan dengan Perso-Afghanistan.
De Quatrefages menegaskan bahwa Ras Negrito, baik yang masih murni atau kurang lebih telah mengalami campuran dengan ras lain, tersebar di wilayah yang luas. Habitat ras Negrito tersebar luas di pulau-pulau dan benua. Keberadaan mereka di pulau-pulau atau kepulauan sekarang yang dapat diakui adalah batas dari wilayah tenggara New Guinea di Melanesia hingga di kepulauan Andaman di Teluk Benggala; dan dari Kepulauan Melayu sampai ke Jepang. Di benua Asia, orang Negrito tersebar dari Semenanjung Malaya hingga kaki Himalaya, di Kamaon; dan dari pegunungan Assam ke tepi kanan Indus, di Daman dan Beloochistan; yaitu, di atas sebidang tanah yang membentang dari 05° sampai 145° bujur timur dan dari 2° sampai 35° lintang utara (De Quatrefages, 1882: 101). De Quatrefages ketegori, orang kulit hitam dan rambut keriting yang mendiami batas dari sebelah barat New Guinea ke Andama, dari Timor hingga ke Filipina, dan Jepang, termasuk di benua Asia itu dikategori sebagai ras Negrito. Sementara, orang kulit hitam yang pusatnya di New Guinea dan kepulauan Melanesia dikategori sebagai sub ras Papua. Kategori yang mirip telah dilakukan juga oleh Daniel Brinton (1901: 220) bahwa stok Negritis dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: Negritos, Papua dan Melanesia. Kategori Negrito mirip dengan klasifikasi De Quatrefages tersebut, yang meliputi orang Minkopi, Aeta, Schobaeng, Mantras, Semang dan Sakai, dan lainnya. Kategori Papua ditunjukkan hanya orang-orang di Pulau New Guinea, dan kategori Melanesia ditunjukkan kepada orang-orang Melanesia di Fiji, Vanuatu, Salomon, Kanaky, Loyalty, dan sekitarnya.
Pendapat yang berbeda datang dari Meyer (1899), bahwa ia tidak menemukan keberadaan orang Negrito di Formosa, yang disebut penduduk asli di Formosa menunjuk pada ras Asia yang berkulit coklat dan rambut Panjang, dianggap sebagai asal-usul ras Asiatik di Formosa dan Filipina. Beberapa penemuan tengkorak ras Negrito di Formosa oleh Schetelig menyerupai tipe Malayo-Filipina, dimana salah satunya dianggap sebagai tengkorak Negrito. Pendapat tentang penemuan tengkorak Negritos ini didukung oleh Havey, tetapi bagi Meyer tidak, bahwa tengkorak itu adalah orang asli Formora.
Pada tahun 2008 telah dirayakan sebagai hari orang Negrito di Taiwan, dewan urusan suku asli Taiwan secara diam-diam telah mengakui Negrito sebagai orang asli Taiwan.
Ralph Jennings dalam media Reuter pada 17 November 2008 menulis,
“Negritos” celebrated as early Taiwan settlers”, orang-orang yang kulit gelap, rambut keriting dan postur tubuh pendek telah mendiami Taiwan di masa lalu. Orang-orang berkulit gelap ini diyakini secara etnis mirip dengan Negritos, meskipun mereka berbagi kulit gelap dan perawakan pendek dari populasi kerdil Afrika, mereka secara genetik jauh dari Afrika, asal dan rute migrasi mereka ke Asia tetap menjadi misteri. Mereka dibunuh dan dimusnahkan oleh orang Cina yang invasi Taiwan 1.000-2.000 tahun lalu. Kelompok yang tersisa ialah Saisiyat, sebuah kelompok dengan kulit coklat terang dan fitur Asia. Orang Saisiyat tiap dua tahun memperingati pemusnahan orang Negrito dari tanah mereka di Taiwan. Beberapa sarjana mengatakan bahwa sebanyak 90.000 orang Negrito mungkin telah tinggal di Taiwan. Orang Negrito yang hilang itu unggul dalam pertanian, para Saisiyat meminjam pengetahuan pertanian mereka. Kelompok Negrito itu hilang karena kawin campur dengan Wanita Saisiyat yang berkulit terang dan rambut lurus, dan orang Saisiyat juga menyerang orang Negrito dan memojokkan mereka di sebuah jembatan dan memusnahkan mereka tenggelam ke sungai (Jennings, 2008).
Upacara itu disebut Pasta’ay, merupakan penghormatan kepada suku pigmi atau Negrito yang telah hilang, ciri mereka sama dengan suku yang hidup hari ini di Papua New Guinea. Mereka menghilang, tidak meninggalkan catatan arkeologi yang menunjukkan secara meyakinkan keberadaan mereka. Tetapi para antropolog percaya bahwa mereka dimusnahkan oleh suku-suku lain seperti Saisiyat, di mana Chu adalah anggotanya. Upacara ini diadakan setiap dua tahun untuk berterima kasih kepada suku yang kalah karena mengajari tetangganya cara bertani ketika mereka berbagi wilayah hutan curam di Taiwan tepat di sebelah selatan (Jenning, 2013).
Keberadaan ras Negrito di Jepang telah dilaporkan oleh Hamy pada tahun 1872 berdasarkan beberapa laporan yang ditulis dalam beberapa media cetak oleh penulis lain, dan satu tengkorak yang ditemukan di daerah tersebut. Keberadaan Negrito di Jepang telah digambarkan oleh Prichard berdasarkan pengamatan ciri fisik penduduk asli Kiusiu. Dia mengatakan bahwa penduduk Fizon, dan juga seluruh pulau Kiusiu, terbagi atas penduduk pesisir dan penduduk pedalaman dan kota-kota, yang berbeda satu sama lain dalam aspek fisik, bahasa, budi pekerti dan karakter. Di Pantai-pantai dan pulau-pulau dihuni oleh para nelayan dan pelaut yang bertubuh kecil tetapi kuat, warna lebih gelap, rambut lebih hitam, bibir agak tebal, hidung kecil, berani, jujur, dan kebaikan yang alami.
Menurut Hamy, ciri-ciri yang digambarkan oleh Prichard dan beberapa antropolog lain ini adalah ciri-ciri alami yang dimiliki orang-orang Negrito. Ia membandingkan ciri orang-orang Kiusiu tersebut dengan orang Aeta, Mikopi, Semang, dan persilangan antara Melayu dan Semang. Alasan Hamy yang kedua adalah berdasarkan penemuan dua tengkorak orang Jepang yang disimpan di Museum Paris, dimana dua tengkorak itu dinyatakan sebagai tengkorak milik orang Negrito. Ciri fisik dan penemuan tengkorak Negrito itu menjadi dasar bahwa kepulauan Jepang pernah dihuni orang Negrito sebagai penduduk asli yang memiliki afiliasi dengan Negrito di Filipina dan di Formosa. Pandangan tersebut dijelaskan oleh Flower, bahwa seperti di Loo-Choo, dan di bagian tenggara Jepang, ditempati ras Negrito sebelum populasi saat ini. Meyer secara ragu-ragu mengatakan bahwa, fakta-fakta yang diajukan saat itu jauh dari pasti, dan ia masih ragu kalua hipotesisnya yang mengatakan Negrito tidak berada di jepang maka ahli lain tidak mendukungnya. Karena itu, ia menyarankan penelitian lebih lanjut oleh antropolog asli Jepang sendiri tentang keberadaan Negrito di daerah itu (Meyer, 1899: 57).
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Charles Pickering, bahwa orang Jepang yang ditemuinya mempunyai ciri lebih dekat dengan orang Pasifik. Ia mengatakan bahwa “untuk sementara waktu, saya tidak mau mengakui hubungan mereka dengan ras Melayu. Saya menemukan dalam buku catatan, bahwa “mereka semua pendek, laki-laki agak kekar, dengan kulit hampir sama gelapnya dengan orang Hawaii; hidung agak datar, dan rambut hitam tebal.” Mr. Drayton langsung mengenali ciri-ciri Polinesia dalam kelompok tua yang berjanggut, dimana kemiripan mereka terlihat jelas. Tetapi, sedikit memiliki perbedaan di tampila wajah depan, lebih bulat daripada orang Polinesia. Anak-anak laki-laki memiliki hidung yang sangat lebar dan datar, sehingga semua gagasan tentang ras Mongolia keluar dari pikiran (Pickering, 1848: 30). Pandangan ini telah diperjelas dengan studi-studi antropologis kemudian bahwa secara antropologis dan linguistik memiliki hubungan afinitas antara negritos Filipinan dan Jepang dengan penduduk di Pasifik dan afinitas bahasa mereka.
Studi-studi modern menunjukkan hubungan afinitas dari Negrito Filipinan dengan Jepang dan populasi di Pasifik.
Tsunehiko Hanihara, ia menjelaskan sejarah populasi penduduk Asia, Jepang, Filipina dan Pasifik perlu studi perbandingan luas dan penyelidikan dalam studi tentang asal usul dan kesamaan bahasa Jepang modern. Dalam penelitiannya, ia pengukuran gigi dari beberapa populasi yang terisolasi secara geografis di Jepang yang nenek moyangnya dapat ditelusuri kembali ke populasi Proto-Mongoloid Asia Tenggara dibandingkan dengan populasi Jomon Neolitik, Negritos, Aborigin Australia, Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia. Hasil yang diperoleh dalam studi itu menunjukkan bahwa mungkin ada hubungan dikotomis antara populasi Jepang dan Pasifik (Mikronesia dan Polinesia). Karena, karakteristik gigi Negrito ditemukan di Jepang tersebut memiliki kesamaan dengan dua kelompok populasi Pasifik tersebut”
(Hanihara, 1995). Berdasarkan dengan temuan-temuan ini menunjukkan di masa lalu sebelum Ras Mongoloid mencapai Jepang, telah ditempati oleh ras Negrito sebagai penduduk asli.
Keberadaan orang kulit hitam di daratan Cina telah dideskripsikan oleh Neumann tahun 1837, di mana orang-orang yang disebut Miao, Man, Y, Yu, Lai, Haoi, di bagian timur. Orang-orang dengan etnik-etnik yang disebutkan dengan nama-nama yang berbeda itu adalah penduduk asli yang mendiami Cina sebelum orang Cina saat ini, orang-orang itu adalah kulit hitam, dan rambut kerinting yang telah menempati Cina di bagian selatan. Orang-orang itu tampaknya bersekutu dengan penduduk asli di Indo-Cina di seberang sungai Ganga, Pape, penduduk Laos dan Burma, dan penduduk asli lain telah didesak ke pegunungan. Para ahli dalam penelitiannya mengatakan, penduduk asli di pedalaman Cina ditempati orang kulit hitam dan rambit keriting yang disebut Negro-Oriental ada di pedalaman Cina. Istilah Mioi berarti hitam. He seng Miao atau Miao, hitam yang berdiam di sekitar Tsing Tscheou. Orang-orang Miao atau negrito itu memiliki mata kecil dan tubuh besar; wajah mereka hitam, mereka memiliki gigi putih dan hidung besar. Mereka juga disebut “orang barbar” Selatan yang berkulit hitam. Rambut mereka keriting.
Terrien de Lacouperie publikasi sebuah buku tahun 1887 dengan judul: “The Languages of China before the Chinese”, di mana halaman 74 pada seksi “The Pre-Chineso Aboriginal Negritos” dia mengatakan: “Bahasa yang digunakan oleh suku-suku dari ras kerdil ini, yang sebelumnya menetap di Cina, tidak memiliki perwakilan modern yang kita ketahui. Di mana suku-suku seperti itu jatuh di dekat suku Bak Cina, sekitar 2116 SM ketika yang terakhir sudah berimigrasi ke Flowery Land, dan mereka maju ke timur dari tikungan selatan di Sungai, Yellow River. Beberapa suku dari ras yang sama dibicarakan dalam geografi dari Shan hai King, beberapa abad sebelum era Kristen, dan sekitar tahun 235 M. Orang Cina maju di wilayah yang sekarang menjadi bagian tenggara dari provinsi An-hui, dan bertemu lagi di sana beberapa suku kerdil (in Meyer, 1899: 59-60). Jejak suku-suku Negrito di Cina tersebut dapat ditelusuri dengan keberadaan Negrito di bagian selatan seperti Himalaya, Semang, Andama, dan Negrito di bagian timur seperti Formosa, Taiwan, Jepang, Aeta di Filipina dan Indonesia.
9. Penutup
Penyebaran ras kulit hitam di Asia dan Pasifik mulai dari Afganistan, pegunungan Himalaya Selatan, Cina selatan, Taiwan, Jepang hingga Filipina. Bila ditarik ke arah barat, berbagai studi antropologi dan arkeologi membuktikan bahwa ras hitam lebih dulu menempati dari lembah Mesopotamia, terus ke pulau Siprus, Yunani, Italia, semenanjung Eropa atau Spanyol dan Portugis, hingga Britannia dan Inggris. Studi arkeologi juga telah identifikasi Jerman selatan khususnya Bavarian dan di sekitar pegunungan Alpen telah ditempati ras hitam sebelum ras-ras kulit putih tempati wilayah itu. Berbagai studi klasik menunjukkan kerajaan Kuno seperti Babylonia, Mesir, Yunani dan Romawi telah didirikan orang kulit hitam.
Bila ditarik dari batas-batas geografis dan temuan jejak ras-ras hitam itu menyatakan bahwa di bagian selatan bumi ini telah dikuasai oleh orang kulit Hitam. Kekuasaan ras kulit itu telah diekspansi, dihancurkan dan dimusnahkan oleh kelompok ras lain. Di Asia dan Pasifik, orang kulit hitam dan wilayah mereka telah diinvasi oleh pendatang baru yang berasal dari Asia disebut Mongoloid, sisa-sisa ras hitam kita ditemukan di India, Andama, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Formosa.
Di Taiwan, orang kulit hitam itu telah dimusnakan oleh orang Saisiya dan Chu dari Thionghoa 1000 tahun lalu. Terakhir orang kulit hitam itu dijebak dalam sebuah jembatan dan dihanjutkan ke dalam sungai maka seluruh suku hitam itu musnah. Orang Saisiya mengakui bahwa orang kulit hitam itu lebih unggul dalam sistem pertanian dan orang Saisiya belajar dari mereka. Hari ini orang Saisiya, merayakan upacara kemenangan atas kekalahan dan pemusnahan orang kulit hitam dari Taiwan, tanah leluhur mereka itu. Upacara kemenangan atas pemusnahan orang hitam itu disebut Pasta’ay, yang dilakukan setiap dua tahun.
Ada tiga metode digunakan orang asing untuk memusnahkan orang kulit hitam di wilayah-wilayah tersebut. (1). Pembunuhan besar-besar atau bertahap secara sistematis dan masif. (2). Menyebarkan penyakit yang mematikan, seperti cipilis, HIV/AIDS, dll. (3). Menyebarkan alkohol dan jenis-jenis minuman memabukan, dan menderita penyakit yang lama. (4). Memusnahkan melalui perkawinan campur. Empat metode ini telah digunakan di masa lalu untuk memusnahkan orang kulit hitam dari wilayah mereka.
Ras-ras hitam di wilayah-wilayah tersebut telah punah karena invansi bangsa-bangsa Mongoloid, mencaplok dan menduduki daerah ras-ras hitam. Para ekspansionis juga telah menyebarkan penyakit, pembunuhan masal, penghilangan, mengisolasi, asimilasi perkawinan, dan membiarkan berbagai penderitaan semisal kelaparan, penyakit, kuasai ekonomi, sumber produksi dan kekayaan alam mereka, dan pneghilangan identitas mereka.
_________
Baca juga:
Setelah pembahasan ini, dua pertanyaan logis yang muncul adalah dari mana asal-usul ras-ras kulit hitam di wilayah-wilayah itu? Bagaimana kondisi West Papua saat ini eneksasi dan pendudukan ilegal kolonial Melayu-Indonesia? Dua pertanyaan ini akan dibahas secara mendalam dalam tulisan berikutnya.
*)Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih.
Bibliografi
Brinton, Daniel. 1901. Races and
Peoples. Philadelphia: David Mckay.
Charles E.
Grimes. 1997. A guide to the people and languages of Nusa Tenggara. Kupang:
Artha Wacana Press.
Détroit, Florent; Corny, Julien; Dizon, Eusebio Z. And
Mijares, Armand S. 2013.
“Small Size” in the Philippine Human Fossil Record: Is It Meaningful for a
Beter Understanding of the Evolutionary History of the Negritos? In Human
Biology. Jurnal, Volume 85.
https://www.researchgate.net/publication/259114528.
de
Quatrefages, A. 1882. The Pigmies of Homer, Herodotus, Aristotle, Pliny,
Etc; The Asiatic Pigmies, or Negritos; The Negrillos or African Pigmies.
Journal des Savants.
Dutta, Pratap C. 1978. The Great
Andamanese Past and Present. India: Anthropological Survey of India.
Douglas,
Bronwen. 2008. Foreign Bodies in Oceania,
dalam Bronwen
Douglas dan Chris Ballard (eds) Foreign Bodies Oceania and the Science of Race
1750-1940. Australia: ANU E Press.
Earl, George Windsor. 1853. The
Ethnographical Library. The Native Races of The Indian Archipelago. Papuans.
London: Hippolyte Bailliere 219 Regent Street.
Hanihara, Tsunehiko. 1995. Affinities
of the Philippine Negritos with Japanese and the Pacific Populations Based on
Dental Measurements: The Basic Populations in East Asia, I. Journal of the Anthropological. Volume 98. Issue 1. https://doi.org/10.1537/ase1911.98.13.
Horace Man, Edward. 1885. On the
Aboriginal Inhabitants of the Andama Island. London: Royal Anthropological
Institute.
Jennings, Ralph. 2008. “Negritos”
celebrated as early Taiwan settlers. Reuters, edition November 17, 2008. https://www.reuters.com/.
Jennings, Ralph. 2013. Taiwan ritual
honors lost tribe of ‘small people. Los Angeles Times. Edition Jan. 1, 2013. https://www.latimes.com/.
Keane, A. H. 1887.
Eastern Geography. A Geography of The Malay Peninsula, Indo-China, The
Eastern Archipelago, The Philippines, and New Guinea. London: -Edward
Stanfobd, 5 5, Chaeing Cross, S.W.
Kennedy, Raymond. 1943. Islands
and Peoples of the Indies. Washington: The Both Battimore Press.
Kroeber,
A. L. 1928. Peoples of The Philippines. New York: Anthropological Handbook
Fund.
Matthew, Spriggs. 1998. Research Questions in Maluku Archaeology, dalam
Cakalele, VOL. 9, NO. 2 hlm 51–64, Australian National University.
Mark, Taber. 1993. Toward A Better Understanding of the Indigenous
Languages of Southwestern Maluku. Hawaii: University of Hawaii Press Honolulu.
Mayer, A. B. 1899. The Distribution of
the Negritos in the Phillipine Islands.
Mona, Stefano and Grunz, Katharina E. et. al. 2009. Genetic
Admixture History of Eastern Indonesia as Revealed by Y-Chromosome and
Mitochondrial DNA Analysis. https://www.semanticscholar.org.
Radcliffe-Brown,
A. R. 1922. The Andaman Islanders. A Study in Sosial Anthropology.
London: Cambridge
University Press.
Roth, Henry Ling. 1896. The natives of Sarawak and British North Borneo.
London: Truslove and Hanson.
Padilla,
Sabino G. Jr. 2013.
Anthropolog y and GIS: Temporal and Spatial Distribution of the Philippine
Negrito Groups. in Human Biology. Jurnal: Volume 85, Article 10.
htp://digitalcommons.wayne.edu/humbiol.
Wallace,
Alfred Russel. 1890. The
Malay Archipelago. The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise. A Narrative of Travel with Studies of Man and
Nature. New York: Macmillan and Co.
Wallace, Alfred Russel. 1869a. The Malay
Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise; a
Narrative of Travel with Studies of Man and Nature. 2 vols. London:
Macmillan.
Wallace, Alfred Russel. 1869a. The Malay
Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise; a
Narrative of Travel with Studies of Man and Nature. 2 vols. London:
Macmillan.
Posted by: Admin
Post Views: 528