Gambar: Sebuah pertunjukan oleh anak-anak Goroka. (Credit: Anselmo Lastra via Flickr Creative Commons) |
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Papua Dari Stigma ke Stigma
Oleh: A. Ibrahim Peyon, Ph.D
1. Pengantar
Ini bagian dua dari tulisan sebelumnya, “Papua dalam stigma dunia“, yang menggambarkan tentang pandangan dunia terhadap keberadaan manusia dan budaya orang Papua sebagai suatu bangsa mendiami New Guinea. Papua sebagai bangsa memiliki pandangan dan identitas sendiri dalam dunianya seperti bangsa-bangsa lain. Bangsa Papua dalam sejarahnya tidak pernah mengambil, merampas dan menduduki bangsa-bangsa lain untuk kepentingan dirinya, bangsa Papua juga tidak memiliki keinginan dan ambisi untuk mengambil wilayah bangsa lain dan menguasai ekonomi dan tanah mereka. Bangsa telah mendiami di negerinya sendiri, masih tetap ada di sini dan akan tetap diami di tanah ini.
Dalam keberadaan di negeri dan tanah leluhurnya, berbagai ras dan bangsa-bangsa datang ke sini dengan berbagai tujuan. Papua diklaim sebagai milik dan wilayah kekuasaan mereka, mereka invasi, aneksasi, duduki, jajah dan rampas berbagai kekayaan alam bangsa Papua. Demi kepentingan ekonomi, kekayaan alam, pendudukan dan penguasaan wilayah kami, mereka labeli kami dengan berbagai stigma negatif untuk bunuh roh dan semangat kebangsaan dan nasionalisme kami.
Mereka stigma kami dengan berbagai label dan stigma sesuai pandangan dan keinginan mereka seperti bangsa kafir, penyembah setan, dan manusia kuno atau zaman batu. Budaya dan agama kami distigmatisasi sebagai agama penyembah setan, agama kafir, kepercayaan mesianik dan kargoisme, dan berbagai label lain. Pandangan-pandangan dunia dengan stigmatisasi tersebut dibahas dalam tulisan ini.
2. Stigma Papua dunia Mesianik dan Kargo Kult
Kultus Kargo (cargo kult), stigma atau label orang-orang Eropa terhadap gerakan sosial bangsa Melanesia dan orang-orang di Pasifik Selatan. Kultus kargo adalah label untuk jenis gerakan sosial Pasifik Selatan yang dibudidayakan dan dikembangkan oleh antropologi, Missionaris dan administrator pemerintah kolonal.
Kargo adalah barang yang dikemas di kendaraan, kapal, pesawat terbang, atau karavan. kargo itu kemudian dikapitalisasi untuk menunjukkan lebih dari segetar barang dalam kemasan tersebut. Kargo dalam konteks yang sangat signifikan ia telah berkonotasi lebih dari sekedar barang dalam perjalanan, atau lebih dari komoditas gaya Eropa atau yang dipasarkan secara internasional yang telah menjadikan kargo sebagai perangkat khas ekonomi politik global saat ini (Trompf, 1990: 11). Kultus adalah sebuah bentuk dari organisasi agama atau gerakan yang menyimpang atau agama ortodok tradisional dari komunitas. Kultus juga adalah sebuah gerakan politik agama alam (Seymour-Smith, 1986: 61). Menurut Morris, kultus adalah sebuah gerakan agama non-mainstream yang biasanya dipusatkan pada individu atau ide tertentu. Secara umum memberikan istilah-istilah dengan konotasi yang merendahkan, para anthropolog biasa lebih suka menggunakan istilah-istilah seperti “agama baru“; karena mereka melakukan studi tentang isu-isu mereka secara khusus sebagai relasi penyimpangan sosial dalam keanggotaan kultus (Morris 2012: 54). Konsep kultus kargo atau cargo cult’, dalam pidgin adalah cago, menyiratkan totalitas kesejahteraan materi, organisasi dan spiritual, yang secara kolektif diinginkan sebagai pengganti arus ketidakcukupan, dan diproyeksikan ke masa depan yang akan datang sebagai ‘keselamatan’. G. W. Trompf mendefinisikan bahwa cargo cult adalah “activities arising from the expectation of abundant, supernaturally generated, Western-style cargo” (Trompf 1990: 11). Ia melihat kultus kargo sebagai aktivitas yang timbul dari ekspektasi mengenai kargo gaya Barat yang berlimpah dan dihasilkan secara supranatural.
Istilah kultus kargo adalah salah satu dari banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan gerakan keagamaan Melanesia ini. Kamma mendaftarkan empat puluh delapan istilah terpisah yang digunakan dalam menggambarkan gerakan-gerakan sosial ini yang semuanya mencirikan aktivitas yang sama. Semua gerakan sosial itu dasarnya sangat khas dan berbeda manifestasinya, tetapi memiliki kesamaan tema tentang keagamaan. Kamma kategori dua belas terminologi dan ia menunjuk empat puluh delapan rujukannya: 1. General Native: gerakan nativistik 2. Ritual: kultus nativistik, kultus messianik, kultus baru, kultus modern, gerakan keagamaan 3. Economic: pemujaan kargo, pemujaan rahasia kekayaan 4. Eschatological: ekspektasi mesianis, gerakan mesias, ekspektasi mesias, adventisme, mesianisme, gerakan messianik, milenialisme. 5. Revivalistic: kebangkitan kembali agama, pengembalian agama, penyembahan berhala. 6. Individualistic: nabi, prohetisme, kenabian, penyelamat, langkah primitif tertentu menuju kenabian. 7. Syncretistic: pemujaan sinkretis, agama bapak, agama sesat semi-kafir, gerakan pagan baru 8. Sectarian: fanatisme, fanatisme agama, fanatik Kristen, sekte. 9. Acculturative: “eropanisasi” gerakan primitif, kontra-abudayaasi. 10. New: takhayul baru, sekte baru, agama baru, gerakan keagamaan baru. 11. Reactionary and Political: pecahnya agama asli, pecahnya sifat kuasi-religius, reaksi penduduk asli terhadap pemerintahan kulit putih, cikal bakal nasionalisme. 12. Psychopathic: histeria religius yang aneh, fanatisme, delusi religius, mania religius, Mimpi Besar setelah perang, Vailala Madness (Kamma, 1972, 231-232).
Peter Lawrence yang melakukan pengamatan tentang pergerakan kultus kargo di Distrik Madang di selatan Papua Nugini menggambarkan penggunaan istilah lain untuk menggambarkan pergerakan ini. Lawrence menyebut gerakan itu sebagai “bentuk dasar dari nasionalisme revolusioner” (Lawrence 1964, 222). Terminologi Lawrence ini lebih tepat dengan berbagai gerakan yang dilakukan di Papua. Gerakan-gerakan sosial di seluruh Papua itu mengambarkan gerakan nasionalisme revolusioner untuk mengusir kolonial Belanda, Jepang dan Indonesia.
Dalam usaha untuk mempertahankan kolonialisme di Melanesia dan Pasifik Selatan, gerakan nasionalisme revolusioner dan situs-situs kepercayaan terhadap agama masyarakat pribumi itu dapat dilabelisasi dengan terminologi kargoisme dan kultus messianik yang berasal dari budaya Barat. Kultus kargo adalah produk imajinasi para antropolog barat yang dilandasi dengan budaya produksi materi dan distribusi materi itu dalam bentuk kargo dengan mobil, kapal laut dan pesawat terbang dalam budaya modernisasi Barat.
Missionaris, administrator dan antropolog Barat ke Melanesia, mereka berhadapan dengan budaya yang berbeda, dan situs-situs kepercayaan berbeda. Kepercayaan terhadap pencipta, leluhur, roh, supranatural dan alam. Gerakan-gerakan sosial-politik, dan nasionalisme revolusioner yang menentang kolonialisme Barat di Melanesia. Berbagai gerakan-gerakan itu mengingatkan imajinasi kultus kargo atau kultus messianik dalam budaya mereka. Imajinasi itu dapat digunakan untuk direproduksi dalam bentuk yang berbeda, dengan cara analisa gerakan-gerakan orang-orang Melanesia itu dalam perspektif mereka. Produk dari imajinasi itu dibawa dalam dunia akademisi mereka dan konstruksi metodologi, teori dan epistemologi untuk memenuhi standar ilmiah. Dengan demikian, di kalangan akademisi, kultus kargo telah bentuk teori dan praktik dalam studi antropologi, agama, dan studi-studi Pasifik secara umum.
Ada banyak gerakan kultus Kargo di tempat lain seluruh dunia, dalam budaya Yahudi gerakan kultus kargo telah dimulai sebelum kelahiran Yesus Kristus, dalam masyarakat Babylonia, Yunani kuno, hingga Romawi, dan seluruh Meditetarian (Evans and Flint, 1997; Arnold, 2005; Leibman, 2012; Maciejko, 2017). Dalam masyarakat Mesir kuno diyakini bahwa Osiris yang pernah hidup dan mendirikan kerajaan baru Mesir kuno tahun 1.500, dianggap Osiris masih hidup di kerajaan itu (Connor, 2009; Mojsov, 2005). Di Jerman pada masa kekuasaan NASI dan Adolf Hitler telah dilakukan gerakan kargo-kult atau pemujaan terhadap ras Arya sebagai ras paling unggul dan Hitler dipuja sebagai mesias yang selamatkan bangsa Arya (Goodrick-Clarke, 2002). Gerakan Mesianik dilakukan orang Kristen dan Yahudi kedatangan Yesus dan tafsiran mereka tentang masa depan dan keselamatan melalui Kristus sebagai mesias, (Goldish and Popkin, 2001). Dalam budaya Jawa gerakan kargoisme ini disebut Ratu Adil, (Kartodidjo, 1984), dan dalam masyarakat kepulauan Timor dinamakan gerakan Atoni, dan di Amerika Serikat gerakan kargoisme ini disebut Mormonisme, adalah kepercayaan terhadap malaikat Mormor yang berkenalkan diri kepada Jesep di Amerika. Mormor menunjukkan penglihatan kepada Joseph Smith tentang kitab yang ditulis di atas lempengan-lempengan emas yang berasal dari Amerika kuno, dan gerakan keagamaan ini sekarang dikenal dengan nama Gereja Jesus Kristus, dan gerakan kargoisme ini disebut sebagai gerakan mormonisme, (Worthy, 2008; Bushman, 2008). Gerakan Kargoisme dilakukan pada banyak budaya di seluruh dunia, maka kargoisme tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan dalam budaya Melanesia.
Dalam konsteks West Papua teori Kargoisme di Melanesia dibangun antropolog dan Misionaris Eropa untuk kepentingan kristenisasi, kolonialisme dan eksploidasi kekayaan alam demi kepentingan kapitalisme mereka. Misalnya, F. Kamma (1972) seorang antropolog sekaligus misionaris, John G. Strelan dan Jan A. Godschalk, (1989), dan lain-lain.
Pandangan Melanesia, gerakan-gerakan ini adalah gerakan sosial dan politik atau gerakan nasionalisme untuk kebebasan dan kemerdekaan mereka. Dalam gerakan-gerakan itu, orang Melanesia melibatkan elemen-elemen budaya Melanesia adalah gerakan nasionalisme revolusioner untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan di atas tanah mereka dari kolonialisme Barat dan Asia yang menduduki wilayah ini. Dalam berbagai aktivitas, orang Melanesia melibatkan semua elemen kehidupan termasuk sang pencipta, roh leluhur dan alam untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Dalam gerakan sosial dan politik untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan juga dapat melibatkan unsur lain dalam perjuangan. Bagi Melanesia, manusia tak terpisahkan dari entitas kehidupan lain, manusia dan entitas kehidupan lain itu merekan satu kesatuan dan terintegrasi dalam satu ikatan emosional. Dalam pandangan orang Melanesia, entitas-entitas itu adalah bagian dari diri manusia Melanesia itu sendiri, mereka adalah kerabat yang berasal dari satu tubuh tuhan pencipta itu sendiri. Dasar pandangan inilah orang Melanesia melibatkan entitas-entitas itu dalam berbagai aktivitas termasuk dalam gerakan kemerdekaan nasional.
3. Stigma Papua Bangsa Kafir
Dalam berbagai literatur, istilah kafir menunjukkan kepada orang-orang yang tidak menganut agama kristen dan islam, orang-orang yang memiliki agama dan keyakinan lain di luar dari agama Kristen dan islam. Kafir adalah istilah yang menunjukkan kepada kepercayaan terhadap monoteisme, sebagaimana digambarkan dalam Alkitab. Asal-usul kekafiran digambarkan dengan mengutip kisah tentang kejatuhan manusia pertama akibat ulah iblis. Lalu orang berkata: “Manusia hanya dapat mengabdi kepada salah seorang dari antara dua tuan: Allah atau iblis. Dengan demikian anda akan yakin bahwa orang yang tidak sungguh-sungguh mengabdi kepada Allah sebenarnya mengabdi kepada iblis, dari itu dalam Alkitab seluruh persembahan kepada berhala disebut sebagai persembahan kepada iblis” (bnd I Kor. 10 : 20). Dalam pasal ini mengatakan:
“Tidak. Aku mengatakan kepadamu bahwa hal-hal yang bangsa-bangsa lain kurbankan, mereka mengurbankannya untuk roh-roh jahat, bukan untuk Allah. Dan, aku tidak mau kamu bersekutu dengan roh-roh jahat”.
Ayat seperti ini menjadi rujukan dalam doktrinasi kristen memandang bangsa-bangsa lain, kepercayaan dan budaya mereka.
Demikian juga dalam agama Islam memiliki pandangan tentang Kafir dan bangsa-bangsa lain yang tidak sepaham dengan mereka. Dalam Hadith (9:29) mengatakan:
Muhammad said: “When you meet your enemies among the infdels, ofer them three options, and whichever one they choose, make peace with them: Call on them to accept Islam. If they agree, make peace with them. If they refuse, call on them to come under the rule of Islam and pay the Jizyah. If they agree, make peace with them. If they refuse, wage a war of Jihad on them and kill them for the sake of Allah.” (Bukay, 2016: 74).
Dalam kutipan digambarkan tiga pilihan kepada orang-orang non-muslim, atau disebut kafir itu, pilihan pertama ditawarkan kepada mereka mereka untuk terima agama islam, bila terima maka berdamai dengan mereka. Pilihan kedua, jika mereka tolak maka dipaksa untuk tunduk pada aturan islam, jika terima maka berdamai dengan mereka. Pilihan ketiga, jika mereka tolak maka lakukan perang jihat dengan mereka demi Allah.
Dalam agama-agama Arabis sendiri baik Yahudi, Kristen maupun Islam, memiliki pandangan yang sama bahwa manusia dan agama di luar mereka adalah kafir yang harus dihancurkan dan dimusnahkannya, bangsa-bangsa dengan agama yang berbeda adalah penyembah setan, maka orang-orangnya dianggap sebagai setan dan binatang. Pandangan inilah digambarkan dalam kepercayaan Islam, “the infdels are animals, and beasts in league with Satan. It is therefore a believer’s duty to chop of the heads of infdels” (Bukay, 2016: 74). Dalam agama-agama Abrahamis itu, satu ddengan lainnya dipandang sebagai agama kafir dan masing-masing agama diklaim yang paling benar dan suci.
Pada masa lalu, orang-orang di luar agama-agama di atas disebut dengan berbagai istilah, dalam istilah Ibrani disebut “goyum”, “am“, dan istilah Yunani “athe“ dan “laos“ berarti bangsa-bangsa asing dan bangsa milik Tuhan. Istilah Latin disebut Pagani, berarti penduduk desa (Kamma, 1981: 1). Istilah Pagan berkembang di masa Helenik pada masa Yunai kuno. Istilah ini digunakan untuk membedakan orang-orang Kristen dengan penduduk di luar kota dan kampung-kampung yang menganut agama asli mereka dalam politeistik. Paganisme adalah paham terhadap kepercaya politeistik, Ini mengandung banyak dewa yang peduli dengan alam semesta. Itu juga antropomorfik, menggambarkan dewa dalam bentuk dan karakter manusia, (Jones, 2014; and Wedeck and Baskin, 2015). Istilah-istilah ini muncul sebagai perang ideologis antara agama-agama monoteistik dan politeistik untuk memenangkan dunia dan menguasainya.
Perang ideologis agama monoteistik dan politeistik ini terkonstruksi untuk kepentingan penaklukan bangsa-bangsa pribumi di berbagai suku bangsa dengan agama-agama Abrahamis dengan bangsa-bangsa Eropa terima agama Kristen. Misi utama perlawanan Monoteis dan politeis adalah takluklan bangsa-bangsa lain melalui penyebaran agama-agama monoteis, melaluinya dapat mencapai ekspansi, kolonialisme, dan kapitalisme terhadap bangsa-bangsa lain. Perang antara monoteis dan politeis ini juga adalah perang ideologi etis superioritas Eropa terhadap bangsa-bangsa lain dan budaya mereka.
Dalam konteks ini orang-orang kristen di Eropa Barat telah mengembangkan misi kristenisasi di seluruh dunia untuk menyebarkan agama kristen kepada bangsa-bangsa lain yang disebut kafir tersebut. Misi mereka adalah untuk mencari bangsa-bangsa lain dan baptiskan mereka sebagai simbol kristenisasi, dan paksa bangsa-bangsa asli itu tinggal budaya dan agama asli mereka. Tuhan dan agama asli mereka dipaksa untuk dimusnahkan, situs-situs mereka dilarang dan dimusnahkan, budaya mereka dilarang dan dimusnahkan. Mereka dipaksa untuk terima agama baru yang berasal dari Israel dan Eropa Barat, Tuhan bangsa-bangsa asli dilabeli sebagai setan, agama mereka sebagai kepercayaan setan dan penyembah perhala, dan budaya mereka distigma sebagai budaya primitif, budaya kafir dan budaya setan.
Dalam semangat ini misionaris Eropa dan Amerika yang dikirim ke West Papua dengan misi kristenisasi terhadap bangsa Papua dianggap sebagai manusia kafir dan menyembah setan. Misionaris protestan yang dikirim dari berbagai Zending itu telah menyebarkan agama kristen dengan pendekatan holistik, melalui pendidikan, ekonomi, buka isolasi, pertanian, peternakan, kesehatan, dan berbagai program lain.
Pada sisi lain, ilmuwan Eropa dan Amerika melakukan berbagai riset dan konstruksi secara metodologi dan teoritis tentang agama dan budaya bangsa-bangsa asli tersebut. Mereka kategorisasi Tuhan orang asli Papua distigma sebagai setan, agama asli mereka sebagai perhala, dan budaya mereka sebagai budaya kafir. Dengan pandangan itu, Tuhan orang Papua dilarang untuk dilakukan pemujaan, agama asli mereka dilarang, benda-benda sakral dan budaya material mereka dibakar dan dimusnahkan. Tujuan dari stigmasisasi dan pemusnahan ini adalah untuk menghilangkan identitas bangsa Papua sebagai roh dan inti kehidupan bangsa Papua yang telah hidup ribuan tahun sejak penciptaan tanah ini, di mana bangsa Papua ditempatkan sebagai penguasa di tanah ini.
Tuhan yang dipercayakan dalam agama-agama asli orang-orang Papua itu sangat hubungan langsung dengan sejarah penciptaan manusia dan dunia mereka, akar dan asal-usul mereka, roh dan jiwa mereka yang menghidupi, dan menggerakkan mereka. Budaya adalah roh, semangat dan kekuatan mereka yang menghidupi sebuah bangsa. Budaya adalah identitas dan dasar kepribadian suatu bangsa, dan suatu bangsa tanpa budaya sebagai bangsa yang sudah mati. Suatu bangsa ingin dapat dimusnahkan, hal pertama yang harus dilakukan adalah memusnahkan sejarah, agama dan budaya asli bangsa itu, setelah bangsa itu telah kehilangan roh dan jiwanya, bangsa itu didoktrin dengan ideologi dan kepercayaan bangsa asing untuk membentuk otak dan struktur mental mereka. Dalam konteks inilah, Tuhan asli, agama dan budaya bangsa Papua disebut sebagai setan, kafir atau agama penyembah perhala dan berbagai stigma lain.
4. Stigma Papua di Zaman Batu
Zaman batu adalah pandangan evoluasi yang diklasifikasi periode perkembangan manusia dan budaya ddalam antropologi budaya. Para antropolog yang membangun teori evolusi budaya berbasis periodesasi manusia dan budaya ini antara lain adalah Lewis Henry Morgan (1877), dan Edward Burnett Tylor (1871; 1872; dan 1896), kemudian diteruskan oleh Leslie A. White (1959; dan 1980) tentang evolusi budaya, dan Julian Steward (1977), teori evolusi ekologi dan multilineal evolusi.
Morgan dalam “Ancient Society”, mengelompokkan tahap evolusi manusia dan budaya dalam tiga tahap: Savagery, Barbarisme, dan Civilization. Pada tahap pertama, Savagery dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: (a). Lower Status of Savagery, disebut sebagai periode “periode etik” dengan status kebiadaban dan dimulai dengan ras manusia paling awal. dan periode ini sering disebut Savagery tua. (b). Middle Status of Savagery, dimulai dengan akuisisi subsistensi ikan, mengenal api, busur dan panah. Periode ini sering disebut Savagery pertengahan. (c). Upper Status of Savagery, dimulai dengan penemuan busur dan panah, dan seni tembikar, periode ini sering disebut Savagery akhir. Tahap kedua, Barbarisme, istilah Yunani, barbar, asing. Morgan klasifikasi ke dalam tiga tahap: (a). Lower Status Barbarism, dimulai dengan penemuan seni tembikar, mulai bangun sistem irigasi untuk pertanian dan domestikasi hewan. Periode disebut barbarism tua. (b). Middle Status Barbarism, dimulai dengan domestisasi hewan, kultivasi sistem irigasi, digunakan batu dalam arstitektur, dan proses peleburan bijih besi. (c). Upper Status Barbarism, dimulai dengan manufaktur besi, fenotik alfabet, dan gunakan tulisan dalam komposisi literasi. Periode ini sering disebut barbarism terakhir. Tahap akhir adalah Civilization, berarti, peradaban. Periode ini dimulai dengan fenotik alfabe dan produksi rekaman literasi, dan dibagi dalam peradaban kuno dan modern, (Morgan, 1877: 6-12).
Teori digunakan para antropolog dan masionaris Eropa terhadap tingkat-tingkat perkembangan manusia dan budaya berbagai bangsa di seluruh dunia. Berdasarkan kategorisasi status evolusi manusia manusia dan budaya itu, kehidupan manusia di middle status savagery ini disebut zaman batu tua (old-stone), atau paleolithic, dan kehidupan di upper status savagery, disebut zaman batu muda (new stone) atau disebut juga Neolithic. Teori tentang “paleolithic”, dan “Neolithic”, “old stone” dan “new stone”, itu diperkenalkan oleh J. Lubback (Tylor, 1896: 29). Teori evolusi antropologi ini dibangun berbasis ciri perkembangan manusia dan budaya di dunia Barat ini diterapkan terhadap bangsa-bangsa lain, dimana manusia dan budaya dari bangsa-bangsa itu klasifikasi dalam pandangan dunia mereka.
Baca juga:
Dalam konteks Papua, pandangan antropologi evolusionis ini diterapkan oleh antropolog dan misionar yang melakukan studi dan pekerjaan misionaris di tanah New Guinea ini. Tulisan-tulisan terkait dengan status Papua sebagai manusia yang hidup zaman batu itu ditulis berbagai ilmuwan dan misionaris Eropa, seperti A. F. R. Wollaston (1912) dengan judul, Pygmies & Papuans the Stone Age To-Day in Dutch New Guinea, Robert Gardner dan Karl G. Heide (1968), Gardens of War: Life and Death in the New Guinea Stone Age, Robert W. Williamson, (1914), The Ways of The South Sea Savage, dan banyak karya lain warnai tema ini. Stigmasasi ini tidak berhenti di situ, para ilmuwan dan antropolog generasi muda Barat masih tetap memelihara dan mewariskan itu hingga saat ini untuk berbagai kepentingan. Martin Slama dan Jenny Munro (2015) ditulis dengan judul, From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’, Jenny Munro adalah seorang antropolog asal Kanada dan ia menikah dengan suaminya yang berasal dari suku bangsa Hubula di Lembah Balim. Jared Diamond (2012), The world until yesterday: what can we learn from traditional societies? Judul buku terakhir ini telah diperhalus untuk mendeskrispkan kehidupan orang Papua di masa lalu disebut zaman batu itu.
5. Penutup
Kargo kult atau Mesianik adalah budaya Barat yang konstruk oleh antropolog dan Misionaris Eropa yang bekerja di Melanesia untuk kepentingan mereka sendiri. Teori ini dikonstruksi berbasis budaya Barat tentang mobilisasi Kargo dan gerakan Mesianik dalam Budaya Kristen tentang kedatangan Yesus sebagai Imanuel atau juruslamat. Budaya Kristen ini dikonstruksi kombinasi antara nilai-nilai agama kristen dan Budaya Eropa, dalam konteks pandangan itu dikembangkan menjadi teori kargoisme dan Mesianik terhadap berbagai gerakan sosial-politik dan gerakan revolusioner bangsa-bangsa Melanesia.
Stigma Kafir adalah politik etis agama-agama monoteis yang bersumber dari Abrahamis di timur Tengah, seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Kafir dikonstruksi sebagai senjata untuk menaklukkan manusia dan budaya dari bangsa-bangsa lain di luar tiga agama tersebut. Kafir adalah senjata atau alat perang antara agama-agama monoteistik dan politeistik, demi penaklukan, pendudukan, kolonisasi, ekspansi ekonomi dan kapitalisme. Penaklukan, kolonisasi dan perang dilakukan demi penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kehidupan dan masa depan.
Stigmasisasi bangsa zaman batu adalah juga politik etik Barat yang mempertahankan posisi superioritas dan inferioritas, di mana orang-orang Eropa posisikan diri pada level peradaban tinggi, sedang bangsa Papua diposisikan sebagai manusia yang hidup di zaman batu, lebih dekat dengan status hewan dalam proses evolusi. Stigma-stigma ini sebagai akar dan asal politik etis dan politik rasisme antara mereka yang berbeda pigmentasi.
Stigma-stigma ini dibangun secara ilmiah untuk berbagai tujuan dan kepentingan mereka. (1), demi kepentingan profesionalisme para ilmuwan untuk mencapai predikat akademisi dalam jenjang pendidikan dan status fungsionalisme mereka; (2), mempertahan lapangen studi dan proyek-proyek penelitian dengan tema-tema yang dapat menarik perhatian dalam pasaran ilmiah; (3), menjalan misi sponsor untuk tujuan dan kepenting para sponsor tadi untuk kepentingan eksploidasi masa depan; (4), untuk mempertahan status dan kepentingan politik etik bagi kepentingan imperialisme ilmu pengetahuan; (5), demi kepentingan sumber daya alam dan kepentingan ekonomi para pemodal dan kapitalis internasional; (6), untuk kepentingan kolonialisme kekuasaan penindas yang menduduki dan menjajah bangsa Papua di masa kini; (7), mereka masih mempertahankan status superioritas dan inferioritas dalam skema evolusi dan teori rasisme.
Bagian akhir dalam seri tulisan ini akan dibahas tentang “Papua dalam Stigma Indonesia” yang telah, sedang dan akan menjadi bagian penindasan kehidupan bangsa Papua dan gambaran realita orang Papua saat ini, dan bagaimana proses perlawanan dalam menghadapi berbagai labelisasi dan stigmasasi untuk bertahan hidup dan eksistensi masa mereka.
Bibliografi
Bushman, Richard Lyman. 2008. Mormonism. A Very
Short Introduction. Oxford: University Press.
Bukay,
David. 2016. Islam and the infdels : the politics of jihad, da’wah, and hijrah.
New Jersey: New Brunswick.
Connor, David o. 2009. Abidos Egyp`s first
Pharaohs and the cult of Osiris. London: Thomas & Hudson Ltd.
Diamond, Jared M. 2012. The world until yesterday: what can
we learn from traditional societies? London: Penguin
Books Ltd
Gardner,
Robert and Heide, Karl G. 1968. Gardens of War: Life and Death in the New Guinea Stone
Age. New York: Random House.
Goldish, Matt D. and Popkin, Richard H. 2001.
Millenarianism and Messianism in Early Modern European Culture: Jewish
Messianism in the Early Modern World. Springer Science+ Business Media
Dordrecht.
Goodrick-Clarke, Nicholas. 2002. Black sun:
Aryan cults, esoteric Nazism and the politics of identity. New York and London:
New York University Press.
Fruchtenbaum, Arnold G. 2005. Ariel’s Bible
Commentary: The Messianic Jewish
Epistles. Ariel Ministries.
Jones, Christopher P. 2014. Between Pagan and
Christian. London: Harvard University Press.
Kamma, Freerk Ch. 1972. Koreri Messianic
Movements in The Biak-Numfor Culture Area. Netherlands: The Hague – Martinus
Nijhoff.
Kamma, Freerk Ch. 1982. “Ajaib di Mata
Kita” Masalah komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari sudut
pengalaman selama seabad pekabaran injil di Irian Jaya. Indonesia: BPK Gunung
Mulia.
Lawrence,
Peter. 1964. Road Belong Cargo: A Study of the Cargo Movement in the
Southern Madang District New Guinea. Manchester, Melbourne: Manchester and
Melbourne University Presses.
Leibman, Laura Arnold. 2012. Messianism,
Secrecy and Mysticism: A New Interpretation of Early American Jewish Life. London
and Potland: Vallentine Mitchell.
Lindstrom, Lamont. 1993. Cargo Cult: Strange
Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii
Press.
Maciejko, Paweł. 2017. Sabbatian Heresy.
Writings on Mysticism, Messianism, and the origins of Jewish Modernity. Massachusetts:
Brandeis University Press.
Mojsov, Bojana. 2005. Osiris Death and
Afterlife of a God. USA. UK, and Australia: Blackwell Publishing Ltd.
Morgan, Levis Henry, LL. D 1877. Ancient Society: Researches in the lines of human
progress from savagery thought barbarism to civilization. Chicago: Charles
H. Kerr and Company.
Morris, Michael Ashley. 2012. Concise Dictionary of Sosial and Cultural
Anthropology. India:
Wiley-Blackwell.
Sartono, Kartodidjo. 1984. Ratu Adil. Jakarta:
Sinar Harapan.
Seymour-Smith, Charlotte. 1986. Macmillan
dictionary of anthropology. London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd
Slama, Martin and Munro,
Jenny. 2015. From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’. Exploring Papuan Temporalities, Mobilities and Religiosities. Gambera:
ANU Press.
Strelan, John G. dan Gedschalk, Jan. 1989.
Kargoisme di Melanesia, Suatu studi tentang sejarah dan teologi kultus kargo. Jayapura:
Pusat studi Irian Jaya.
Trompf, G.
W. 1990. Cargo Cults and Millenarian Movements Transoceanic Comparisons of
New Religious Movements. Berlin: Mouton De Gruyter.
Tylor, Edward, B. 1896.
Anthropology an Introductionto the Study of Man and Civilization. New York: D. Appleton and Company.
Tylor, Edward, B. 1871. Primitive
Culture. Vol. 1. New York: Dover Publications, Inc.
Tylor, Edward, B. 1871. Primitive
Culture. Vol. 1I. New York: Dover Publications, Inc.
Wedeck, H.
E. and Baskin, Wade. 2015. Dictionary of Pagan Religions. New York:
Philosophical Library.
Williamson, Robert W.
1914. The Ways of The South Sea Savage. A Record
of Travel & Observation Amongst the Savages of The Solomon Islands &
Primitive Coast & Mountain Peoples of New Guinea. Philadelphia: J. B.
Lippincott Company
Wollaston, A. F. R.
1912. Pygmies & Papuans, the Stone Age To-Day in Dutch New Guinea. London: Irray, Albemarle Street, W. I.
Worthy, Jack B. 2008. The Mormon Cult.
Tucson, Arizona: See Sharp Press